Satu-Nebeng yang Terpaksa

1858 Words
Audrey menegak gelas ketiganya. Seharian dia pusing karena pekerjaannya yang menumpuk. Menjadi sekretaris perusahaan properti cukup melelahkan. Apalagi saat bos meminta meeting ditunda dan dia mendapat omelan client. Audrey dibuat tak bisa berkutik, antara mengikuti saran bos atau menuruti permintaan client-nya. Ditambah dengan pekerjaan lainnya yang membuat kepalanya terasa semakin pecah. Plus omelan Pak Jaya—bosnya yang tak ada habisnya. “Dree. Sendirian aja lo?” Saat gadis berusia 25 tahun itu hampir memejamkan mata, gadis lain datang. Seketika Audrey mendongak dan mendapati gadis berkacamata yang sekarang duduk di hadapannya itu. Dia lalu menyandarkan kepalanya di atas meja, tak peduli dengan kehadiran Kina sahabatnya. “Gue capek, Kin. Kerjaan lagi numpuk,” Audrey mengeluh. Mendengar kalimat bernada lelah disertai dengan suara pelan itu membuat Kina terkekeh. Dia lalu mengusap rambut sahabatnya yang diikat kuda itu. “Semangat dong, Dree. Kan ini cita-cita lo,” ucapnya menyemangati. Audrey mendongak menatap sahabatnya yang seorang penulis itu. Terkadang dia iri dengan waktu yang dimiliki Kina. Sahabatnya itu bisa pergi ke sana ke mari tanpa dimarahi atasan, sedangkan dirinya tak bisa keluar seenaknya saat siang hari. Saat malampun dia juga dibatasi jam malam yang diberlakukan oleh kedua orangtuanya. Demi Tuhan, Audrey bukan remaja baru kemarin. Dia bisa menjaga diri. Sayangnya orangtuanya selalu mengkhawatirkannya, membuat Audrey tak bisa begitu banyak protes. “Kin, kita tukeran kerjaan yuk,” ucap Audrey sambil memejamkan mata. “Dree, ya nggak bisalah. Aneh-aneh aja lo.” “Please!!” “Kadang hidup kita jauh lebih baik daripada kehidupan orang lain yang keliatannya baik. Ngerasa jenuh itu pasti, tapi tergantung kita nyikapinnya gimana.” Kina menyentuh kening di depannya lalu memukulnya pelan. Membuat Audrey seketika mendongak sambil mengusap keningnya yang terasa panas itu. “Apaan sih,” gerutu Audrey sebal. “Gue pengen nggak dibatesi jam kerja. Bangun siang, bisa bebas pergi ke mana-mana,” lanjutnynya dengan pikiran menerawang. “Lo kayaknya butuh liburan deh, Dree.” Bibir Audrey mengerucut mendengar usulan sahabatnya itu. “Sayangnya jatah libur gue tahun ini udah habis.” “Ya udah nggak liburan.” Audrey mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Ingin rasanya dia menghilangkan diri sejenak tapi sayang dia tak bisa melakukan itu. “Gue bosen, Kin. Bayangin dari pagi sampai sore kerja. Terus malemnya nongkrong bentar, itupun sama lo,” ucap Audrey kembali tak bersemangat. “Gimana gue mau dapet pacar kalau kayak gini? Kehidupan sosial gue tersita sama kerjaan, macet dan aturan jam malam.” Kalimat terakhir yang dikeluhkan Audrey membuat Kina menahan tawa. Kina kadang kasihan dengan Audrey yang terkesan dikekang oleh orangtua gadis itu. Namun, di sisi lain dia juga tahu kalau orangtua Audrey hanya tak ingin anaknya kenapa-napa. “Ya udah sih. Kenapa nggak cari pacar di tempat kerja lo? Atau di tempat nongkrong kayak gini. Sambil menyelam minum air.” Seketika Audrey bergidik mendengar usulan itu. Dia terbayang teman sekantornya yang hidupnya terlalu bebas setelah jam kantor. Apalagi dengan kehidupan teman kantornya yang terlalu foya-foya. Audrey merasa lingkungan itu tak baik untuknya. Lalu jika mencari pasangan di kafe tempat nongkrong, Audrey harus mikir dua kali. Dia mendongak melihat tulisan Overcafe tepat di bagian tengah belakang kasir. Kafe ini adalah milik salah satu teman kuliah Audrey. Jika ingat dengan masa kuliah, dia ingat lelaki yang selalu menjailinya. Plus sahabat dari lelaki itu. “Ihh, saran lo nggak ada yang baik!” “Emang salah?” tanya Kina sambil memutar gelas smoothies yang isinya telah berpindah ke lambung Audrey. “Salahlah!” Audrey menjawab dengan sewot lalu menunduk dengan wajah lemas. “Gue pengen pinjem pintu ke mana sajanya Doraemon!!” teriaknya tak peduli orang-orang di sekitarnya. Teriakan itu membuat Kina melotot, pasalnya pengunjung kafe sekarang tengah menatap ke meja mereka. Dia lalu memajukan tubuhnya ke Audrey. “Nggak usah teriak kali, Dree. Sekarang kita jadi tontonan umum tahu,” ucap Kina lirih. Audrey menoleh dan seketika sadar dengan kelakuannya barusan. Benar kata Kina, hampir seluruh pengunjung menatapnya. Audrey menundukkan kepala seolah sedang meminta maaf ke pengunjung lainnya. Saat tatapannya ke pojok ruangan, dia melihat empat lelaki menatapnya dengan senyum meremehkan. Audrey seketika menoleh ke Kina. “Sejak kapan Dean dan cecurutnya di sini?” Kina mengernyit, tak paham jika ada Dean di kafe yang sama dengannya. Dia lalu menoleh ke sudut ruangan dan melihat Dean tersenyum mengejek. Kina yakin pasti para lelaki itu sedang mentertawakan tindakan Audrey barusan. “Gue juga nggak tahu, Dree. Tapi gue rasa udah lama deh. Liat aja mereka ngeliatin kita sambil ketawa ngejek gitu. Lo sih aneh-aneh aja pakai teriak,” ucap Kina menyalahkan Audrey.  “Gue nggak tahu kali kalau ada mereka. Kalau gue tahu pasti gue udah pulang duluan.” Audrey melirik ke meja pojok, melihat Dean masih menatapnya dengan senyum mengejek. Kesal, dia mengangkat jari tengahnya. Bukannya takut atau marah, Dean CS malah tertawa terbahak-bahak. “Ck! Gue males kalau ada mereka. Gue balik aja deh,” ucap Audrey seketika. Dia tahu risiko datang ke Overcafe adalah bertemu dengan Dean. Namun, hanya tempat ini yang makanannya enak dengan harga yang miring. Audrey lalu berdiri dari posisinya yang diikuti oleh Kina. Kina menyempatkan diri menoleh ke ujung ruangan dan mendapati salah satu sahabat Dean melambaikan tangan ke arahnya. Kina langsung mengalihkan tatapannya dan berjalan mengikuti Audrey yang telah mencapai pintu keluar. “Mereka kenapa sih,” gerutu Kina setelah keluar dari kafe. “Siapa maksud lo?” “Dean sama sahabatnya.” “Geng mereka emang aneh, biarin aja. Lo bawa mobil sendiri kan, Kin?” Audrey menghentikan langkah dan berbalik menatap Kina. “Bawa kok,” jawab Kina seraya memamerkan kunci mobilnya. “Ya udah gue balik dulu.” Audrey memeluk Kina sekilas lalu meninggalkan sahabatnya itu. Audrey berjalan ke arah parkiran sebelah kanan dengan bibir mengerucut. Mengapa dia selalu bertemu Dean? Apa bumi tak lagi luas hingga ke mana saja dia pergi selalu bertemu lelaki itu? Setelah lulus kuliah empat tahun lalu, Audrey merasa hidupnya tenang tanpa ada Dean dan cecurutnya. Dia memang pernah merasakan itu, tapi setahun yang lalu Dean kembali muncul. Audrey sempat mendengar kalau Dean dan sahabatnya dua tahun terakhir sibuk merintis karier masing-masing. Namun, sekarang entahlah mungkin karier Dean sudah berkembang makanya sering muncul lagi. Saat sampai di dekat mobil, Audrey merasa ada yang aneh dengan mobilnya. Tatapannya lalu tertuju ke ban depannya yang kempes. “Demi apa ban mobil gue bocor!!” teriaknya histeris. Dia menunduk menyentuh ban mobilnya yang kempes itu. Tangan kanannya lalu memukul ban mobil itu, membuatnya semakin kesal dengan hari ini. Ada saja yang membuatnya marah. Audrey lalu berdiri ketika ingat Kina dan berharap sahabatnya masih ada di sekitaran kafe. Tanpa menunggu lama, Audrey mengambil ponselnya di saku celana. Dia mencari kontak Kina lalu melakukan sambungan. Saat deringan ketiga barulah Kina menjawab panggilan itu. “Kin. Lo udah balik?” tanya Audrey to the point. “Udah. Ini lagi di jalan. Kenapa?” Audrey menyandarkan tubuhnya ke mobil dengan lemas. Kina sudah pulang, itu artinya dia tak bisa nebeng. “Nggak jadi deh. Bye,” jawabnya lemas. Sebenarnya bisa saja dia meminta Kina putar balik, tapi dia kasihan. Apartemen Kina dan rumah Audrey berbeda jalan. “Mukanya kucel banget, Neng?” Suara berat itu membuat Audrey menoleh. Dia menegakkan tubuhnya melihat musuh bebuyutannya itu berdiri di sebelahnya itu. “Mau bareng gue aja, Dree?” “Mending lo cepet balik daripada ngejek gue!” jawab Audrey ketus lalu meninggalkan Dean untuk mencari taxi. Lebih baik dia segera menghindar daripada marah-marah.   ***   Lelaki berkemeja biru dongker itu melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Dia tersenyum miring mengingat betapa keras kepalanya gadis itu beberapa saat yang lalu. Dia menawarkan diri untuk mengantar tapi gadis keras kepala bin harga diri tinggi itu menolak dan memilih mencari taxi. Dean akhirnya tak menahan Audrey saat pergi dan lebih memilih mencari taxi. Namun, saat Dean melajukan mobilnya meninggalkan kafe gadis itu mendekati mobilnya. Dean seketika menghentikan laju mobilnya dan ternyata gadis itu masuk lalu duduk di bangku penumpang. “So. Apa yang bikin lo masuk ke mobil gue?” tanya Dean sambil melirik gadis dengan make up yang mulai luntur itu. Audrey memutar bola matanya malas, pertanyaan ini yang paling dia hindari. Kalau bukan karena mendapat telepon dari papanya yang menyuruh pulang, dia lebih memilih menunggu taxi daripada nebeng Dean. “Bokap nelepon nyuruh gue cepet sampai rumah,” jawabnya singkat dan tanpa menatap lawan bicaranya. “Buahaha.” Mendengar jawaban itu sontak tawa Dean pecah. Dia merasa sedang berhadapan dengan gadis yang baru menginjak remaja. “Lo kayak anak kecil aja masih ada jam malam.” “Lo nggak usah ngejek. Itu artinya bokap gue perhatian. Makanya gue dicariin.” Untuk saat ini Audrey lebih membela papanya, padahal dia terkadang kesal dengan sikap papanya yang over protective itu. “Gue percaya anak kecil ini dicari bapaknya,” ejek Dean. “Lo kok ngejek gue sih? Sialan!!” Tangan Audrey terulur ke lengan Dean dan memberinya cubitan maut. Audrey tertawa puas melihat lelaki itu merintih kesakitan dan memilih menepi ke pintu mobil. “Sadis banget sih lo jadi cewek! Bar-bar.” “Emang gue pikirin.” Dean mendengus, sekarang lebih memilih diam daripada lengannya menjadi korban. Audrey Fionatalia, saat duduk di bangku kuliah selalu satu offering dengan Dean. Sejak dulu gadis itu selalu menampakkan wajah jutek. Menurut Dean, Audrey terkesan tak menikmati hidup. Orang yang selalu menampilkan wajah jutek artinya tak tahu bagaimana membahagiakan diri sendiri. Selain berwajah jutek, gadis itu juga tak segan memukul, mencubit atau apapun jika ada yang menjailinya. Seperti barusan. “Mobil lo tadi kenapa?” tanya Dean sambil melirik gadis yang duduk menyerong ke pintu itu. “Nggak usah tanya! Mending lo anter gue!” Mendengar kalimat bernada perintah itu membuat Dean geleng-geleng. Sebenarnya dia sedang membantu atau dia menjadi pembantu? Mana ada orang yang membantu dibentak oleh orang yang dia bantu? Oh ada, tentu Audrey barusan. Dean menghela napas panjang. Jika sekarang masih siang tentu dia akan menjaili Audrey. Sayangnya sekarang sudah malam dan dia tak ingin ada perdebatan. Hingga sisa perjalanan, mereka habiskan dalam keheningan. “Udah sampai,” ucap Dean dengan datar saat mobilnya berhenti di depan rumah megah dengan unsur kayu-kayuan itu. Audrey menyampirkan tas slempangnya ke lengan lalu membuka pintu mobil. Namun, belum sempat dia keluar, tangan Dean mencekal lengannya. “Lo nggak tahu terima kasih ya,” sindir Dean sambil menatap ke mata hitam Audrey. “Gue terpaksa. Jadi ngapain gue bilang makasih?” Dean menatap gadis tak tahu terima kasih itu dengan kesal. Dia lalu terkekeh, kalau tak menyebalkan bukan Audrey namanya. Sepertinya Dean masih memiliki tenaga untuk menjaili temannya itu. Tiba-tiba dia memiliki ide untuk membuat Audrey semakin kesal bahkan tak bisa melupakan momen ini. Audrey yang melihat Dean tersenyum penuh arti seketika merasa kalau lelaki itu sedang merencanakan sesuatu yang buruk untuknya. Audrey menggerakkan tangannya yang dicekal tapi yang terjadi selanjutnya adalah lelaki itu menariknya ke dalam pelukan. “Anggap ini sebagai ucapan terima kasih, Audrey.” “Lepas!!” “Enggak!!” Satu tangan Dean yang bebas memiting leher Audrey. Lelaki itu menunduk memperhatikan gadis di depannya yang terlihat ketakutan itu. Menyadari hal itu Dean langsung tersenyum penuh arti. “Gue anggap ini sebagai ucapan terima kasih, Dree,” bisik Dean. “Gue makasih banget lo balesnya pakai ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD