Bab 1

1180 Words
Musik menggema memenuhi kamar berukuran 5x6 itu. Kara, memoles wajahnya dengan make up natural sambil sesekali bersenandung mengikuti alunan lagu. Setelah sebulan berada di luar kota, membuatnya rindu mengelilingi kota sendiri. Tentunya ia sangat rindu dengan Rian, kekasihnya. Malam tadi ia sampai di rumah. Letih, hingga Kara harus langsung tidur. "Karanina! Musiknya sampai ke bawah tahu, enggak!" Protes Diandra,  kakak kara yang sedetik lalu mematikan speaker Kara. Kara menoleh sambil tersenyum. Hal itu sudah biasa baginya. Dian memang suka protes. "Mau ke mana?" Tanya Dian. Kini ia bersedekap, bersandar di dinding. "Ngedate, dong! Udah sebulan tahu enggak ketemu Rian." Kara memberikan sentuhan terakhir pada wajahnya. "Udah bawa kondom apa belom?" Tanya Dian. Kara melotot."Kakak... ngajarin adeknya gitu?" Dian terkekeh."Hei, enggak usah terlalu polos. Yang ada kamu dibodoh-bodohin terus sama Rian. Emang kamu yakin, Rian itu setia sama kamu?" Kara mengabaikan ucapan Dian. Kakaknya itu memang penganut hidup bebas. Tapi, Kara menghargai apapun pilihan kakaknya itu. Ia tak ingin berusaha kepo ataupun mencampuri kehidupan Dian. "Yang pasti,  aku sayang sama Rian, Kak. Aku pergi dulu." Kara mengecup pipi Dian dan mengambil kunci mobilnya. Dian mengalah, ia percaya pada Kara. Adiknya itu sudah dewasa. Kara memasuki sebuah komplek perumahan. Mobilnya berhenti di depan sebuah rumah minimalis. Mobil Rian ada di depan, itu artinya Rian masih di rumah. "Sayang...." Kara mengetuk pintunya meski sedang terbuka. Tak ada jawaban. Kara masuk saja, sambil memanggil nama Rian. "Rian!" Rian mendengar namanya dipanggil langsung menuju ruang tamu. Ia sangat terkejut saat melihat Kara ada di rumahnya. "Kara?" Hanya kata itu yang terucap dari mulut Rian. Kara memeluk Rian dengan erat. Rindu itu akhirnya terlepaskan. Kara bekerja di luar kota, tapi ia selalu menyempatkan pulang ke rumahnya sebulan sekali. Bukan hal yang mudah mengingat jadwalnya yang padat dan jarak yang cukup jauh. Mama dan Papa selalu melarang Kara pulang ke rumah. Mengingat mereka sering berkunjung ke kota dimana Kara bekerja.Tapi demi cintanya pada Rian, bagi Kara itu bukan masalah. "Kamu... kapan datang? Kok enggak ngasih tahu aku?" Rian terlihat bingung. "Kan, emang setiap bulan aku pulang, sayang. Kok kaget gitu, sih?" Kara mengusap wajah Rian. Ia memperhatikan penampilan Rian yang sudah rapi. "Kamu mau ke mana?" Rian terdiam. Bingung harus mengatakan apa. Jika harus berkata, ia harus memulai darimana. "Rian? Eh ada tamu." Seorang wanita cantik muncul dari arah belakang. Wanita itu sedang hamil. Kara mengernyit bingung. Siapa wanita itu."Hai." Wanita itu tersenyum ramah." Kok,enggak duduk, ayo duduk, Mbak." Kara mengangguk kikuk, kebingungan saya Mia. Isterinya Mas Rian." Seakan disambar petir, Kara langsung mematung. Rian menikah? Bukankah selama ini mereka memiliki hubungan. Sekarang wanita ini sudah hamil. Lalu, apa maksud dari semua ini. "I...istri? Tapi, sebulan yang lalu saya ke sini, Rian belum menikah." Kara menahan keegoisannya untuk langsung marah. Ia ingin mengetahuinya perlahan. Kemarahan hanya akan membuatnya rugi. Mia tersenyum, menunduk malu." Kami, memang menikah sekitar dua minggu yang lalu, Mbak. Soalnya, maaf... sebenarnya ini aib. Saya hamil di luar nikah. Sudah lima bulan." Kara menatap Rian yang kini juga tengah menatapnya. Rahang Kara mengeras, emosi yang  ia tahan sedari tadi, sekarang ingin pecah. Ia sungguh marah. "Mbak, saya mau bicara sebentar sama Mas Rian, ya. Ini soal kerjaan." "Oh...iya,silahkan." Mia ini sepertinya sangat polos. Kara menarik Rian ke teras, kini air matanya sudah tumpah. Dadanya naik turun karena menahan emosi sedari tadi. "Ada yang mau kamu jelaskan?" Rian terlihat merasa bersalah. “Kara... aku dan Mia memang sudah menikah, dua minggu yang lalu." Air mata Kara semakin mengalir, deras. Sakitnya bukan main. Rian, adalah satu-satunya laki-laki yang paling ia percaya setelah ayahnya. "Terus?! Kamu anggap aku apa? Kenapa kamu bisa nikah sama dia!" "Dia hamil, Kar!" "Ya kenapa kamu hamilin dia!" Kini suara Kara naik satu oktaf. Tak peduli jika akhirnya nanti Mia keluar dan bertanya ada apa. "Kamu pacaran sama dia? Apa perlu aku tanya sama Mia langsung?!" tanya Kara lagi. "Mbak, ada apa? Kok nangis gini? Mas, kamu apain dia, sih?" Mia keluar dengan heran. Ia mendengar suara Kara yang menangis. "Mia... dulu, kamu pacaran sama Rian?" Tanya Kara sambil menghapus air matanya Mia menatap Rian dan Kara bergantian."Iya, Mbak  sekitar tujuh bulan yang lalu. Ada apa, ya,Mbak?" "Bagus, ya, Yan?! Jadi, selama aku kerja di luar kota, kamu selingkuh? Kamu nidurin cewek,Yan?! Itu b******k!" Teriak Kara. "Mbak... maksudnya apa, Mbak? " mia mulai panik melihat keadaan Kara. Kara berusaha tegar, menahan emosinya sesaat agar tidak meledak begitu jelas." Selamat menempuh hidup baru, Yan. Selamat menikmati perselingkuhanmu." Kara berlari meninggalkan rumah Rian. Rian mengejar kara sampai ke mobilnya. "Kara! Aku enggak mau semua ini terjadi, Kar. Sebenarnya aku maunya sama kamu. Tapi, ini semua terjadi, Kar!" "Yang harusnya disalahkan itu kamu, Yan. Kenapa kamu selingkuh! Nidurin wanita lain. Jadi ini kelakuan kamu selama aku enggak ada?" Kara menunjuk-nunjuk wajah Rian dengan kesal. "Aku ini laki-laki, Kar, aku memiliki kebutuhan tersendiri. Kamu... enggak bisa kasih itu ke aku," jelas Rian. "Jadi, kamu nyalahin aku gitu? Karena prinsip s*x after mariedku? Ya sudah! Kamu juga sudah menikah dengan Mia. Nikmatilah!" Kara menepis tangan Rian yang menahannya saat hendak masuk ke mobil. Kara melajukan kendaraannya dengan cepat. Ia mengurangi kecepatannya saat sudah jauh dari rumah Rian. Kara menangis sekeras-kerasnya di dalam mobil. Sesekali menghentakkan kepalanya ke sandaran dengan kesal. Ia benci Rian. Benci laki-laki sialan itu. Kara pulang ke rumah. Didapatinya Dian tengah berduaan dengan teman lelakinya yang tak Kara kenal. Dian bisa melihat raut wajah kesedihan Kara. Ia sudah bisa menebak. Sebenarnya ia sudah tahu perihal Rian yang berselingkuh. Tapi, Kara terlalu mempercayai Rian dan mengabaikan ucapannya. Sekarang ia sudah lega, Kara pasti sudah mengetahui fakta mengenai Rian. "Sudah pulang?" Tanya Dian. Kara mengangguk, melempar senyum, lalu naik ke atas. Pergi ke kamar dan meluapkan emosi. Menangis sepuas-puasnya. "Itu Kara?" Tanya Nic pada Dian. "Iya. Kenapa?" Tanya Dian dengan mata menyipit. Nic tertawa." Aku tak menyangka dia tumbuh secepat itu. Kamu tahu, kan, aku sering bertemu dengannya dulu sewaktu kita masih dalam yayasan yang sama. Dia masih kecil sekali." Dian mengangguk-angguk mengerti. "Maksudmu..., sekarang dia adalah gadis yang seksi dan menggiurkan bukan?" "Wow... hebat! Kamu tahu isi hatiku." Nic tertawa. Dian memutar bola matanya."Aku mengenalmu dari kecil, Nic. So... apa yang enggak aku tahu. Jangan berharap lebih dengan Kara. Dia bukanlah seperti kita. Hidupnya lurus, Nic." Nic menyalakan rokoknya."Aku rasa dia ingin. Hanya saja..  dia belum berani." "Jangan mengada-ada. Sudahlah, Dia sedang patah hati." "Kenapa?" Tanya Nic. "Pacarnya berselingkuh. Sekarang sudah menikah dengan wanita lain." Dian ikut menyalakan rokok. Nic mengambil tas miliknya  mengeluarkan sesuatu dari dalam sana."Ini... aku mau Kara ikut." Dian meraih apa yang diserahkan Nic."Love Island? Wow? Tiket VVIP. Kamu mau Kara ikut?" Nic mengangguk."Itu undangan khusus. Tiket masuk ke love island. Aku punya dua." Dian memandang tiket itu dengan takjub."I... ini luar biasa. Tapi, kalau kamu berharap kara ikut, aku enggak yakin, Nic." Dian mengembalikan tiket itu pada Nic. "Aku yakin dia mau. Asalkan kamu bisa membujuknnya perlahan. Acaranya masih lama. Seminggu lagi. Please, Di. Aku percaya, kamu paling bisa untuk urusan satu ini." Nic mengerlingkan matanya. Dian memijit pelipisnya."Aku usahakan. Tapi, enggak janji, Nic. Memangnya kamu pengen banget Kara ikut?" Nic mengangguk pasti "Aku tertarik pada Kara." Dian mengangguk ragu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD