Prolog

468 Words
Samiera menatap nanar pantulan dirinya di cermin, wajah cantiknya yang dulu berseri kini nampak pucat. Mata indahnya yang bulat sudah sembab akibat terlalu banyak menangis, meratapi apa yang telah terjadi dalam hidupnya membuatnya semakin terpuruk. Saat ini ia benar-benar merasa sendirian, seakan dirinya sudah tidak tertolong lagi. Bulir bening kembali turun dari pelupuk matanya, membasahi pipi yang pucat seperti tak terdapat aliran darah disana. Tubuhnya yang dulu berisi kini sudah semakin kurus, sedangkan semua itu berbanding terbalik dengan keadaan perutnya yang semakin membesar. Sekali lagi bulir bening yang disebut air mata itu turun. Tangan kanannya membelai lembut perutnya dengan sayang dan tangan kirinya sibuk menghapus bulir air matanya dengan kasar. Hingga suara pintu kamar yang terbuka dan didorong paksa menimbulkan bunyi yang cukup keras. Samiera tersentak kaget namun tetap diam membisu bahkan beku di tempatnya. Mengabaikan siapa yang sedang masuk kedalam kamarnya, dengan keras Samiera mencengkram ujung jilbab panjang berwarna tosca yang ia kenakan. “Samiera...” suara itu menginterupsinya, lebih lembut dan terkesan lirih tidak seperti biasa. Samiera tidak bergeming dari posisi sebelumnya, kedua tangannya masih memilin ujung jilbab yang ia kenakan. Saat ini ia sedang menyiapkan hati, pikiran dan telinganya dari kata-kata tajam yang siap melukainya. Semua rasa sakit yang harus ia tanggung karena kesalahan dan kebodohan masa lalu. “Samiera dengarkan aku...” suaranya masih sama lirihnya dengan tadi, hanya saja terdengar semakin jelas karena jarak mereka semakin dekat. Dia tidak ingin membalikkan tubuh atau mengangkat wajah untuk sekedar melirik pantulan cermin rias di hadapannya. Samiera tidak pernah siap untuk menghadapi posisi ini, berhadapan dengan pemilik suara ini. Hingga ia merasakan bahunya disentuh oleh jari-jari besar yang hangat. Kedua bahunya dicengkram lembut dan tubuhnya tidak terasa sudah berputar perlahan. Saling berhadapan dengan pemilik netra coklat itu. Wajahnya tidak kalah pucat dengan wajah Samiera saat ini, hal yang sangat jarang terjadi. Membuat Samiera sedikit panik karenanya, dengan cepat ia berusaha melepaskan diri namun gagal. Tangan itu terlalu kuat mencengkram tubuh kurusnya yang terlihat mengenaskan dengan perut besar. “Tolong jelaskan apa maksudnya ini?” tanya lelaki yang sedang mengacung-acungkan amplop putih di depan wajah Samiera. Samiera mengangkat wajah dan menatap netra coklat lelaki itu, melirik sekilas amplop putih ditangannya. Masih diam dan tidak berkata apapun, hanya air mata yang luruh dari kedua pelupuk matanya. Wajahnya terlihat begitu sedih dan terluka, lelaki itu meraih tubuh Samiera kedalam pelukannya. Membelai punggungnya turun naik untuk memberikan ketenangan. Bukannya semakin tenang, tangisan Samiera semakin pecah dan terisak. Tubuhnya melemah dan seketika itu juga ambruk dalam pelukan lelaki itu. “Samiera...” panggilnya berusaha menyadarkan Samiera yang tidak sadarkan diri dalam pelukannya. “Samiera bertahanlah tolong demi dirimu sendiri dan dia...” lirihnya mencoba membopong tubuh kurus Samiera berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di carport. Pemandangan yang membuat panik beberapa pekerja dirumah itu, nyonya rumah mereka tidak sadarkan diri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD