Bab 1

2671 Words
            Revan melihat semua kumpulan koleksinya. Komik Detektive Conan yang berjejer rapi dari 1 sampai 30 membuat dia berpuas diri. Orang yang datang ke kamar cowok yang baru menginjak bangku SMP itu pasti heran. Selain gorden dan seprai berwarna biru itu tak ada tempat kosong lagi untuk ditempeli. Di sekeliling tembok kamar hanya ada  poster Detective Conan dan gambar tangan Revan juga tetap tentang Detective Conan. Hingga langit-langitnya pun dia tempeli poster itu hingga tak ada tempat kosong lagi yang tersisa.             Mamanya sempat ngomel. Tidak suka melihat kamar rapi putranya jadi galeri begitu. Pernah Mamahnya menurunkan gambar-gambar dan poster itu. Revan bukan hanya ngamuk dan mogok makan, tapi juga mengancam kabur dari rumah. Maka dari itu mamanya menyerah dan membiarkan gambar itu bertempelan di mana-mana.             Cepat-cepat dia mengambil satu komik Conan seri kelima. Dimasukkannya komik itu ke tas barunya.             “Adeeeek, ayo turun. Papa mau berangkat nih.” Itu suara papanya. Revan bergegas memakai tas ranselnya. Dan untuk terakhir kali melihat ke cermin bayangan dirinya. Memastikan dirinya cukup rapi, baru dia cepat-cepat keluar kamar dan turun menyambut Papanya.             “Waduh, anak Mama udah SMP.” Mama takjub melihat anaknya memakai seragam putih biru.             Revan cuma nyengir. Diambilnya tiga potong roti isi. Dua di tangan kiri dan satu di tangan kanan. Sambil menahan roti itu di giginya Revan menempelkan tangan amanya ke kening. ”Revan berangkat.” katanya cepat. Lalu mengambil roti di mulutnya dan ngeloyor mengikuti papa yang sudah ke mobil duluan.             “Hati-hatiiii!” teriak mama. Setelah itu mobil melesat dari garasi.             Dengan kecepatan ekstra tinggi Revan melahap semua rotinya. Sampai dia sempat tersedak beberapa kali.             “Jangan cepet-cepet dong makannya.” Papa mengangsurkan botol Aqua kecil lalu Revan meminumnya. Kelegaan bisa Revan rasakan setelah seteguk air mengalir ke kerongkongannya. Lalu dia mengelap mulutnya dengan lengan.             “Nanti di sekolah jangan nakal. Jangan kayak SD lagi. Kamu kan udah pake seragam SMP tuh. Harus bersikap dewasa. Biar bisa cepet dapet pacar.”             Revan menoleh. ”Nggak janji deeeeh. Habis seneng si jailin orang. Biarin deh nggak dapet pacar. Shinichi Kudo juga nggak pacaran kok, Pa. Walopun ada orang yang dia suka. Tetep aja nggak.”             “Dasar. Itu kan komik.” kata Papa. Tapi Revan memang terinspirasi dengan komik itu.  Makanya dia jadi tergila-gila begini dengan Detective Conan.             Sampai di sekolah, Revan berlari ke kelasnya. Dia yang memang dari kecil berbakat sekali membuat rusuh, adalah ancaman guru-guru di SD-nya dulu. Dan sekarang, dia ingin beraksi lagi sepertinya.             Sampai di kelas dia memanggil teman-temannya dan langsung merangkul mereka.  ”Gimana kalo pintunya kita kunci?!” usulnya sambil senyum-senyum jahil.             Teman-temannya bengong. ”Ngunci pintu?” Gilang menatap Revan aneh. Revan mengangguk meyakinkan. “Ntar kalo dimarahin gimana?”             “Ah, takut amat dimarahin. Penakut lo! Dimarahin doang paling.”             “Ya kalo Cuma dimarahin. Kalo dihukum gimana?”             “Itu kalo ada yang ngomong. Kalo kita tetep kompak, siapa yang mau disalahin?” Revan berusaha meyakinkan. Setelah itu semua cengengesan kegirangan. “Ayo, ayo, ayo!”             Revan menjentikan jarinya. Senang karena teman-temannya terpengaruh juga. Bahkan kegirangan mempersiapkan semua kelancaran rencananya.             “Ayo, ayo cepet-cepet pada masuk!” Danar menyeret teman-teman ceweknya yang masih ngerumpi di luar kelas untuk masuk.             “Ih, apaan sih!”             “Udah, masuk aja.” Danar berkata dengan nada memerintah dan tegas. Makanya anak-anak cewek itu menurut. Danar menoleh dan masih melihat dua cewek lagi yang masih di luar. Sedangkan Revan santai-santai saja melihat teman-temannya membereskan hal-hal sepele. Dia menoleh ke jam dinding di atas whiteboard. Lima menit lagi bel berbunyi. Revan berdecak. Wah, harus cepat nih.             “Van, dua cewek di luar nggak mau masuk!” lapor Danar. Revan bertolak pinggang. Kecewa melihat body Danar yang gede, tapi nyuruh dua cewek masuk aja nggak sanggup. Mau nggak mau dia turun tangan juga.             “Mana anaknya?” tantang Revan. Danar menunjuk ke koridor depan. Dan dengan berlenggang penuh wibawa Revan jalan ke sana.             “Itu tuh. Yang lagi senderan di tiang.” tunjuk Danar. Revan mengangguk mengerti. Lalu dia berjalan menghampiri cewek itu.             Tanpa bilang apa-apa, permisi pun tidak, Revan menggaet tangan mereka berdua lalu menyeret mereka ke kelas. Revan tidak peduli walaupun kedua cewek itu, -Disa dan Fiara- teriak-teriak sampai mereka jadi tontonan.             “HEEEEEEEEEY!” Disa mencoba berontak.             “Ini apa-apaaan siiiiih!” Fiara ikut-ikutan. Keduanya terus berteriak dan menyentak. Tapi cekalan ini tak bisa lepas. Terlalu kuat bahkan jika tenaga mereka digabung sekalipun. Baru saat mereka sampai di kelas, Revan melepaskannya.             “Nurut aja.” Revan cuma bilang begitu. Terang aja Disa melotot. Bisa dilihat cowok itu menutup pintu lalu menguncinya. Pelototan Disa mengendur. Karena dia kebingungan sekarang. “Ngapain lo ngunci pintu?!” tanya Disa heran. “Berisik banget lu! Udah sana duduk!” Revan mengusir. Disa dan Fiara saling berpandangan. Akhirnya mereka mengerti apa yang Revan rencanakan. Dan saat Revan mau seenaknya pergi, Disa menahan bahu cowok itu.             “Tunggu!” kata Disa marah. Revan menepis tangan itu kasar. Tak suka dipegang-dipegang. Sikap Revan membuat Disa makin marah! “Kalo mau cari perhatian, nggak perlu ngelibatin anak sekelas!” Revan menatap cewek itu lama. Lalu ngeloyor pergi begitu saja, meninggalkan Disa berdiri sendirian di depan kelas.             Anak-anak juga sebenarnya tahu keributan kecil itu. Tapi mereka cuek. ”Udahlah, kita kompakan aja.” kata Fiara pasrah. Dia menggamit tangan Disa, menariknya ke meja mereka. Disa merengut. Mau tidak mau dia mengikuti langkah Fiara. Mata Disa melirik cowok yang tadi menyeret mereka paksa. Dia sedang tertawa bersama teman-temannya. Gayanya tengil sekali. Disa benar-benar sebal dengan cowok itu! ---             “WOOOOOY, bukaaaaaaa!” teriak Pak Imron dari jendela atas. Revan nyengir. Melihat ke sekeliling yang juga sama-sama tersenyum menahan tawa. Dia membusungkan d**a. Dia senang kalau semua senang. Tapi setelah menabrak wajah masam yang tertekuk marah di serong kanannya, senyum Revan jadi memudar. Revan mengeluh. Kenapa cewek itu selalu merusak kegembiraannya!             “Wooooooy, bukaaaaa!” suara Pak Imron terdengar lagi. Revan menoleh ke Disa lagi. Melihat wajah itu perasaannya jadi terganggu. Dia nggak suka wajah cewek itu ditekuk begitu. Makanya dengan marah dia bangkit lalu membukakan kunci pintunya dan membiarkan Pak Imron masuk. “Siapa yang mengunci pintu?!!!”             “Bapak cuma perlu bilang ‘terima kasih’.” sahut Revan dengan sikap cuek. Lalu raut muka Pak Imron benar-banar tegang, kaku, seperti mau meledak.             “Bapak hanya akan bilang terima kasih kalau ada yang mengaku siapa yang mengunci pintu itu.” geram Pak Imron. “Atau, bapak tidak akan mengajar kelas ini!”             Revan bengong. Dia sama sekali tidak terpikir akan begini jadinya. Dan entah kenapa dia ingin menoleh ke Disa. Dia jadi ingin tahu reaksi cewek itu. Dan dia langsung menyesal setelah melihatnya. Kontras dengan wajah bingung teman-temannya yang lain, bibir cewek itu malah tersungging senyum sinis. Senyum itu mengena. Membuat Revan benar-benar merasa dihina habis-habisan.             “Saya Pak, yang mengunci pintunya.” kata-kata itu keluar begitu saja.             Revan sama sekali tak gentar. Dia sudah terbiasa berhadapan dengan hukuman. Makanya dia sama sekali tidak kaget melihat reaksi Pak Imron. Yang dia lihat hanya teman-temannya. Semuanya merasa lega…             Revan mengernyit. Benar-benar tidak enak Revan berada di posisi seperti ini. Dia harus menanggung semua perbuatannya sendiri. Tanpa empati dari teman-teman yang ikut terlibat membantunya. Dan saat matanya menatap Disa, Revan tertegun. Disa termangu, menatapnya sekilas, lalu membuang pandangan bingung. Revan tersenyum. Walaupun ragu, tapi terbaca! Wajah cewek itu terbaca.             Revan girang bukan main. Cewek itu tidak tersenyum sinis lagi padanya, bahkan sekarang dia terlihat khawatir. Kalau tidak lihat sikon, Revan pasti sudah menghampiri cewek itu dan mengajaknya ngobrol. Tapi…             “Populasi. Ada yang tahu definisinya?”             “Kumpulan dari individu yang sejenis yang membentuk sebuah ekosistem, Pak.” Satu teman cewek yang duduk di depan menjawab. ”Benar.” Lalu Pak Imron menoleh lagi ke Revan. ”Coba ulangi Revan?” Tanyanya ramah.             “Kumpulan dari individu yang sejenis yang membentuk sebuah ekosistem.”             “Bagus.” Pak Imron mengacungkan satu jempolnya lalu menoleh ke arahnya. “Sekarang, tugas kamu adalah menghitung populasi rumput di sekolah ini. Bisa?”             “Bisa, Pak.” Revan menjawab lantang dengan bahagia dan lapang d**a. Setelah itu dia segera keluar kelas. Tersenyum terus dari tadi kalau ingat wajah Disa yang khawatir padanya. Ah, menghitung populasi itu kan gampang. Cuma menghitung populasi… Revan berhenti. Dia sudah sampai ke tujuan. Melihat lapangan upacara yang luas. Memandangnya bingung dan mengingat lagi kata-kata Pak Imron. Apa yang harus dia hitung?             “Rumput, ya?” tanyanya bingung. Lalu dia melengos. Baru dia sadar kalau ini adalah hukumannya. Nyabut rumput! ---             Sejak dia melihat wajah Disa yang khawatir waktu insidennya dengan Pak Imron, diam-diam Revan terus memperhatikan cewek itu. Bahkan dia rela sembunyi, berdiri di belakang tembok samping kelas hanya untuk menguping pembicaraan Disa dengan sahabatnya, Fiara.             “Udah pernah pacaran?” jantung Revan seperti mau berhenti mendengar pertanyaan Fiara. “Pasti belum yah?” Revan nyaris menertawakan Disa.             “Nggak boleh sama Mama. Lagian kita belum pantes juga kenal pacaran.”             “Elo pasti bakalan berubah pikiran kalo nemu orang yang lo suka. Apalagi kalo cowok itu nembak. Hehehe.” kata Fiara. Revan tersenyum. Menunggu jawaban dari Disa. Tapi cewek itu malah bangkit dan memunguti buku-buku yang jatuh di dekatnya. Revan menyipitkan mata saat melihat ke belakang rok Disa. Makin menyipit dan menyipit lagi. Karena yakin cewek itu tidak sadar kalo roknya kotor, Revan akhirnya loncat dari meja dan keluar kelas menghampiri Disa.             “Heh?” Revan jadi kaget sendiri melihat wajah Disa yang jadi ikutan kaget melihatnya. ”Rok lo kotor banget sih? Abis duduk di comberan?!” Revan kaget lagi mendengar kata-katanya yang keluar tanpa dipikirkan dulu. Wajah marah Disa akhirnya terlihat. Dan membuat Revan makin terganggu lagi. Apalagi Disa nggak marah-marah seperti biasanya. Tapi langung pergi setelah melihat belakang roknya.             Revan mendengus. Sebal. Kenapa cewek tuh sensitif banget? runtuknya. Sedikit-sedikit ngambek. Dia juga nggak terbiasa bergaul sama cewek. Makanya rada kikuk kalo ngadepin cewek.             “Apa tadi gue kelewatan ya?” Revan menggaruk kepalanya. Tapi karena nyerah, dia ngeloyor juga. Pingin ke kelas sebenernya, tapi kakinya malah melangkah ke kamar mandi cewek.             Nah loh, Revan bingung sendiri. Makin bingung lagi waktu dilihatnya Disa keluar dari kamar mandi. Revan mau minta maaf, tapi dia jadi tertegun. Melihat Disa keluar dari kamar mandi sambil menangis dan berlari tanpa melihat dia di depan kamar mandi. Lagi-lagi Revan tanpa sadar mengikuti cewek itu sampai ke tembok belakang sekolah. Revan makin kaget waktu dilihatnya cewek itu nangis histeris kayak orang kesetanan. “Heeeh? Dieeem!” Revan lagi-lagi tidak bisa bicara dengan nada yang benar.             “Gue mau mati! Gue mau mati! Gue mau matiiii!” kata-kata Disa cepat hingga membuat Revan seribu kali makin panik. Revan kebingungan.             “Mati kenapa?”             “Roknya… Darah Van, daraah. Darahnya keluar banyak banget. Gue pasti mau mati. Gue pasti bentar lagi mati!” kata Disa. Revan menarik lengan Disa.             “Coba gue lihat roknya.” pinta Revan. Disa mengusap air matanya. Lalu dia memunggungi cowok itu hingga Revan melihat darah yang membanjir di roknya.             “Buset dah…” Revan mengelus d**a. Revan menatapnya panik. Dia tidak tahu seberat apa mati. Dia hanya tahu, mati berarti tidak akan ketemu lagi. Revan makin panik memikirkan itu. Dia berpikir. Mencoba mencari cara penyelesaian terbaik dalam situasi rumit begini. Akhirnya dia memutuskan untuk lari ke UKS, membawa dengan paksa Bu Ida, dan membiarkannya menenangkan Disa. “Revan, boleh Ibu minta tolong menemui Bu Suharti penjaga kantin?” pinta Bu Ida waktu selesai bicara pada Disa. Apapun, pikirnya. Apapun akan dia lakukan. Apapun, Revan akan berikan asal Disa nggak mati. Dia bahkan tidak bertanya apa-apa saat membawa barang aneh yang baru pertama dia lihat. Membawa barang yang kata Bu Ida bisa menyembuhkan Disa. Dan memang, setelah membawa itu Disa bisa tenang setelah keluar dari kamar mandi. Revan menatap wajah kuyu itu. Wajah yang ketakutan tadi masih terjejak rasa takut di belakangnya. Revan tahu, Disa masih ketakutan. Cuma melihat wajahnya, Revan bisa membaca perasaan Disa. “Bu, Disa pulang aja boleh?” Disa bertanya. “Saya juga izin ya, Bu. Biar saya yang antar Disa pulang.” Revan tiba-tiba berteriak lantang, tegas, dan tanpa keraguan. Tak peduli Disa menatapnya heran dan bingung. Yang Revan tahu, dia tidak ingin lagi melihat Disa menangis apalagi ketakutan. Dia bener-bener nggak pingin lihat itu lagi. --- Revan menatap koleksi komiknya dengan serius. Benar-benar serius. Lalu dengan yakin mengambil komik Detective Conan seri 1-10 dan menjejalkan ke tasnya. Kemarin, saat mengantar Disa pulang, Revan bercerita panjang lebar tentang Conan. Dia  ingin sekali Disa juga merasakan kesenangan yang sama seperti dirinya. Makanya dia ingin Disa membaca semua serinya. Memang sih pemaksaan, tapi Disa toh juga setuju. Disa menawarkan diri buat baca komiknya. Makanya hari