PROLOG

781 Words
Huek .... huek .... Suara muntahan seseorang terdengar dari rumah sederhana di pinggir kota Jakarta. Seorang wanita paruh baya yang sedang memasak sarapan di dapur bergegas menghampiri seorang wanita muda yang berada di kamar mandi. “Kamu kenapa, Nak?” tanya sang Ibu, menatap anaknya dengan raut wajah khawatir. “Entahlah, Bu, mungkin aku masuk angin. Sudah beberapa hari ini aku lembur terus,” jawab sang anak setelah mencuci mulutnya dari sisa muntahan. “Ya sudah ... kalau begitu hari ini kamu nggak usah berangkat kerja saja, Ran. Lebih baik kamu istirahat di rumah sampai tubuh kamu sehat kembali,” saran sang ibu kepada anaknya yang bernama Rani. Ibu berjalan kembali ke dapur, lalu membuat segelas teh hangat. “Nggak bisa, Bu. Sekarang toko lagi ramai pelanggan,” tolak Rani, mendudukkan diri di kursi makan. Tubuhnya masih terasa lemas setelah memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan. “Memangnya karyawan di toko cuma kamu, Ran? Masih ada Dini dan Puput, kan?” tanya Ibu, menyerahkan secangkir teh hangat pada Rani. Rani menerimanya dan mengucapkan terima kasih sebelum menjawab pertanyaan sang Ibu. “Dini sudah dua hari ini nggak masuk kerja, Bu, adiknya masuk rumah sakit. Kasihan Puput kalau hari ini aku juga nggak masuk kerja,” jelasnya lalu menyeruput teh hangat buatan sang Ibu. Rani merasa tubuhnya sedikit lebih bertenaga setelah minum teh. Ibu menghela napas panjang. Raut wajahnya masih menampakkan kekhawatiran akan kondisi kesehatan Rani. “Insya Allah aku baik-baik saja, Bu,” kata Rani, menenangkan. Beginilah nasib orang kecil seperti mereka. Walau tubuh sedang sakit harus tetap bekerja keras demi mencari sesuap nasi. Saat ini, Rani bekerja di toko handphone yang berada di depan sebuah pusat perbelanjaan. Toko handphone tempat Rani bekerja tak pernah sepi pengunjung karena sekarang handphone merupakan barang yang menjadi kebutuhan semua orang. Tak jarang Rani harus lembur untuk melayani pembeli yang datang ke toko. “Ya sudah, tapi jangan dipaksakan kalau kamu nggak kuat kerja, Ran,” ujar Ibu, mengizinkan. “Iya, Bu,” sahut Rani, tersenyum kecil. Rani Anggraini. Wanita muda berusia 22 tahun ini harus bekerja keras demi menghidupi dirinya dan sang Ibu. Apalagi semenjak sang Ibu di vonis menderita kanker hati, Rani harus bekerja lebih keras lagi untuk membiayai pengobatan beliau. Walau dokter mengatakan kondisi kesehatan Ibu Rani semakin membaik setelah dilakukan operasi dua bulan yang lalu, tapi hal itu tidak membuat Ibunya sembuh total dari penyakit yang di derita. “Rani berangkat dulu, Bu,” pamit Rani usai menghabiskan sarapannya. “Ibu hati-hati di rumah. Hubungi Rani kalau Ibu merasa nggak enak badan,” lanjutnya memberi pesan. “Harusnya Ibu yang bicara seperti itu, Ran. Kamu yang sekarang sedang sakit, bukan Ibu,” ujar sang Ibu, memandang Rani. “Hati-hati di jalan dan jangan pulang terlalu malam,” tambahnya kemudian. “Iya, Bu. Assalamu’alaikum.” Rani mencium tangan sang Ibu sebelum keluar dari rumah. “Wa’alaikumsalam.” oOo Seorang pria bertubuh tinggi, tegap dan berwajah tampan khas orang timur tengah berjalan memasuki gedung kantor WIJAYA CORP. Kehadirannya menarik perhatian orang-orang yang berada di dalam gedung untuk sekadar menyapa atau menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Pria itu tidak menanggapi sapaan mereka. Dia terus berjalan ke arah lift khusus Direksi yang akan membawanya menuju ke ruangan tempat ia bekerja di lantai teratas gedung ini. “Pagi, Pak,” sapa seorang wanita muda dari balik meja kerja ketika pria itu tiba di depan ruangannya. Pria yang memiliki tatapan setajam elang itu hanya mengangguk membalas sapaan Selfi, sekretarisnya. Dia memasuki ruangan CEO Wijaya Corp diikuti oleh Selfi di belakangnya. “Apa jadwal saya hari ini, Fi?” tanya pria itu, mendudukkan diri di kursi kebesarannya. “Pak Reza ada meeting dengan klien dari Singapura untuk membahas kontrak kerja sama yang baru saat jam makan siang nanti. Bapak juga harus memeriksa dan menandatangani berkas-berkas yang ada di atas meja,” jelas Selfi dengan lancar. Dia menunjuk setumpuk map berisi berkas-berkas yang harus ditandatangani Reza di atas meja kerjanya. “Hanya itu, Fi?” tanya Reza, memastikan. “Iya, Pak,” sahut Selfi, menganggukkan kepala. “Baiklah. Kamu boleh keluar sekarang,” perintah Reza dengan raut wajah datar. Dia kemudian meraih tumpukan map yang telah ditunjukkan oleh Selfi, lalu mulai membukanya untuk memeriksa berkas-berkas yang harus ditandatangani. “Baik, Pak,” ucap Selfi, berjalan keluar ruangan Reza. Reza Pratama Wijaya. Pria berusia 27 tahun ini merupakan anak pertama dari pasangan Arif Wijaya dan Raya Utami. Dia menjabat sebagai CEO Wijaya Corp menggantikan posisi sang Papa yang memilih pensiun dini. Wijaya Corp merupakan perusahaan properti yang memiliki cabang hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Berkat tangan dingin Reza, perusahaan keluarga Wijaya ini berhasil mengembangkan bisnisnya hingga ke benua Asia dan Eropa. oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD