Latania Anthea meremas kedua tangannya kuat-kuat ketika pendeta itu menutup kitabnya dan tersenyum manis pada pasangan yang berdiri di depannya. Senyumnya ikut menyiratkan kebahagiaan. Sama halnya dengan para tamu yang datang, menyempatkan diri untuk menjadi saksi hari berbahagia ini.
"Silakan cium pasangan kalian."
Riuh sorakan dari bangku tamu terdengar nyaring di telinganya. Iris hijau beningnya menatap lurus ke depan. Dimana pasangan itu mulai mendekatkan wajah mereka masing-masing dan ciuman itu terjadi. Singkat, dan mendebarkan. Yang berhasil mengambil semua napasnya terbang.
Para tamu segera berdiri setelah ciuman itu terjadi. Wajahnya tertunduk sesaat, menyembunyikan luka yang sempat tercetak di wajahnya. Bernapas lebih hati-hati. Berusaha untuk tidak terlihat masam atau terluka. Ia telah menyiapkan banyak topeng bahagia dan suka saat di rumah. Dan tidak seharusnya mengacaukan dengan memasang raut derita agar mendapat simpati orang lain.
Anthea berdiri. Ikut bertepuk tangan riuh bersama para tamu lainnya yang hadir. Bergabung untuk meramaikan suasana. Mengesampingkan semua perasaannya, ia datang karena tekad kuatnya. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun.
Bahkan, ketika tatapan mata mereka bertemu, Anthea tidak lagi memasang wajah sedihnya.
.
.
Merapikan ikatan rambutnya, Anthea menggenggam tas mungilnya. Seakan-akan hanya itu satu-satunya penopang yang dia punya.
Gilirannya kali ini. Saat para tamu selesai menyalami pengantin baru dan segera pergi untuk mengambil makanan yang sudah dihidangkan di meja-meja yang tersebar di penjuru taman.
"Selamat untuk kalian," Anthea tersenyum saat tangan pengantin pria menyambut uluran tangannya dan tersenyum. Dia sendiri tidak tahu ekspresi wajah apa yang saat ini ia tunjukkan padanya. Yang jelas, Anthea hanya merasa dirinya sedang tersenyum. Dia merasa dirinya telah berperan sebagai sosok yang seharusnya. Bersikap ramah dan tidak membuat kekacauan dengan sorot sendunya.
"Terima kasih."
Jabatan tangan itu terlepas. Anthea bergeser ke kenan dan berdiri tepat di depan pengantin wanita yang tersenyum lembut padanya. Wajahnya sempat menegang seketika, namun Anthea berhasil mengendalikannya dan hanya senyuman yang terlihat. Membuat perasaan kebasnya kembali, kali ini terasa lebih nyeri. Hampir, hampir saja ia kehilangan napasnya.
"Selamat untukmu juga," kata Anthea dan wanita itu menyambut uluran tangannya.
Matanya terbuka lebar saat pengantin wanita itu menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Tepukan di punggungnya berhasil menyadarkan Anthea dari keterkejutannya.
"Terima kasih, Anthea. Kau benar-benar mau datang!" ucapnya riang.
Pelukan itu terlepas. Anthea menatap jauh ke dalam mata aquamarine itu. "Sama-sama. Ini termasuk tugasku untuk melihat bos terbaik kami bahagia," jawabnya. "Aku akan datang memberi selamat dan dukungan. Semoga kalian bahagia untuk selamanya." Sedikit terbata, tapi Anthea berhasil mengambil semua keberaniannya untuk mengatakan hal tersebut.
Wanita itu tertawa lepas. Membuat Anthea mau tak mau ikut tersenyum bersamanya. Lirikan matanya mengarah pada sang pria yang memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain. Berpura-pura menatap para tamu yang sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.
Anthea hendak pergi menjauhi pasangan pengantin baru itu sebelum tangan seseorang menariknya untuk berhenti. Anthea menoleh, mendapati sang wanita tersenyum ke arahnya. "Jangan pergi. Ayo, kita foto bersama. Aku harus punya kenangan bersamamu di hari penting ini, Anthea."
Anthea menatap ke kamera yang sudah bersiap mengambil gambar. Dengan ragu, ia berjalan mendekat dan berdiri di samping pengantin wanita. Berusaha kembali memasang raut cerianya, meski ia tidak bisa melakukannya dalam rasio seratus persen benar.
"Satu, dua, tiga."
Cekrek!
"Terima kasih!" Anthea mengangguk dengan senyum, lalu pergi.
.
.
Menghembuskan napas, Anthea memutar gelas anggurnya. Pesta masih ramai dan dia tidak enak hati jika harus kembali lebih dulu. Masih banyak teman kantornya yang menikmati pesta kali ini. Rasanya canggung kalau ia menyelinap pergi dan akan mendapat pembicaraan buruk esoknya.
Matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang duduk bersandar sendiri pada sebuah meja bundar kecil di dekat lampu taman yang redup. Wajahnya tidak terlalu terlihat jelas dari samping, tetapi ketika Anthea menyipitkan matanya, ia mendapati ada tatapan lain yang pria itu tunjukkan pada seseorang yang berdiri di depan sana.
Pria itu berbalik dan tidak sengaja menabrak pelayan wanita yang sedang membawa nampan berisi gelas anggur baru untuk para tamu. Alis Anthea menyatu kala wajah sedih pria itu tertangkap matanya. Terlihat tidak asing.
Anthea menaruh gelasnya di atas meja. Ia berjalan mendekati pria itu namun terlambat. Bahkan, tanpa kata maaf atau apa pun, pria itu bergegas pergi meninggalkan pesta dengan wajah terluka.
"Kau baik-baik saja?" sapa Anthea pada pelayan wanita itu. Pelayan itu segera mengangguk setelah membersihkan pakaiannya dan berjalan pergi melaluinya. Tidak lagi mengatakan apa pun.
Anthea mengangkat bahunya dan kembali ke mejanya. Tatapannya kembali jatuh pada pasangan pengantin yang sedang tersenyum lebar menghadap kamera. Tentu saja, ini momen sakral yang akan dikenang selamanya. Sudah seharusnya mereka mengabadikannya. Hari ini, harus banyak foto dan kenangan tercipta. Tidak peduli pada hati yang sedang berduka.
Tangan kanannya terkepal di atas meja. Anthea hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya dan kedua matanya yang mulai terasa memanas. Tidak, dia tidak akan menangis.
Sudah selesai. Semua sudah berakhir.
Sepuluh tahun yang lalu hanya akan menjadi kenangan. Tidak lebih. Semua sudah selesai di sini.
Anthea meremas tasnya. Jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukkan pukul sembilan malam. Jika ia berlama-lama di sini, bahaya bisa saja datang padanya. Jalanan menuju rumahnya sangatlah sepi. Anthea tidak akan mengambil resiko lebih jauh lagi.
Ia hendak berjalan menuju kursi pengantin dan langkahnya terhenti saat kepala pengantin pria terangkat lurus dan tatapan mata kelam itu jatuh padanya.
Anthea tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya ia berjalan pergi.
Menahan air matanya sekali lagi.
.
.
"Selamat pagi, Nona Anthea! Kau terlihat pucat pagi ini," sapa petugas pria berbadan tinggi menjulang yang berdiri di depan pintu masuk gedung. "Kau tidur cukup? Atau melewatkan jam sarapan lagi?"
Mata Anthea terbuka lebar karena terkejut. "Oh, benarkah?"
Petugas itu mengangguk dengan senyum sebelum akhirnya ia mempersilahkan Anthea masuk ke dalam gedung.
Setelah masuk, Anthea tidak menemukan adanya hal aneh di sana. Pernikahan sudah selesai dan para pegawai tetap bekerja seperti biasa. Mungkin, bos mereka sedang pergi bulan madu bersama suaminya. Mungkin saja.
"Anthea!"
Anthea menoleh setelah jari telunjuknya menekan tombol lift. Dengan senyum tipis, Anthea melambaikan tangannya dan Celin berlari mendekatinya dengan napas tersengal. "Kupikir, aku terlambat," desahnya. Celin memperbaiki ikatan rambutnya. "Aku semalam mencarimu, kau pulang lebih awal? Aku sebenarnya ingin mengajakmu pulang bersama. Sayang sekali, kau tidak ada di sana. Aku kembali sendiri akhirnya."
Anthea mengangguk. "Aku takut jika pulang terlalu malam, seseorang akan membunuhku di jalan," bisiknya. Celin memutar matanya. "Kau selalu berkata seperti itu. Tidak akan ada yang berani membunuhmu, mereka akan berpikir dua kali jika menyentuhmu. Malang sekali, tidak akan ada yang berani menyentuh perempuan-perempuan bertangan besi seperti kita."
Anthea tertawa kecil dan tak lama pintu lift terbuka. Mereka berdua masuk diikuti dengan dua orang pria ke dalam lift.
"Aku melihat atasan kita sangat bahagia semalam. Kurasa, Callia benar-benar mencintainya," ucap Celin pelan. Anthea menoleh dengan alis terangkat. "Bagaimana bisa kau menyebut atasan kita dengan namanya saja tanpa ada kata 'nyonya' di awalannya?"
Celin mendengus. "Dia tidak ada di sini. Santai saja," Celin tersenyum. "Lagipula, kita bertiga seumuran. Kita berada di kelas yang sama saat sekolah dulu. Hanya saja, nasib dan latar belakang yang membedakan antara kita dan dirinya. Dia kaya dan kita masih begini. Wah, memang harta menjadi penghalang yang sebenarnya."
Anthea menyenggol pundak Celin agak keras. "Yang terpenting kita bisa memenuhi hidup kita sendiri itu adalah suatu pencapaian yang besar."
"Kau benar."
Pintu lift terbuka, dua orang pria yang masuk bersamanya keluar. Hanya tersisa mereka berdua di dalam lift.
"Apa kita akan pulang malam hari ini? Ya Tuhan, memikirkan lembur membuat kepalaku sakit."
Anthea mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Mungkin saja," kepala menoleh. "Apa atasan kita sedang bulan madu?"
Celin mendesah. "Kudengar dari Saveri, Callia akan pergi bulan madu bulan depan. Mereka berdua memiliki kesibukan yang padat. Hm, Callia punya jadwal yang padat sebagai seorang CEO besar dan suaminya hmm siapa nama suaminya?"
Anthea terkekeh kecil. "Sai?"
"Ah, ya, Sai. Dia juga seorang manager kelas atas di sebuah perusahaan konstruksi. Kurasa, itu memakan waktu lama sampai mereka bisa menyesuaikan waktu bersama untuk pergi bulan madu," jawabnya panjang lebar. "Aku tidak tahu pasti. Tapi yang aku dengar, mereka tidak akan melakukannya dalam waktu dekat ini. Mungkin akan melakukannya di tahun depan? Mengingat bagaimana bos kita yang gila kerja dan tidak kenal waktu."
Anthea mengangguk dalam diam. Tatapannya kembali lurus ke depan. Berusaha menyingkirkan semua pikiran tentang pria itu di dalam kepalanya.
.
.
Anthea menopang dagunya di atas meja kerjanya. Tiga catatan kecil yang ia tempelkan pada layar monitornya seakan menatapnya horror. Tiga tugas yang harus ia kerjakan dalam waktu dua minggu. Menyebalkan.
"Berapa banyak lagi yang harus kuhitung?" desahnya lelah.
Celin mengintip dari celah pembatas yang membatasi antara mejanya dengan meja Anthea. Dia tersenyum melihat pekerjaan Anthea yang hampir selesai.
"Aku akan mentraktirmu minum jika kau mau membantu menghitung pekerjaanku," bisik Celin yang membuat Anthea mendesah.
"Tidak. Kau selalu berkata seperti itu seribu kali tapi tetap saja aku yang membayarnya," balas Anthea sarkatis dengan wajah kesal yang dibuat-buat.
Celin tersenyum merasa bersalah dan Anthea kembali memutar kursinya menghadap layar.
"Jam makan siang, Anthea. Kau turun atau tidak?"
"Aku harus pergi membeli sosis dan kopi. Aku benar-benar butuh makanan berlemak," jawab Anthea sembari membersihkan mejanya dan mengambil dompetnya dari dalam laci.
"Kau akan gendut,"
"Aku tidak peduli."
"Kalau begitu, aku titip juga. Belikan aku dua sosis dengan saus pedas di atasnya. Aku ingin jus jambu dingin," Anthea menoleh dengan mulut terbuka hendak menyela ucapan Celin sebelum gadis bermata teduh itu menyodorkan beberapa uang pada Anthea.
"Tolong, ya? Pekerjaanku belum selesai. Aku harus mengejar waktu untuk menyelesaikannya. Tetapi, aku sangat lapar. Perutku tidak mau berkompromi. Dan aku tidak bisa membiarkan pekerjaan ini berlama-lama. Huh, serba salah."
Anthea mengangguk dengan senyum tipis. "Aku bawakan nanti."
"Ah, terima kasih, Anthea!"
Anthea melambaikan tangannya dan pergi menuju lift yang akan membawanya ke lobi. Jam makan siang biasanya berlangsung sampai satu jam. Cukup lama sampai ia bisa bersantai dan menikmati udara Jepang di siang hari.
Sudah hampir empat tahun Anthea bekerja pada sebuah perusahaan bidang produksi. Perusahaan ini milik keluarga besar Daviana yang berdiri sudah hampir tiga puluh tahun lamanya dengan anak perusahaan yang menyebar luas di seluruh kota Jepang. Anthea bekerja langsung untuk kantor pusatnya. Dengan perbandingan gaji yang cukup jauh dari anak perusahaan lainnya, itu mencukupi kebutuhannya hidup sendiri di sini.
Anthea menghembuskan napas panjang saat ia melangkahkan kakinya ke luar dari pintu masuk gedung. Langkahnya terhenti saat ia melihat seorang pria keluar dari dalam mobil mewahnya dan berjalan menaiki tangga masuk ke dalam gedung.
Matanya menyipit tajam saat melihatnya. Pria itu! Pria yang sama semalam. Ia melihat pria itu datang ke pesta pernikahan Callia!
"Selamat datang Tuan Madana," sapa petugas pria yang sama saat menyapa Anthea pagi tadi.
Pria itu hanya mengangguk singkat dan berlalu pergi begitu saja. Ada aura yang tidak Anthea mengerti dari pria itu sangat terasa padanya.
"Madana? Dia Madana Addi?" Anthea menutup mulutnya yang terbuka karena rasa terkejutnya. Dia bertemu langsung dengan Madana Addi, CEO besar yang sangat dikagumi itu.
"Oh, ini hebat." Gumamnya pada diri sendiri sebelum akhirnya menuruni anak tangga dan pergi membeli makan siang.
.
.
"Ya Tuhan, kau benar-benar lama, Anthea," Anthea menghentikan langkahnya saat mendapati Celin berdiri gelisah di dalam lift. Memandangnya dengan kesal.
"Kupikir, kau pingsan karena kelelahan. Wajahmu pucat pagi tadi. Aku merasa bersalah padamu," ucap Celin setelah menarik Anthea masuk ke dalam lift.
"Aku tadi duduk sebentar. Mencari udara segar di luar. Kau harus mencobanya, Celin," kata Anthea. Celin mengangguk masam. "Aku akan pergi besok. Kalau pekerjaan tidak menggunung, dan mereka memberiku kesempatan untuk bernapas di jam makan siang."
"Kita makan di taman saja. Bagaimana?" tawar Anthea yang diberi anggukan Celin. Celin menekan tombol nomor pada lift dan lift yang mereka tumpangi segera naik ke atas menuju tempat tujuan.
.
.
Saat Anthea ke luar bersama Celin, ia bertemu dengan pria yang ia kira bernama Madana Addi di lantai dua puluh. Pria itu sedang berdiri bersandar pada sebuah lorong panjang yang menghubungkan antara ruang pribadi milik Callia dan lift pribadinya.
"Untuk apa dia datang kemari? Bukankah hubungan mereka sudah selesai? Aneh. Apa dia tidak bisa merelakan mantan kekasihnya untuk bahagia bersama orang lain? Benar-benar," bisik Celin. Anthea mendengarnya seperti gumaman kecil. Sepertinya Celin sengaja tidak berbicara keras di sini.
"Ayo," Celin menarik tangannya menuju lorong berbelok sebelah kanan yang berujung pada taman buatan dimana taman ini sengaja didesain untuk para pegawai bersantai dari tugas dan pekerjaan yang mereka lakukan. Sekedar menghirup udara segar atau duduk bersantai menikmati pemandangan langit cerah dari lantai dua puluh gedung.
"Siapa dia?" tanya Anthea saat mereka duduk di bawah bangku panjang yang ada di taman.
"Pria tadi? Itu Madana Gale. Kau tidak tahu?" tanya Celin balik saat mereka tengah membuka bungkusan sosis.
Anthea menggeleng. Jadi, pria tadi bukan Madana Addi? Kenapa wajah mereka mirip? Anthea bergumam dalam hati.
"Kupikir, Madana Addi," jawabnya polos. Celin menggeleng cepat. "Tidak. Dia Madana Gale, adik kandung dari Madana Addi dan putra bungsu Madana Kavin. Kau pasti mengenal dua pria itu, 'kan?"
Anthea mengangguk.
"Kau seharusnya banyak menonton televisi dan membaca koran. Kau akan tahu bagaimana hidup keluarga Madana berjalan," kata Celin sembari memakan sosisnya. "Menyedihkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Di antara keluarga Madana yang lain, aku begitu mengasihani Madana Gale."
Anthea meminum jusnya. "Apa yang terjadi?"
Celin mengangkat bahunya. "Aku sendiri tidak benar-benar yakin. Aku mengetahuinya karena Saveri bekerja dengannya. Tetapi, Saveri tidak pernah mau menceritakan hal sensitif seperti itu padaku. Karenanya, itu bersifat sangat rahasia. Tidak semua orang boleh, atau mendapatkan cerita tersebut. Aku tidak memaksa. Dan dia juga tidak menjelaskan secara rinci."
"Aku melihatnya beberapa kali. Seingatku sebulan yang lalu di depan pintu masuk. Dia seperti menunggu seseorang," balas Anthea. "Semalam juga aku bertemu dengannya di pesta pernikahan Callia. Aku berusaha mengingat siapa dia, wajahnya tidak asing. Dan ternyata aku pernah melihatnya," Anthea menggigit sosisnya. "Aku juga bertemunya saat keluar membeli makanan tadi di pintu masuk. Beberapa kali melihatnya, dan aku masih tidak mengenalnya. Otakku lama mencerna rupanya."
Celin tersenyum sedih. "Kupikir, Gale kemari untuk Callia. Ini sulit, Callia adalah cinta pertamanya."
Kunyahan di mulutnya terhenti seketika. Iris hijaunya menatap lurus ke depan. Seolah ada batu besar yang dijatuhkan di atas kepalanya. Anthea menaruh gelas jus di sampingnya dan terdiam.
"Kudengar, Callia dan Gale berteman sejak mereka masih kecil. Sangat klasik. Seperti cerita yang sering k****a di novel atau drama romantis yang sering kutonton setiap minggu pagi, tapi ini benar-benar nyata. Dan Gale mencintainya," ucap Celin setelah menelan sosis potongnya.
"Mereka berdua terlahir dari keluarga kaya, bukannya?"
Celin mengangguk. "Ya, kekayaan kedua keluarga itu tidak bisa lagi dihitung dengan akal sehat. Tetapi, bukankah hidup selalu memberi pelajaran? Tidak selamanya apa yang kauinginkan akan kau dapat. Tidak selamanya kehidupanmu berjalan sesuai maumu, tidak semudah itu."
"Kupikir, mereka saling mencintai," bisik Anthea.
"Awalnya, aku juga berpikir sama denganmu, tetapi semalam aku melihat Gale begitu hancur. Dia datang dengan perisai yang kuat namun runtuh saat melihat cincin itu berakhir di jari manis Callia," jawab Celin lirih. "Gale adalah pria yang baik. Sayangnya, itu tidak terlihat karena tertutup oleh wajahnya yang dingin dan sikapnya terlalu tertutup pada orang lain."
Celin menoleh pada Anthea yang terdiam di tempatnya. Tubuh gadis itu tampak seperti batu. Tegang dan kaku. Anthea tidak bergerak sedikit pun. Bahkan, dari samping tampak Anthea sedang menahan sesuatu yang tidak Celin tahu.
"Mengapa bisa Callia menikah dengan Sai, Anthea? Bagaimana menurutmu?"
Remasan Anthea pada rok hitamnya menguat. Kedua matanya mulai terasa memanas.
"Mereka saling mencintai, mungkin?" bisik Anthea yang terdengar seperti gumaman kecil.
Celin mengangguk singkat. Tetapi, pandangannya masih belum lepas darinya.
"Bukan karena ikatan perjodohan?"
Pertanyaan Celin sukses membuat pertahanannya hancur. Anthea memejamkan matanya dan air mata itu meluncur bebas turun ke pipinya. Remasan pada roknya melemah, kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya.
"Anthea?"
Anthea menurunkan kedua tangannya setelah menghapus air matanya. Ia tersenyum pada Celin. "Dia, Sai, adalah kekasihku."
Dan detik itu juga, Anthea sukses membuat Celin menjatuhkan gelas jus jambunya dan membuat gadis itu membelalak terkejut dengan mulut terbuka.
.
.
Anthea menolak tawaran Celin untuk pulang bersamanya karena Anthea akan pulang dengan bus umum dan pergi ke suatu tempat untuk membeli sebuah barang.
Saat Anthea keluar dari pintu masuk, ia melihat Madana Gale berdiri tepat di bawah tangga dengan bersandar pada mobil hitam mewahnya. Anthea melirik jamnya, pukul tujuh malam. Dan seluruh aktifitas di dalam gedung sudah berhenti sejak dua jam yang lalu.
Anthea segera berjalan menuruni anak tangga dan tatapan tajam pria itu sempat mengarah padanya sebelum akhirnya Gale mengalihkan pandangannya ke arah lain dan bersikap tidak peduli.
Beberapa detik setelahnya, Anthea mendengar sebuah mobil mendekat ke arah pintu masuk gedung dan berhenti agak jauh di sana. Anthea memandang mobil hitam itu sekilas sebelum ia mendengar sebuah suara berat dari belakang punggungnya menyapa seseorang.
"Selamat malam, Nyonya Daviana. Hati-hati di jalan."
Anthea memutar kepalanya dan mendapati Callia tengah berjalan menuruni anak tangga. Anthea tersenyum dan mengangguk sopan padanya. Callia tersenyum setelah menepuk pundaknya.
Ada hal yang sangat memukulnya. Anthea benar-benar melihat Callia mengabaikan Gale yang mungkin sejak tadi berdiri di sana menunggunya. Anthea tahu ini salah, tapi bisakah?
Pandangan Anthea mengikuti langkah Callia yang berjalan mendekati mobil hitam yang baru saja tiba di sana. Ketika pintu pengemudi terbuka, Anthea membeku di tempatnya.
Itu Sai.
Pandangan Gale juga mengikutinya. Anthea bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya barang selangkah untuk berlari dari sana sejauh mungkin.
Dia tidak bisa.
Saat Sai datang dan Callia memeluknya, Anthea tidak bisa untuk memalingkan wajahnya. Fokusnya hanya pada pasangan pengantin baru di depan sana. Melihat bagaimana cara Sai memperlakukan Callia dengan lembut.
Callia masuk ke dalam mobil dan Sai sama sekali tidak melihatnya. Anthea menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Mobil hitam itu perlahan-lahan mundur dan berbelok arah menuju gerbang utama yang berhubungan langsung dengan jalan besar. Mobil itu akhirnya pergi dan menghilang bersama mobil lainnya yang melintas.
Anthea menutup mulutnya, dia tidak mungkin menangis di sini. Tidak mungkin bertingkah konyol karena hal kecil seperti tadi. Tapi, mengapa rasanya sangat sakit?
Anthea mengusap wajahnya dan berjalan pergi. Tetapi, sebelum ia melangkah lebih jauh lagi, ia menoleh ke belakang. Mendapati Madana Gale masih berdiri di sana dengan ekspresi dingin yang Anthea yakini, itu ekspresi wajah terluka yang sangat dalam.
Anthea terdiam. Memikirkan hubungan apa yang terjalin di antara keduanya. Tapi, ada satu hal yang bisa ia ambil di sini kalau dia tidak sendirian. Dia tidak sendiri menanggung rasa sakitnya.
Iris kelam itu memutar dan kini menatap matanya. Anthea sendiri bahkan tidak tahu apakah pria itu tahu kalau kini kedua matanya mulai memerah karena menahan tangis.
Tidak, dia tidak sendirian. Pria itu jauh lebih menyedihkan dibanding dirinya. Pria itu jauh lebih menderita dibanding dirinya dan dia melihatnya.
Anthea memberikan senyum kecilnya dan berharap itu bisa menghibur hati Gale yang terluka. Namun, sayangnya tidak ada respon. Gale hanya menatapnya kosong.
Anthea memutar kepalanya. Pandangannya lurus ke depan. Ia mulai melangkah satu demi satu sampai suara Gale yang cukup keras berhasil membuat langkahnya terhenti.
"Matteo Sai ..." Anthea meremas tas kerjanya kuat-kuat. "Bukankah dia kekasihmu?"
Anthea terdiam di tempatnya. Dia menoleh ke arah Gale dan pria itu tersenyum dingin padanya. "Kau. Juga. Menyedihkan."
Anthea tersenyum lebar. "Tidak, Tuan. Dia hanya temanku. Kami berdua adalah sahabat dekat," dustanya.
Anthea kembali berbalik setelah mengucapkan selamat malam dengan sopan sebelum suara berat itu kembali mengusik langkahnya.
"Aku juga menyedihkan, sama seperti dirimu."
Dan Anthea tetap berjalan lurus ke depan tanpa lagi menoleh ke belakang.