ini Revan mau bawa. Dan Disa menerimanya dengan senang hati! Tapi Revan juga harus baca Harry Potter dan Twilight yang Disa suka juga. Barter. Revan pikir itu cara terbaik untuk lebih mengenal pribadi masing-masing. Dia ingin tau apa yang Disa suka, apa seleranya dan bacaan apa saja yang mengisi pikirannya. Mengejutkan, 10  komik bisa di libas habis dalam sehari. Sedangkan Revan perlu baca tiga hari untuk satu novel Harry Potter yang pertama. “Lama amat bacanya. Gue cuma butuh dua hari loh baca novel itu. Itu pun waktu gue masih kelas lima SD.” Revan tenang-tenang saja di sindir begitu. Dia sengaja kok. Pingin menghayati cerita Harry Potter tentang petualangan di dunia sihir. Dia penasaran apa yang membuat Disa sampai suka. Dan ketika Revan membaca novel itu Revan tersenyum. Apalagi waktu tau inti cerita twilight cerita cinta dua dunia antara manusia yang pacaran sama vampire. Narnia cerita tentang dunia lain dan stardust tentang dunia peri. Revan tau jelas selera cewek itu. “Gimana, udah selese baca Harry Potter pertamanya?” tanya Disa. “Bagus?” “Bagus sih.  tapi ceritanya kok imajinasi banget ya, nggak masuk akal. Kayak dongeng, nggak realistis.” Revan komentar sekadarnya. Disa mengernyit sebal. “Buat cerita emang butuh imajinasi! Lo pikir, Detective Conan realistis apa? Emang ada obat yang ngecilin tubuh kayak gitu? Emang ada detective yang sejenius itu? Emang ada ya pembunuhan yang pake trik-trik ditiap kasus? Kalo misal mau bunuh, ya bunuh aja.” “Ya walaupun asal bunuh aja tapi juga harus dianalisis juga toh siapa pelaku sama buktinya. Lagi pula setiap misteri itu pasti ada pemecahannya. Nah bacaan gitu itu yang bisa buat ngasah otak. Tau nggak sih kalo manusia biasanya cuma pake kemampuan otaknya 10% doang. Tau Einstein? Dia ilmuwan yang lebih cerdas dari shinichi itu konon kemampuan berpikirnya 10,4%. Emang lo juga nggak percaya, kalo ada orang sejenius Einstein?” Revan mengangkat alisnya. “Iya, iya. Selera kita emang beda. Emang si gue akuin, gue lebih suka cerita fantasi. Cerita yang bisa bikin dunia sendiri. Cerita yang didapetin dari imajinasi terliar dari kepala orang lain yang nggak pernah terpikirkan. Apalagi ceritanya bagus, unik, bisa membawa kita hanyut ke dalam suasana dan dalam setiap bukunya itu direncanakan dengan perfect!” Revan tau itu. “Cewek banget si.” Disa merengut. “Ngomong-ngomong, gue juga udah baca semua komiknya.” “Gimana, bagus kan? Bagus kan?” Revan antusias. Tapi Disa menggeleng. Revan jadi tertegun. “Menurut lo, Shinichi suka nggak sih sama Ran? Kenapa dia nggak bilang suka? Apa dia nggak mau bilang atau dia memang nggak punya perasaan apa-apa sama Ran?” tanya Disa. Revan melongo. Perasaan Ran? Pikirnya. Revan berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Disa. Dia tidak pernah kepikiran sebelumnya tentang itu. Melihat Disa merengut, Revan langsung bicara. ”Shinichi sayang kok sama Ran. Buktinya dia selalu ada di samping Ran, kan. Dari kecil sampai SMA. Mungkin aja sampai seterusnya.” Disa mengangguk. “Kalau Revan, bakalan selalu di samping Disa nggak?” Revan bengong. Pertanyaan  Disa hari ini benar-benar di luar dugaan semua. Dan dia nggak tau harus jawab apa. “Ah, maaf… pertanyaan Disa tadi ngelantur.” kata Disa. Revan melihat wajah Disa yang kecewa. Dan tiba-tiba dia kembali tidak suka melihat Disa yang susah. “Kenapa nggak? Tenang aja. Revan pasti akan selalu ada di deket Disa kok.” kata Revan. Dan cowok itu tersenyum setelah melihat senyum Disa lagi.  “Janji?” “Janji.“  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD