chapter 1

2513 Words
Hari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu. Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang turun itu nampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, indah rupanya, sebagai disepuh dengan emas juwita. Angin gunung yang lemah-lembut itu pun berembuslah, sedap dan nyaman rasanya bagi orang-orang kampung yang sedang di perjalanan kembali dari kebun kopi, yang terletak di lereng gunung dan bukit-bukit yang subur itu. Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya, sehingga daun dan   cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai me- nunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar   dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya. Batang padi yang tumbuh di sawah yang luas itu pun dibuai-buaikan angin, sebagai ombak yang berpalu-paluan di atas laut yang lebar; sawah yang seluas itu pun tiadalah ubahnya dengan lautan, sedang daun padi itu sebagai air yang hijau rupanya.   Burung-burung pun beterbanganlah dari sana-sini, seraya ber- kumpul-kumpul di atas cabang beringin-beringin yang berdaun rimbun;   masing-masing menyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada raja siang yang sedang turun ke balik gunung yang tinggi itu. Dari jauh terdengarlah bunyi kelintung kerbau berderang-derang, diiringi suara dendang anak gembala yang membawa binatangnya itu ke kandangnya. Di sana-sini nampaklah asap dari bubungan rumah orang desa, sedang azan orang di menara mesjid besar yang ada di Sipirok itu pun memperingatkan hamba Allah akan menyembah Dia dan mengucapkan syukur sebab rahmatnya yang besar itu. Jalan dan lorong makin sunyi, laki-laki sedang sembahyang magrib dalam mesjid besar dan perempuan tengah bertanak hendak menyediakan makanan untuknya anak-beranak. Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok itu? Perempuan itu sedang muda remaja. Ia duduk memandang ke pohon beringin yang di tepi sungai itu. Akan tetapi pandangnya itu lain, yakni matanya saja yang menatap ke sana, tetapi daun beringin yang bergoyang-goyang itu tak nampak pada matanya, karena ada sesuatu yang dipikirkannya. Suara air yang mengalir di sungai yang berbelok-   belok itu pun tak kedengaran di telinganya, karena angan-angannya sedang sibuk berkisar-kisar. "Belumkah ia datang? Sakitkah dia?   Apakah sebabnya ia sekian lama tak kulihat?" tanya perempuan itu ber- ulang-ulang dalam hatinya.   Siapakah perempuan itu? Sabarlah dahulu, nanti akan kita kenal juga dia, meskipun ia tak mengenal kita.   Kota Sipirok kataku... akan tetapi janganlah pembaca mem- bandingkan negeri itu dengan Sibolga atau Padang. Tiadalah sampai   sedemikian besar dan ramainya Sipirok itu; sungguhpun begitu adalah ia lebih besar daripada kampung atau dusun. Oleh sebab itu saya menyebutkan "kota Sipirok"; tambahan pula itulah negeri atau kampung yang terbesar di dataran tinggi yang luas itu. Kalau tuan sebutkan juga, bahwa tiadalah pada tempatnya saya meletakkan perkataan "kota" itu, biarkan sajalah begitu, dan bacalah kota itu kampung atau dusun. Kalau kutulis dalam buku ini negeri Sipirok, bacalah "kampung Sipirok", supaya jangan menjadi percedaraan antara kita. Akan sekedar menjelaskan bagi pembaca letaknya Sipirok, baiklah saya terangkan dia. Kira-kira pada pertengahan Keresidenan Tapanuli (sebenarnya Tapian na Uli artinya "Tepian yang elok". Tepian yang indah itu didapati orang dulunya dekat Sibolga; itulah sebabnya negeri atau keresidenan itu disebutkan Tapanuli; nama itu asalnya dari tatkala pemerintahan kompeni), di situlah terletaknya dataran tinggi atau luhak Sipirok, yakni pada Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera. Adapun bentuknya dataran tinggi itu kira-kira empat persegi. Di sebelah timur diwatasi dolok (gunung) Sipipisan, di sebelah barat Sibualbuali, gunung yang selalu memuntahkan asap karena berapi. Simagomago berdiri agak di sebelah selatan, yang menjadi watas dengan tanah Angkola. Simole-ole menceraikan dataran tinggi itu pada sebelah utara dengan dataran tinggi Pangaribuan (Toba). "Masih di sini kau rupanya, Riam," tanya seorang muda yang menghampiri batu tempat duduk gadis itu. Yang ditanya itu terkejut, seraya memandang kepada orang yang datang itu. Ia terkejut, bukan karena suara itu tak dikenalnya, hanya disebabkan ia tadi duduk termenung-menung dan pikirannya kepada masa yang lampau, tatkala ia masih kanak-kanak. "Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu-nunggu angkang,"*) sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat dia duduk pada waktu petang. "Marilah kita naik, Angkang!" *) Angkang artinya kakak atau abang.   "Tak usah, Riam," jawab orang muda itu. "Saya datang ini hanya hendak bersua dengan kau sebentar saja. Malam ini saya hendak pergi ke rumah seorang sahabatku yang baru datang dari Deli." "Apalah salahnya Aminuddin, naik sebentar, karena mak kita pun sudah lama hendak bersua dengan kakak." "Tak usah, saya sebentar saja di sini, kalau Riam suka, duduklah sebentar, ada yang hendak saya cakapkan." Kedua orang itu pun duduklah di atas batu yang besar itu. Sejurus panjang lamanya tiada seorang yang berkata; anak muda itu memandang ke tanah dan pada mukanya terbayang dukacita yang   memenuhi hatinya. Mariamin, begitulah nama gadis itu dan ia di- panggilkan orang Riam, mengamat-amati muka orang muda itu, akan   tetapi sebab hari yang gelap itu, tak dapat ia melihat air mata yang mengalir di pipi orang muda itu. Cuma ia mengerti, ada yang disusahkan orang itu. Dengan suara yang lemah-lembut ia pun berkata, "Katakanlah, apa yang hendak angkang katakan itu." "Riam, jangan terkejut, cinta sayangku kepadamu bukan berkurang, bahkan makin bertambah dari hari ke hari. Percayalah kau akan perkataanku itu?" "Mengapa angkang bertanya lagi?" jawab Mariamin, perempuan muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah kebiasaannya; jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah-tamah, lebih-lebih di hadapan anak muda, sahabatnya yang karib itu. "Saya bertanya, bukan sebab saya menaruh bimbang akan hatimu."   Ia terdiam pula. Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah me- nahan napasnya dan kelulah rasa lidahnya akan bercakap. Kemudian ia   pun mengeraskan hatinya, sambil ia menyapukan setangannya yang basah oleh air matanya itu, ia pun berkata perlahan-lahan, "Anggi*) Riam! Beratlah rasanya hatiku akan berkata ini. Akan tetapi apa boleh   buat, lambat laun akan kauketahui juga, apalah gunanya kelengah- lengahkan. Saya bermaksud henk dak pergi ke Deli mencari pekerjaan.   Itulah sebabnya saya datang malam-malam ini ke mari, yakni hendak pergi ke rumah seorang sahabatku, yang baru datang dari Medan. Saya hendak menanyakan hal pencaharian orang di Deli, karena saya sudah merasa, lambat launnya saya akan pergi juga dari sini; saya pergi bukanlah meninggalkan engkau Mariamin. Percayalah engkau akan saya. Ah, kalau sekiranya Riam tahu, betapa isi hatiku, adalah senang sedikit perasaanku. Berapa tahun, berapa bulanlah saya sudah mengandung kenang-kenangan akan bersama-sama dengan engkau, akan tetapi barulah kuketahui, mustahillah rupanya saya mencapai *) Anggi artinya adik   maksudku, kalau tiada dengan jalan yang lain, yakni saya harus pergi ke tanah lain akan mencari pekerjaan. Janganlah terkejut, jangan berdukacita engkau Riam; ingatlah saya pergi bukan meninggalkan kau, tetapi mendapatkan kau." Perkataan yang penghabisan itu dituturkan orang muda itu dengan suara putus-putus; beratlah baginya melawan hatinya yang pilu itu, apalagi sesudah kedengaran pada telinganya, orang yang dilawannya bercakap itu menangis tersedu-sedu. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di tempat yang sunyi itu. Seorang pun tiada yang bercakap, masing-masing tepekur memikirkan nasib persahabatan mereka itu.   Hari makin gelap, cahaya bulan tak nampak, hanyalah bintang- bintang yang mengilap itu mencoba-coba mengurangkan kegelapan,   yang menyelimuti bumi ini. Kelam rupanya langit itu, muram nampak- nya muka orang muda itu. la duduk tiada bergerak, tetapi pikirannya   tiada berhenti, berkisar-kisar sebagai roda yang digulingkan. Adalah ia sebagai orang yang hanyut di lautan kesusahan, sebentar-sebentar hendak tenggelam, karena kekuatannya hampir-hampir habis, sedang ombak gelombang amatlah hebatnya. Dengan pandang yang sedih, ia melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada kapal yang dekat, tempat meminta pertolongan, akan membawa dia ke negeri yang ditujunya itu. Suara orang bang kedengaran pula dari menara mesjid besar, karena sudah waktunya akan sembahyang isya. Kedua orang itu terkejut dan barulah mereka ingat akan dirinya. "Wah, sudah pukul setengah delapan rupanya," kata orang muda itu, "bagaimanakah penyakit ibu kita?" tanyanya, sambil ia berdiri. "Mudah-mudahan sudah berkurang," sahut Mariamin, "cuma tinggal batuk saja yang menyusahkan dia." "Ah, tak sempat lagi saya akan bersua dengan beliau. Nanti saya datang, kalau dapat. Selamat tinggal Anggi! Jangan kau bersusah hati,   mudah-mudahan baik juga kelak kesudahannya. Marilah kita me- nyerahkan diri kepada Tuhan Yang Esa," ujar orang muda itu, seraya   menjabat tangan anak dara kecintaannya itu.   Mariamin memandang anak muda itu, sampai lenyap dari peng- lihatannya. Dengan langkah yang berat naiklah ia ke rumah, terus   masuk ke bilik tempat ibunya, yang sedang terletak di atas tempat tidurnya. "Sudahkah berkurang sesaknya d**a Ibuku itu?" tanyanya sambil dirabanya muka ibunya yang sakit itu. "Syukurlah, badan Ibu tiada berapa hangat lagi. Mudah-mudahan dua tiga hari lagi dapatlah Ibu turun barang sedikit-sedikit."   "Ya Anakku! Sudah jauhlah berkurang rasanya penyakitku, kekuatanku pun sudah bertambah," jawab si ibu dengan suara yang menghiburkan hati anaknya. "Riam di manakah adikmu? Suruhlah dia ke mari, janganlah dibiarkan ia tinggal di luar, hari sudah malam, nanti ia kemasukan angin." "Tidak, Mak; ia ada di dapur, nanti kusuruh dia ke mari, supaya ada kawan Mak di sini." Setelah Mariamin menuangkan obat maknya ke dalam cangkir dan cangkir itu diletakkannya dekat si sakit, ia pun pergilah ke dapur akan bertanak. "Tinggallah dahulu Ibu sebentar, saya hendak bertanak. Tadi saya ada membawa sawi dan ko1 dari kebun kopi, barangkali sudah ada nafsu Ibu akan makan. Ah, sudah berapa hari Mak tidak makan!" kata Mariamin. Si ibu yang sakit itu tiada menjawab perkataan anaknya itu. la memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan, betapa besar cintanya dan kasih sayangnya kepada anaknya itu. "Ya Allah, ya Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini," mengucap ia di dalam hatinya, setelah anaknya itu pergi ke dapur. Ia berbaring di atas tikarnya dan matanya ditutupkannya, tetapi mata hatinya melihat hal ihwal rumah tangganya, pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup; pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, karena pada waktu itu bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya dan yang ternama di negeri Sipirok. Akan tetapi sebagaimana kerap kali kejadian di dunia ini, adalah kekayaan itu tiada kekal dan kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib manusia itu sebagai roda, kadang-kadang ke atas, kadang-kadang ke bawah, hujan dan panas silih berganti menimpa bumi, dan burni itu harus sabar menerima apa yang datang. Si ibu itu pun adalah juga orang yang sabar, tiadalah pernah ia bersungut-sungut, karena ia dan anaknya hidup sekarang dalam kemiskinan. "Allah adil dan pengiba," katanya selamanya dalam hatinya, bila ia, didaya iblis yang selalu hendak membinasakan orang yang dalam percobaan, supaya orang itu sesat dari jalan kebenaran, mengatakan Tuhan tak adil, kesudahannya orang itu menyangkal Allah taala. Itulah kesukaan setan dan iblis, musuh manusia yang jahat itu.   Pada malam itu amatlah susahnya hati perempuan itu. Ia amat men- cintai anaknya yang dua orang itu, Mariamin yang tua dan seorang   budak laki-laki, umur empat tahun, sebagaimana ibu yang lain-lain. "Pada waktu dahulu sudah tentu saya mendapat pemeliharaan yang   senang, kalau saya sakit," kata perempuan itu dalam hatinya. "Akan te- tapi sekarang, aduh, siapakah yang kuharapkan lagi? Seorang pun tak   ada yang melihat saya, demikianlah rupanya manusia itu di dunia ini. Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat; bila kita jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang karib itu menjauhkan dirinya. Akan tetapi Allah pengiba, anakku sudah besar dan cakap memelihara saya pada waktu sakit. Cinta orang tua yang kusimpan baginya, dibalasnya dengan kasih sayang anak kepada orang tuanya. Demikianlah cinta Riam kepada saya. Kalau ia pergi ke   ladang atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menye- nangkan hatiku, meskipun yang dibawanya itu tiada seberapa harganya;   seperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang direbus anakku itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau ayam waktu hari kesukaanku, sungguhpun tak enak dirasa lidahku nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hatiku. Mariamin, Mariamin, doakanlah kepada Allah, biar saya lekas sembuh dan lama hidup, supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada demikian, siapakah yang akan mencarikan nafkah untukmu berdua? Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi tempat mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan?" "Allah melindungi makhluknya," sahut suara, yang lain dalam hatinya. Perempuan itu pun membukakan matanya, karena ia mendengar suara anaknya yang kecil itu memanggil ibu. "Belumkah ibu lapar?" tanya anak itu, seraya duduk dekat bantal emaknya. "Anakku sudah makan?" tanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang. "Sudah Mak; Kak Riam memberi saya sayur... kol direbus. Enak Mak, enak. Makanlah Mak! Kak Riam bawa nasi untuk Mak, itu dia sudah datang," kata b***k itu, sambil berbaring dekat ibunya. "Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak," kata Mariamin, seraya mengatur makanan dan sayur yang dibawanya sendiri dari gunung untuk ibunya yang sakit itu. Ia pun duduklah bersama-sama makan dengan ibu yang sakit itu, sedang adiknya yang kecil itu sudah tertidur di belakang ibunya. Tengah makan itu kelihatanlah oleh ibu Mariamin, muka anaknya lain daripada yang sudah-sudah, adaiah suatu kedukaan yang tersembunyi dalam hatinya; kedukaan itu terang dilihat si ibu, meskipun Mariamin menyembunyikannya. Akan tetapi apa sebabnya anak itu bersusah hati, kuranglah diketahuinya.   "Susahkah hati anakku, karena saya belum sembuh?" tanyanya seraya mengawasi muka Mariamin. Yang ditanya tiada menjawab, hanya ia mencoba-coba tersenyum, akan tetapi mukanya merah padam sedikit. "Janganlah Riam bersusah hati, dua tiga hari lagi dapatlah ibu turun sedikit-sedikit. Wah, enak benar sayur yang Riam bawa tadi, anakanda   pun pandai benar merebusnya; nasi yang sepiring itu sudah habis oleh- ku," kata si ibu dengan suara yang lembut dan riang akan meng- hiburkan hati anaknya itu. Karena bagaimana sekalipun besarnya   dukacitanya, tiadalah ia suka menunjukkan kepada anaknya, karena ia   tahu, anaknya itu masih muda akan, memikul dan menanggung ke- susahan dunia.   "Ya, Ibu! Moga-moga ibuku lekas baik, kalau ibu selalu sakitsakit, apalah jadinya kami berdua ini," sahut Mariamin. Si ibu terdiam mendengar perkataan anaknya itu. "Sebenarnyalah   perkataan anakku itu," pikirnya. "Jika sekiranya saya mati, apatah jadi- nya biji mataku kedua ini? Benar ada lagi saudara mendiang bapaknya,   tetapi tahulah saya, bagaimana kebiasaan manusia di dunia ini. Sedang pada masa hidupku tiadalah mereka yang mengindahkanku, apalagi kalau saya tak ada lagi." Pikiran yang serupa itulah yang acap kali timbul, dan itulah yang   menyusahkan hatinya. Bila dikenangkannya yang demikian itu, perasa- annya penyakitnya bertambah berat dan kemiskinan mereka itu berlipat   ganda. Kalau ia sekiranya tiada menaruh kepercayaan yang kuat kepada Allah, tentulah ia akan melarat dan tentu iblis dapat mendayanya.   Tetapi ia seorang yang taat dan yakin kepada agama. Maka ke- yakinannya kepada Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itulah yang memberi kekuatan baginya akan menerima nasibnya yang baik dan buruk; sekaliannya ditanggungnya dengan sabar. Dari kecil ia pun mengukirkan sifat dan tabiat yang demikian itu dalam hati anaknya. Siang-malam ia mendidik anaknya, supaya di belakang hari menjadi seorang yang rendah hati, berkelakuan yang baik dan percaya kepada Tuhan. "Pergilah anakku tidur! Riam sudah payah sehari ini bekerja; tak usahlah ibu anakku tunggui," kata mak Mariamin. Setelah anak gadis itu menyelimuti ibunya dan mengatur apa yang perlu baginya, ia pun berdirilah. "Kalau Mak mau apa-apa, panggillah anakanda, nanti anakanda lekas datang. Jangan Mak bangkit-bangkit dari tempat tidur, seperti yang dulu-dulu, supaya badan Mak jangan lelah; kalau Mak bersusah-susah, tentu penyakit maka bertambah, akhirnya anakanda pun susah juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD