Pertemuan

1256 Words
Pagi ini langit berwarna abu, tidak sepotongpun berwarna biru. Awan mendung menggantung, seakan siap menurunkan butiran hujan dari angkasa. Seperti wajah sendu yang sebentar lagi menumpahkan tangisan. Tiada kecerahan di atas sana, hanya tampak hamparan kelabu. Pagi ini, hari minggu. Aku terduduk di atas bingkai jendela kamar dengan secangkir kopi hangat di tangan. Menatap nanar ke jalanan basah bekas guyuran hujan semalam. Mengingat kembali kenangan beberapa tahun silam. Tentang seseorang yang pergi tanpa kabar satu kali pun. Yang ada hanya meninggalkan luka dan membawa sepotong hatiku pergi. Tentang seseorang yang begitu mengistimewakan diriku, namun kemudian melemparku ke dalam jurang kesengsaraan. Derita, nestapa, duka, lara dan rindu menjadi satu. Menyayat hatiku setiap hari. Hingga rasanya hidup ini hampa. Pergi tanpa alasan Tanpa maksud Apa dia ingin aku mati karena menanti? Satu tahun silam, kenangan yang penuh dengan kebahagiaan... Sampai kau pergi tanpa penjelasan. Selasa, 21 Oktober 2019 Pintu kaca yang berderit pelan di depan sana mengalihkan perhatianku dan dua rekan lainnya, yang sedang mengobrol ringan sembari sesekali melirik pada meja-meja pelanggan yang kebanyakan kosong. Pagi ini, kafe tempatku bekerja sedang sepi, hanya satu-dua orang yang berkunjung. Seorang pria muda membawa ransel di punggung, masuk dan duduk di kursi dekat pintu kafe. "Uwiiss, cakep tuh!" Seru Teresia, setengah berbisik. Yang dia maksud adalah pria muda itu. "Dasar." Sambil melangkah santai, aku memperhatikan gerak-geriknya. Kulihat dia mengeluarkan laptop dari ransel besar-nya, membukanya. Sepertinya dia memeriksa pekerjaan di benda itu. "Pagi," sapaku, dibumbui senyuman manis tentunya. Pria itu tidak menjawab sapaanku. Terus fokus pada laptopnya. "Mau pesan kopi apa? Silahkan dibaca, mas." Aku masih terlalu senang menyapanya. Dia melirik sekilas pada buku menu yang kupegang, dan refleks, aku langsung menyodorkan benda itu. "Silahkan dipilih," aku berkata dengan ramah. Memperhatikan dia yang sedang melihat-lihat menu di buku. "Kopi alpukat satu." Jawabnya. "Oke Avocado Coffe ya, mas. Sama camilannya mau?" "Roti pisang panggang satu." Nada bicaranya tetap datar meskipun aku sudah memakai gaya ramah kepadanya. Sepertinya orang cuek, aku bisa menebaknya. "Oke, jadi menunya Avocado Coffe sama Roast Banana Bread, ya! Siap!" Ucapanku tetap penuh semangat. Tapi, kemudian dia berkata, "Emang bahasa Indonesia kurang bagus ya? Sampai nama makanan pakai bahasa inggris?" Tanpa menatapku, terus fokus pada laptopnya. "Eh, enggak sih. Mas, itu cuma biar keren saja!" Ujarku sambil tertawa kecil. Tetapi dia acuh, tidak mendengarkanku. Dan aku segera pergi ke dapur, membuatkan pesanannya. Hih! Dasar cowok cuek! Teresia dan Bunga, menertawai saat aku melewati mereka. "Sukur dicuekkin!" "Cie ketemu cowok dingin," Aku hanya melotot pada mereka. Dasar ya, dua cewek itu sepertinya senang melihatku diperlakukan seperti tadi oleh pria cuek itu. Tetapi mereka adalah rekan kerja yang terbaik bagiku. Meskipun terkadang konyol, rese, rewel... Kami adalah tim yang solid dalam pekerjaan, dan dalam pengelolaan kafe ini. Sudah tiga tahun aku bekerja di sini. Rasanya tidak ingin pindah tempat lagi, karena terlalu nyaman. Pemiliknya pun, bukan owner dewasa yang galak, tegas dan penuh wibawa, seperti kebanyakan tempat usaha lain. Melainkan hanya sepasang suami istri muda yang seumuran denganku dan rekan lainnya. Dan mereka kebetulan adalah teman sekelasku juga. Sikap mereka sebagai pemilik usaha itu juga, tidak seperti bos dengan karyawan. Melainkan semacam hubungan teman. Dekat dan hangat. Mereka mempercayakan usahan sepenuhnya pada para karyawan. Karena percaya pada kemampuan kami. Dan kami sebagai karyawan pun tetap profesional meskipun owner begitu baik. Tetap melakukan kewajiban dengan penuh tanggung jawab. Bukan malah bersikap seenaknya mentang-mentang bos baik. "Ri? Kok bengong?" Suara Bunga membuyarkan lamunanku. Jadi, tanpa sadar, aku melamun? Ish, menyebalkan sekali. Buru-buru aku bergerak untuk mengantar pesanan si pria tadi. "Ciee...mikirin apa Ri?" Bunga malah terus menggodaku. Dan Teresia juga ikut-ikutan. Aku abaikan saja mereka, segera menuju kursi pemesan kopi. "Nah, silahka-aah!" Tiba-tiba kopi yang kubawa tumpah akibat badanku yang kehilangan keseimbangan karena menabrak kaki salah satu kursi. Dan parahnya lagi, kopi itu... Tumpah tepat mengenai wajah dan pundak si pria tadi! Deg Jantungku berdegup kencang. Aku kaget bukan main. Bisa kutebak ekspresi dua rekanku yang lain di belakang sana saat ini. Dengan tubuh gemetar, aku perlahan berdiri tegak di hadapan pria itu, menggenggam erat wadah yang kubawa. Meremasnya. Rasanya aku juga ingin meremas jantungku yang berdegup hebat saat ini. "M-maaf ya, mas...saya gak sengaja," Pria itu masih terdiam sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh kopi dan krim. Aku menahan napas. Menanti reaksinya beberapa saat lagi, yang akan berubah menjadi singa. Ingin rasanya aku berlari sekarang juga, dan berharap kejadian saat ini adalah mimpi. "Aduh, mas maaf ya! Riri gak sengaja mas! Ini dilap saja mas!" Teresia dan Bunga sudah menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Salah satunya menyodorkan sapu tangan pada pria itu. Raut wajah mereka juga hampir sama denganku. Kaget bercampur cemas, seakan ada gempa bumi melanda tempat kami. Tiba-tiba pria itu merebut sapu tangan dari tangan Bunga, Dan... Dia berjalan ke arahku dengan tatapan dingin! Kedua rekanku pun menjadi gugup, ketakutan. Kulihat tangannya mengepal sapu tangan dengan erat sekali. Aku menahan napas. Apa yang akan dia lakukan padaku? Segera kupejamkan mata. Aku tidak mau melihat apapun yang akan terjadi padaku saat ini! Satu, dua, tiga... "Ini serius kamu siram saya begini?" Hanya kata-kata itu yang keluar. Datar nadanya, namun penuh penekanan. Aku langsung membuka mataku. Teresia dan Bunga menutup mulut mereka masing-masing dengan telapak tangan. "Sa-saya gak sengaja, maaf sekali lagi..." Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang entah bagaimana penampilannya sekarang. Jujur, aku sangat malu dengan kejadian ini. Pada rekanku dan pada pelanggan kafe ini. Dia mendecak sebal. "Bisa kerja gak sih? Masa kerja sambil melamun?" Ujarnya, sambil menghela napas kasar. Dia lalu berjalan ke arah pintu toilet dengan sapu tangan di dalam genggaman. Aku dan rekanku bisa mendengar gerakan pintu toilet yang ditutup dengan agak kencang. Pelanggan itu marah. Kecewa pada pelayanan tempat kami. Mungkin dia akan pergi ke suatu tempat dengan suatu urusan, tetapi pakaiannya malah kotor tersiram kopi. Bisa jadi, dia membatalkan urusannya karena kejadian hari ini. Dan akulah penyebabnya. Astaga, betapa bodohnya aku, ceroboh dalam pekerjaan. Tumpah sudah air mataku. Berusaha kusembunyikan, namun tetap ketahuan. Aku tidak bisa menahan rasa malu, kesal pada diriku saat ini. Perasaanku campur-aduk. Teresia dan Bunga mencoba menenangkanku. Karena sudah seperti sahabat lama yang begitu dekat, mereka tahu bagaimana saat ini keadaan perasaanku. Berkali-kali aku harus membuka kacamataku yang berembun, mengusap air mata yang meleleh. Teresia menyuruhku untuk berdiam di dapur hingga perasaanku lebih tenang. Kuperhatikan dari balik etalase alat-alat pemroses kopi, pria itu belum terlihat di antara deretan meja dan kursi di depan sana. Sepertinya dia belum keluar dari toilet. Pasti dia sedang sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor. Aku kembali merutuki diriku. Merasa bersalah atasnya. Teresia dan Bunga masih sibuk melayani pelanggan lain yang datang bersusulan. Satu, dua, tiga, empat, lalu kafe kosong lagi. Sepertinya hari ini memang sedang sepi. Dan parahnya, malah ada kejadian yang SAMA SEKALI TIDAK MENGENAKAN, terutama untukku. Tiba-tiba pandanganku menangkap sosok yang berjalan ke arah salah satu meja. Pria itu sudah selesai membersihkan diri rupanya. Ketika aku melirik jam tangan, dan aku berhitung, dia membersihkan diri hampir setengah jam! Parah sekali... "Mas, sekali lagi saya minta maaf," Aku sudah berada di belakang pria itu ketika dia sedang sibuk memakai jaketnya. Membuatnya sedikit tersentak kaget karena kemunculanku yang tiba-tiba. Dua rekanku menatap dengan raut bimbang dan, masih agak takut. Si pria mendecak kesal. Dia meraih ranselnya dengan cepat. "Mas juga gak usah bayar kopi yang tad-" "Jangan bicara sama saya. Saya malas bicara sama orang kalau lagi kesal sama orang itu," Dia berjalan meninggalkan aku yang diam membeku. Tak tahu apa yang harus kuucapkan saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD