Prolog

1823 Words
"Revanya Putri Alexandra! Apa kamu tidak pernah jenuh untuk membuat masalah dan selalu saja keluar masuk ruangan saya setiap hari?" tanya seorang sosok paruh baya yang sedang duduk di hadapan Vanya. "Enggak tuh Pak, saya senang bisa keluar masuk ruangan ini setiap hari, bahkan setiap saat." balas Vanya sambil mengeluarkan smirk andalannya. Seketika sosok pria paruh baya itu memijit pangkal hidungnya, dia sungguh merasa teramat pusing untuk menghadapi seorang murid perempuan berandal ini. Apalah daya Bisma, sosok paruh baya yang menduduki posisi sebagai seorang guru bimbingan konseling bagi siswa-siswi berandalan seperti Vanya contohnya. "Vanya, apa kamu tidak mengkhawatirkan perasaan dan harga diri orang tua mu? Kamu bahkan bertindak seenaknya sendiri, lalu apakah orang tua mu tidak pernah mengajarkanmu sopan santun? Kamu ini anak perempuan tetapi memiliki tingkah laku sangat urakan dan berandalan!" ucap Bisma seraya menghela nafasnya berat dan menatap tajam kearah Vanya. Seketika emosi Vanya memuncak, dia sangat muak dan tidak sudi saat kenalakannya di sangkut pautkan dengan kedua orang tuanya itu. Tatapan mata Vanya berubah menjadi tajam dan dingin. Semua orang yang berada disamping Vanya pun mampu bergidik ngeri. "Saya tidak perduli dengan mereka." balas Vanya dengan nada dingin dan sorot mata yang tajam. "Kenapa kamu tidak perduli? Mereka keluarga kamu, mereka itu orang tua yang membesarkan kamu Vanya." ucap Bisma sambil menghela nafasnya. "Saya tidak pernah menganggap mereka orang tua saya. Saya juga tumbuh dan berkembang bukan dengan kasih sayang mereka." balas Vanya dengan nada dingin. "Bagaimana bisa kamu tumbuh tanpa kasih sayang orang tuamu? Kalian tinggal satu atap, kalian juga pasti saling menyayangi satu sama lain bukan?" tanya Bisma dengan menautkan kedua alisnya. "Saya rasa Bapak tidak perlu mengetahui alasannya, karena ini sudah memasuki urusan pribadi keluarga saya. Saya mengakui kesalahan saya hari ini, tetapi jangan sangkut pautkan semua kenakalan saya dengan orang tua saya." balas Vanya dengan nada dingin dan sorot mata yang sangat tajam. Seketika Bisma terdiam, sorot matanya menunjukkan suatu penyesalan atas ucapannya tadi kepada Vanya. Sebenarnya Bisma mengetahui jika Vanya adalah anak broken home, tetapi Vanya menutupi segara kesedihannya dengan kenakalan yang dia perbuat. Bisma tidak mau mengambil resiko untuk sekarang ini, karena beberapa hari lagi dia akan di pindah tugaskan ke sekolah lain. "Baiklah kalau begitu, saya memang tidak mengetahui apapun yang terjadi sebenarnya di kehidupan kamu Vanya. Tetapi saya harap kamu mau merubah sikap kamu mulai sekarang hingga nanti, kasihan orang tuamu nak." ucap Bisma sambil menatap sendu ke arah Vanya. "Untuk apa saya mengasihani mereka? Sementara mereka saja tidak pernah memikirkan atau mengasihani saya sedikitpun. Saya permisi." balas Vanya sambil tersenyum kecut dan beranjak meninggalkan ruangan bimbingan konseling itu. Sepeninggalnya Vanya dari ruangan bimbingan konseling itu, pikiran Vanya langsung saja berkecambuk. Suasana hati Vanya berubah menjadi buruk saat mendengarkan ucapan Bisma yang menyangkut pautkan perilaku berandal Vanya dengan orang tuanya. Dengan langkah panjangnya, Vanya mulai melangkah ke arah parkiran sekolah. Vanya berniat untuk membolos hari ini, pikiran dan suasana hati Vanya sangat buruk sekarang. Yang Vanya butuhkan sekarang hanyalah ketenangan, dan Vanya sudah mengetahui dimana tempat yang tepat untuk dirinya mencari ketenangan itu. Disaat Vanya sudah sampai di parkiran, Vanya langsung menuju ke arah mobil sports berwarna silver. Vanya mulai membuka pintu mobil itu dan menaiki mobilnya, tetapi sepertinya Vanya lupa jika sekarang masih dalam jam pembelajaran dan mana mungkin satpam SMA Garuda dengan mudah membukakan gerbang untuknya. Mobil Vanya melesat meninggalkan area parkir, kini mobil Vanya kembali berhenti tepat di depan gerbang yang berdiri kokoh. Tidak berselang lama, ada seorang satpam paruh baya yang menghampiri Vanya yang masih berada di dalam mobilnya. Tok, tok, tok. Jendela mobil Vanya di ketuk pelan oleh satpam itu, mau tidak mau Vanya harus membukanya. Tangan Vanya terulur untuk menekan tombol yang berfungsi untuk membuka jendela mobilnya. Setelah jendela terbuka, terlihatlah sosok paruh baya yang menatap heran kepada Vanya. Satpam itu menaikkan satu alisnya, "Mau kemana kamu? Ini masih jam pembelajaran loh." "Saya mau pulang Pak, saya merasa kurang enak badan," ucap Vanya seraya menatap penuh harap kepada satpam itu. "Baiklah kalau begitu, tetapi apa kamu sudah izin kepada guru untuk pulang lebih awal?" tanya satpam itu. Sejenak Vanya terdiam, "Sudah." "Ya sudah, saya bukakan dahulu gerbangnya." ucap satpam itu. Satpam itu pun berjalan menjauhi mobil Vanya, kini satpam itu mulai membuka gerbang sekolah SMA Garuda yang menjulang tinggi itu. Dengan gerakan secepat kilat, mobil Vanya mulai melesat meninggalkan area parkir sekolahnya itu. Vanya mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata, untung saja sekarang masih jam kerja dan sekolah jadi jalanan tidak begitu ramai. Mobil sports milik Vanya mulai berbelok ke suatu tempat. Vanya segera menghentikan mobilnya di tempat parkir yang berada di seberang jalan itu. Kaki jenjang milik Vanya mulai melangkah lebar, tatapan Vanya menuju ke arah penjual bunga di ujung jalan. Dengan langkah cepat Vanya menghampiri penjual bunga itu. "Saya mau beli bunga tulip putihnya satu bucket Bu." ucap Vanya setelah sampai di penjual bunga itu. "Iya Nak, ini bunganya." balas penjual bunga itu sambil menyodorkan satu bucket bunga tulip berwarna putih. "Berapa harganya?" tanya Vanya dengan tangan kanan yang menerima bunga tulip itu dan tangan kiri yang merogoh saku rok abu-abu miliknya untuk mengeluarkan dompet miliknya. "Lima puluh ribu Nak." balas penjual bunga itu. "Ini Bu, kembaliannya ambil saja." ucap Vanya sambil menyodorkan selembar uang seratus ribuan itu. Penjual bunga itu menerima uang pemberian Vanya dengan mata yang penuh binar, "Terima kasih Nak, semoga rezeki orang tua mu dilancarkan oleh Tuhan dan semoga kamu bisa meraih cita-citamu kelak." Seketika Vanya tersenyum kecut mendengar ucapan sang penjual bunga itu mengenai orang tuanya. Sebenarnya Vanya sangat tidak perduli akan semua kekayaan yang dia miliki sekarang, justru Vanya sedikit membenci kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya saat ini karena hanya untuk meraih kekayaan dunia sang Ayah dari Vanya rela mengorbankan kasih sayang yang tidak pernah dia berikan kepada Vanya dan memilih untuk menikahi seorang wanita conglomerate itu. "Iya, terima kasih atas doa yang Ibu berikan." balas Vanya sambil tersenyum singkat lalu beranjak pergi. Kini kaki Vanya mulai melangkah menapaki tanah pemakaman yang dia datangi. Memang benar, kini Vanya sedang mengunjungi sang Bunda di pemakaman umum yang kebetulan cukup dekat dengan sekolah Vanya. Perlahan Vanya mulai mendekat ke arah gundukan tanah yang berada didepannya. "Selamat pagi Bunda." sapa Vanya seraya berjongkok dan meletakkan satu bucket bunga tulip itu didepan makam sang Bunda. "Maafkan Anya ya Bunda, Anya baru sempat menengok Bunda disini. Beberapa hari ini Anya banyak sekali masalah yang harus Anya selesaikan." ucap Vanya sambil mengelus batu nisan dengan tulisan nama Melinda Irmawati. "Maaf juga untuk kekacauan hari ini yang Anya buat, maaf Anya belum bisa menjadi gadis baik untuk Bunda." ucap Vanya. "Bunda, Anya rindu sekali dengan Bunda. Apa Bunda disana juga rindu dengan Anya? Terkadang, Anya pernah berpikir untuk ikut Bunda ke syurga. Tetapi mengapa Tuhan tetap memberikan kehidupan untuk Anya? Anya mau bersama Bunda, Anya sama sekali tidak sudi untuk hidup berdampingan dengan pria b******k itu." ucap Vanya dengan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh membasahi pipi mulusnya. "Sejujurnya, Anya belum bisa memaafkan pria itu karena kematian Bunda. Anya tau, jika Bunda masih hidup, Bunda akan selalu meminta Anya untuk memaafkan pria itu. Tetapi maafkan Anya ya Bunda, Anya belum bisa memaafkan pria b******k itu, andai saja dia tidak memilih pergi bersama selingkuhannya di hotel itu, pasti dia bisa menemani Bunda saat operasi di rumah sakit dan menguatkan Anya disana. Anya masih belum bisa menganggap dia sebagai Ayah Anya, bahkan Anya pikir dia sangat tidak pantas untuk Anya sebut sebagai seorang Ayah." ucap Vanya diiringi dengan isak tangisnya. "Apakah Bunda tau? Wanita yang membuat keluarga kita hancur kini telah menjadi istri kedua pria itu, Anya dan mereka kini tinggal satu atap. Sejujurnya Anya sangat tidak sudi untuk tinggal bersama pengkhianat itu. Tetapi untuk sekarang ini Anya sedang berusaha menabung dan mengembangkan usaha Cafe impian kita dulu Bunda. Jika Cafe itu sudah berkembang, Anya akan membeli satu apartement untuk Anya tinggal. Anya tidak sanggup menahan rasa sesak di d**a Anya setiap kali Anya bertatap muka dengan perempuan itu." lanjut Anya seraya mengusap air matanya. "Kalau begitu Anya pamit dulu ya Bunda, semoga Bunda tenang disana. Anya akan berusaha mengunjungi Bunda setiap akhir pekan." ucap Vanya sambil menyunggingkan senyumannya dan beranjak berdiri. Vanya langsung saja berbalik badan untuk segera pergi dari makam sang Bunda. Tetapi langkah Vanya di hentikan oleh seorang Pria muda yang sudah berdiri tegap di depan Vanya. Vanya meneliti penampilan Pria itu dari atas sampai bawah. Pria itu tampak seperti seorang pegawai negeri. "Jangan menangis, Bundamu pasti akan bersedih jika mengetahui kamu selalu menangisi kepergiannya." ucap Pria itu dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan. "Ma ... maksud Bapak apa ya? saya tidak mengerti." balas Vanya dengan sedikit terbata-bata. "Ikut saya sebentar, saya rasa kamu butuh tempat untuk berkeluh kesah." ucap Pria itu seraya menggandeng tangan Vanya untuk keluar dari tempat pemakaman itu. Vanya hanya menurut saja ketika tangannya sudah di tarik oleh Pria muda nan tampan itu. Seolah Vanya terhipnotis dengan ketampanan yang dimiliki Pria tampan itu. Bagi Vanya, Pria itu memang benar-benar berbeda dan sangat tampan. Bagaimana tidak? memiliki hidung mancung, bulu mata yang lentik, alis tebal, sorot mata yang tajam, serta tubuh ideal dan atletis adalah proporsi yang sangat ideal bagi seorang Pria di mata Vanya. Tanpa Vanya sadari, kini mereka sudah berada di sebuah taman terdekat dari tempat pemakaman tadi. Vanya dan Pria itu pun duduk di salah satu bangku taman itu, Vanya merasakan ada kecanggungan antara Pria asing di sebelahnya. "Saya tau masalah kamu pasti berat, tetapi berhentilah untuk berpura-pura tegar dihadapan orang lain. Percuma saja kamu menutupi luka yang kamu rasakan dengan tingkah lakumu yang sangat berandalan itu." ucap Pria itu sambil menatap lurus kedepan. "Maaf, memangnya Bapak siapa? Saya sama sekali tidak mengenal Bapak, tetapi mengapa Bapak tiba-tiba saja mengatakan hal itu seolah Bapak mengetahui semua yang terjadi di kehidupan saya?" tanya Vanya dengan raut wajah kebingungan. "Kamu tidak perlu tau siapa saya, kita belum pernah mengenal satu sama lain. Tetapi saya bisa melihat dari raut wajah kamu dan nada suara kamu saat kamu berbicara di depan makam Bundamu tadi." balas Pria itu sambil menatap sekilas kearah Vanya. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih atas belas kasihan Bapak, tetapi maaf saya tidak akan menuruti ucapan Bapak. Karena Bapak hanyalah orang asing yang tiba-tiba datang saat saya sedang berada di makam Bunda saya." ucap Vanya sambil beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Pria tampan itu. Sepeninggal nya Vanya, seulas senyuman tipis mulai terukir di bibir Pria tampan itu. Lesung pipit yang dimiliki Pria itu pun terlihat begitu jelas saat dia menyunggingkan senyumannya. "Gadis unik." gunam Pria itu diiringi dengan senyuman tipisnya. Setelah meninggalkan Pria aneh di taman tadi, Vanya segera menuju ke arah mobil miliknya dan menaiki mobilnya. Mobil Vanya segera melesat ke suatu tempat yang telah menjadi tujuan Vanya. "Dasar Pria aneh, tiba-tiba datang dan mengatakan hal bodoh seperti itu. Dia tau apa tentang kehidupan gue? Dia juga bukan siapa-siapa gue, jadi untuk apa gue turuti perintah dia?" ucap Vanya sambil sesekali memukul stir mobil miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD