Prolog

1106 Words
Lima tahun kemudian ... Di sore hari aku yang masih berada di butik memandangi gaun pengantin di patung. Bukan aku yang akan menikah, aku seorang wanita pekerja keras yang mendirikan Wedding organizer dan sebuah butik milikku. Aku tak punya alasan kenapa pada akhirnya memilih membangun usaha Wedding Organizer, padahal itu bukan jurusan di bidangku saat kuliah. Ya, aku lulusan jurusan akuntansi. Sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan usaha yang aku jalani. "Begini, Mbak. Aku barusan dapat telepon dari klien kita namanya Serena temannya Calissa. Katanya hari ini, dia akan datang kesini satu jam lagi mau lihat-lihat gaun pengantin," jelas Siska karyawanku yang telah bekerja di butik ini selama lima tahun. Lebih tepatnya Siska bekerja padaku semenjak pertama kali membuka usaha. Siska perancang busana yang handal, dia selalu bisa menggambarkan gaun pengantin yang kuinginkan. "Oh, Serena. Aku baru tahu Calissa punya teman. Kamu tahu, kan Calissa sahabatku semasa kuliah yang selalu datang kesini?" tanya ku pada Siska. Calissa sudah menikah tahun lalu, semenjak kejadian tragis di masa kuliah. Aku dan Calissa memutuskan untuk bersahabat kembali dan melupakan kejadian buruk yang aku alami di masa kuliah. Awalnya, berat namun aku lama-lama terbiasa dan tak mengingatnya lagi. "Iya, Mbak. Saya sering lihat Calissa datang kesini." Siska tersenyum ikut memandangi gaun pengantin rancangannya. "Sebenarnya, Calissa kemarin sudah bilang kalau temannya akan menikah dan mencari jasa WO, namanya ya, Serena itu. Oh, ya. Kalau begitu, tolong siapkan desain-desain kita, lalu siapkan gaun pengantin yang ada, jangan lupa berkas yang lainnya juga. Aku tak mau ada Kesalahan sedikitpun saat Serena datang kesini," ujarku panjang lebar. Sebuah penjelasan yang berakhir pada tugas Siska. "Baik, Mbak. Saya akan siapkan semua." Siska menjawab sambil tersenyum, dan segera melakukan perintahku. Semenjak lulus kuliah orang tuaku tidak ingin aku terlarut dalam kesedihan kehilangan Adrian. Papa berkata bahwa ingin menjadikanku sebagai sekretaris di perusahaan temannya namun aku menolak. Aku sama sekali tidak berminat bekerja di sebuah perusahaan dan mempunyai seorang atasan. Akhirnya, aku meminta modal pada Papa untuk membuka jasa Wedding organizer. Papaku setuju dan senang dengan pilihanku, dia lalu membeli sebuah ruko di tempat strategis dan memintaku membuka usaha di sana. Papa dan Mama Rani selalu mendukungku dalam hal apapun. Mereka membantuku mencari para pegawai untuk bekerja di butikku, mencari supplier yang menjual bahan kain terbaik. Aku lebih mementingkan kualitas daripada harga murah yang bahan dasarnya kaku. Kepuasan pelanggan adalah impianku. Seiring berjalannya waktu, semua impianku tercapai. Membuka usaha baru memang tidak semudah seperti sekarang ini. Wedding organizer milikku yang terbaik di Jakarta sampai kalangan artis dan pebisnis ingin aku menjadi orang yang membantu mereka memenuhi mimpi di pelaminan, jobku tidak pernah sepi. Setiap hari selalu saja ada pelanggan yang ingin jasa Wedding Organizer ku. Satu jam kemudian, seorang pelanggan datang, lebih tepatnya sepasang. Seketika tubuhku diam membeku melihat Serena datang dengan calon mempelainya. "Adrian!" gumamku lirih hanya aku yang dapat mendengarnya karena mereka belum sepenuhnya masuk ke ruang utama. Air mataku jatuh, pria yang aku tunggu selama bertahun-tahun ternyata ada di depan mataku sekarang. Aku tidak menyangka pria ini menghilang lalu datang menghancurkan hatiku. Buru-buru aku mengusap air mataku dan bersikap profesional tak terpengaruh dengan kedatangan Adrian. Siska yang melihatku menangis tak berani bertanya kenapa moodku tiba-tiba berubah menjadi mellow begini. Dia hanya mengusap punggungku pelan tak mengatakan apapun. Siska menyambut tamu dengan ramah dan aku juga mulai tersenyum, ekor mataku menangkap sosok tubuh Adrian di belakang Serena. Ia nampak memberi kami waktu untuk berbicara berdua dengan Serena. Aku meminta Siska untuk mengambil berkas-berkas design butik dan menyuruh Serena memilih tema apa. Aku berbincang dengan Serena, mengobrol kesana kemari membahas lebih detail bagaimana Serena dan calon suaminya inginkan. "Sayang, kamu kesini dulu bantu aku milih design mana yang bagus untuk pernikahan kita nanti," kata Serena lembut memanggil Adrian untuk datang. Mata kami saling beradu kemudian dia melepaskan pandangannya, Adrian tampak dingin. Dia seolah tak mengenalku, tak ada sapaan apapun darinya seolah kami tak pernah bertemu sebelumnya. Padahal kami bertahun-tahun bersama dulu. Kami juga berpisah tanpa ada kata putus, itu berarti Adrian masih pacarku. Tapi kenyataan pahit apa ini? Dia harus menikah dengan orang lain dan meninggalkanku sendirian. Bertahan pada luka yang tak bisa di obati. Sekian lama aku menunggu dan mendapatkan kenyataan buruk ini. "Terserah kamu saja. Aku menyukai design yang kamu pilih," katanya lembut. "Adrian kamu calon suami yang paling pengertian." Serena berkata manja mencium pipi Adrian. Deg! Jantungku berdegup kencang bukan terpesona atau jatuh cinta. Tapi jantungku sakit sekali melihat kemesraan mereka. Mataku berkaca-kaca, kenapa Adrian sampai setega ini padaku. Aku sudah lama menunggunya dan dia datang ke dalam hidupku membawa wanita lain. Selamatkan hatiku, Tuhan! Aku tak sanggup lagi berdiri di sini, aku tidak akan bisa menyaksikan Adrian menikah dengan orang lain. "Kalau begitu aku pilih yang ini," tunjuk Serena pada foto design bertema outdoor di hutan Pinus. "Baik, Mbak. Pilihan anda sangat bagus." pujiku pura-pura tegar pada mereka. "Kalau begitu, kamu menunggu di mobil saja. Aku mau ke toilet dulu," sahut Adrian meminta Serena pergi. Wanita itu melambaikan tangan padaku sebagai ucapan selamat tinggal. Sosok Adrian sudah menghilang masuk ke dalam toilet, aku tak bisa menahan diri lagi. Aku butuh penjelasan pada Adrian. Kenapa dia mencampakkan ku dan memilih menikahi wanita lain? Aku menunggunya keluar dari toilet, jemariku tiba-tiba dingin takut berbicara dengan Adrian setelah sekian lama. Tapi aku harus kuat, dan mempersiapkan diriku dengan kejadian apapun. Sosok pria itu keluar dari toilet namun berjalan melewatiku, hatiku bertanya-tanya kenapa dia mengabaikanku padahal aku jelas-jelas berdiri di dekatnya. Aku tak bisa menahannya lagi dan berteriak, "Adrian! Kenapa kau mengabaikanku?" kataku jengkel. Aku kehilangan kendali menangis di depan Adrian, aku sangat merindukan sosok ini, aku ingin sekali memeluk tubuh pria yang sangat kurindukan. "Kenapa kau tahu namaku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya mengerutkan dahi. Aku terkejut bukan main drama apa yang sedang di buat Adrian. "Ya, kita pernah bertemu sebelumnya dan aku pacar kamu di masa kuliah. Apa kamu lupa?" Aku berteriak di depan wajahnya tidak percaya Adrian pura-pura tidak mengenaliku. "Kamu mungkin salah orang aku bukan Adrian yang kamu maksud. Aku tak pernah pacaran denganmu di masa kuliah," bentak Adrian tajam. Dia menatapku seolah ingin menelanku bulat-bulat. "Dasar jahat! Kamu pria paling br*ngs*k yang pernah aku temui." tanganku menampar wajah Adrian. Aku muak dan marah dengan sikap Adrian yang mengabaikanku padahal Adrian dulu sangat tergila-gila padaku. Adrian memegang pipinya yang terkena bekas tamparanku. Dia mengcengkeram lenganku kuat-kuat sampai aku meringis kesakitan. "Berani sekali kamu menamparku. Kamu pasti akan membayar semua ini." Mata Adrian melotot. Dia tak seperti Adrian yang aku kenal di masa lalu, apa mungkin ini Adrian yang lain. Aku tidak tahu pasti yang pastinya sikap Adrian sekarang tidak sama dengan dirinya dulu. Andai saja aku bisa mengulang masa lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD