01

3137 Words
Happy Reading amd Enjoy~ "Kak, apakah aku boleh melihat buah berry di rumah Ghisen?" Elina berpaling ke arah adiknya. Kedua mata adiknya berbinar penuh harap, tangannya bahkan ditumpukan ke da****da sebagai tanda permohonan. Mau tidak mau Elina mengangguk. "Setelah melihat buah berry kau harus pulang, kita tidak tahu kapan orang-orang Alasjar berburu." "Baik, kak." Dengan riang Elana berlari. Itu adalah percakapannya dengan adiknya tiga jam yang lalu, hari sudah petang dan adiknya itu juga belum kembali. Sepertinya adiknya itu lupa waktu. Ia meraih syal rajut dan tas selempangnya. Tidak lupa ia juga memakai cadar tipis untuk menutupi sebagian wajahnya. Baru saja kakinya melangkah keluar orang-orang berteriak dengan panik. "Alasjar datang! Mereka ingin menghancurkan kita." Seluruhh tubuhnya mendingin, Elina berlari sekuat yang dia bisa ke rumah Ghisen. Desa mereka kecil dan rumah Ghisen terletak di daerah selatan, tempat orang-orang Alasjar bisa menemukannya semenit lebih cepat sebelum sampai pada rumah mereka. Tubuhnya menabrak beberapa orang yang turut melarikan diri, matanya sendiri sudah berkaca-kaca. Jangan sampai mereka mengambil Elana darinya. "Elana!" Ia berteriak sekuat mungkin saat melihat Elana di ujung sana juga berlari menghampirinya dengan raut khawatir. Tinggal beberapa meter langkahnya sampai di tempat Elana, sebuah tombak runcing mengenai punggung Elana, tembus hingga perutnya. "TIDAK, ELANA!" Terlambat, adiknya itu sudah menutup mata lambat-lambat ketika tombak runcing dengan ukiran naga kuno bersimbolkan Kerajaan Alasjar dicabut dari punggungnya secara kasar. "ELANA!" Ia tidak bisa berpikir dengan jernih, seharusnya dirinya berlari menjauh untuk menyematkan diri. Bukan malah berlari menghampiri adiknya yang di kelilingi orang-orang Alasjar. Elina mengepalkan satu tangannya, mencoba mengeluarkan tenaga dalam untuk menghabisi nyawa orang yang telah membunuh adiknya. Cahaya putih pudar keluar dari tangannya, kekuatan yang sangat minim. Bahkan kekuatan ini tidak bisa menjatuhkan prajurit Alasjar itu, tetapi Elina tidak peduli. Ia mengarahkan tangannya ke arah prajurit yang tadi menancapkan tombak di punggung Elana. Cahaya putih miliknya ditepis dengan mudah. "Tangkap, dia memiliki kekuatan." Ada satu rahasia besar yang selalu disembunyikan orangtuanya, Elina terlahir dengan keajaiban. Ia dikaruniai kekuatan yang masih belum di asah, tetapi orang-orang yang memiliki kekuatan di dunia ini amat dihargai. Yang paling terkuat adalah Raja Alasjar, tetapi lelaki itu tampak tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, masih saja membantai desa dan negara-negara kecil seperti tempat tinggalnya. Elina tidak pernah mengeluarkan kekuatannya, bahkan saat kematian kedua orangtuanya. Saat ini ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Elana satu-satunya keluarganya yang tersisa, ia tidak bisa membiarkan mereka berbuat sesuka hati. Beberapa prajurit datang menghampirinya dan langsung mencekal kedua lengannya. Elina memberontak sekuatnya, ia hanya ingin menyentuh tubuh adiknya untuk terakhir kalinya. Ia hanya ingin mencium pipi adiknya dan meminta maaf karena tidak bisa menjaga Elana dari kebangsatan para Alasjar. Sebelum benar-benar sampai pada tubuh Elana, dirinya sudah ditarik paksa. Lalu didorong masuk ke dalam kotak kayu yang di sana sudah ada beberapa gadis lain dari desanya. **** "Cepat jalan!" Sebuah cambuk melayang ke punggungnya. Elina meringis, tubuhnya lemah sekali. Tempat tinggalnya baru saja diratakan orang-orang Alasjar, padahal mereka hanya desa kecil yang kesulitan mencari makan. Apalagi yang diharapkan orang-orang berkuasa yang tak pernah puas itu? Ia memeluk erat syal rajut peninggalan ibunya, satu-satuya syal yang masih bagus. Jangan sampai orang-orang berkuasa itu merebut syal ini darinya. Perutnya seperti dililit sesuatu yang tak kasat mata. Dirinya lapar, sudah tiga hari ia dan teman-teman satu desanya yang masih selamat berada dalam ruangan dingin yang terasa lembab ini. Mereka tidak diberi makan, setiap pagi malah disuruh mengerjakan pekerjaan yang tak layak. Tenaga mereka habis, tampaknya orang-orang Alasjar itu sama sekali tidak berniat membiarkan mereka hidup. "Hei, kau jangan diam saja!" Satu cambukan kembali melayang mengenai bahunya. Elina terhempas ke tanah, tubuhnya benar-benar letih. Ia tidak sanggup lagi. "Bangun!" Memberanikan diri, ia mendongak dengan tatapan sayu. "Bo-bolehkah aku meminta air sedikit?" Bibirnya kering, tenggorokannya juga sakit. "Mata emas!" Orang Alasjar itu berseru, membuat beberapa prajurit lain mendekat dan memperhatikan penampilan Elina. Elina beringsut, ia hanya meminta air. Kenapa orang-orang ini memperhatikannya. "Bunuh saja dia," ucap salah satu pemuda Alasjar yang berada di dekatnya. Elina melototkan matanya, lalu semakin memundurkan tubuhnya. Pemuda yang berbadan tegap dengan cambuk di tangannya memberi ultimatum, tampaknya lelaki itu pemimpin orang-orang Alasjar ini. "Berikan dia air dan kembalikan dia ke ruangan tempat kaumnya berada. Jangan biarkan dia mati, kita akan mengadukan hal ini kepada Raja." Adat kaum Alasjar, mereka sangat mengagungkan manusia yang bermata emas. Konon katanya yang bermata emas adalah keturunan dewi, tapi Elina gadis miskin. Ayahnya seorang petani dan ibunya menjahit sebagai sampingan. Tidak ada yang spesial, tidak mungkin dirinya keturunan dewi. "Nah." Elina menerima air itu dengan tangan bergetar, meminumnya dengan rakus. Pandangannya tertuju pada kawanannya yang berada di dalam jeruji kayu. Mereka pasti haus juga. "Bo-bolehkah aku memberikan minum ini pada teman-temanku?" Prajurit yang memberinya minuman tadi langsung merampas dengan kasar. "Aku sudah berbaik hati memberimu minum, jangan kau pikir karena matamu bewarna emas kau diperlakukan secara istimewa!" Ia menggeleng, sama sekali tidak berpikir seperti itu. Prajurit itu mencengkram lengannya lalu menyeretnya dengan kasar sebelum menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Apa kalian sadar bahwa kalian terlambat menyampaikan kemenangan?" Aura yang berada di sekitar seketika berubah menjadi lebih mencekam dan dingin, di saat semua prajurit menundukkan tubuh serta pandangan, Elina malah mendongak. Ia hanya ingin melihat seperti apa rupa iblis yang telah membunuh keluarga dan menghancurkan desanya. Para b***k yang lain seketika langsung bersujud, Elina juga merasakan kekuatan yang besar, tapi ia tetap tidak mau tunduk pada orang jahat ini. "Maafkan kami, Raja Aslan yang Agung!" Elina menelan ludahnya gugup dan langsung menundukkan wajahnya ketika pandanganya bertemu dengan Aslan. Ia tidak bersujud seperti b***k lain, posisinya nampak tinggi diantara puluhan orang yang menunduk. Tubuhnya terangkat hingga ia berada tepat di depan Aslan. Elina menelan ludahnya gugup, ia tidak punya sesuatu yang tajam untuk ditusukkan pada pria ini. Ia siap mati sekarang asal Aslan juga turut mati bersamanya. "b***k mana yang tidak sopan ini, berani-beraninya kau melihatku dengan kedua matamu secara langsung!" Tangan tak kasat mata mencekiknya hingga membuat tubuhnya terangkat, sejajar dengan wajah Aslan. "Aku mem-bencimu." Dengan susah payah Elina mengatakannya. Keberaniannya patut diacungi jempol, karena ia sudah tidak peduli lagi apakah dirinya akan mati sekarang atau tidak. Karena sama saja, hanya perbedaan waktu kapan ia mati. Tangan Aslan terulur menyentuh matanya atau lebih tepatnya mencongkel. Elina berteriak sekuatnya, lelaki ini berniat membuatnya buta. Seolah tidak mendengar teriakkan Elina, Raja terkutuk itu mengambil sebelah matanya. Mengamati dengan seksama. Elina mengerang, darah mengalir deras dari matanya yang baru saja diambil. Syaraf-syaraf di kepalanya seperti putus. Aslan sendiri tampak tidak peduli dengan keadaannya, lelaki itu bahkan belum melepaskan tangannya yang mencekik leher Elina. Apa ia akan mati sekarang? Tubuhnya terasa lemah sekali, sayup-sayup ia mendengar Aslan bertanya pada prajuritnya. "Dari desa mana kalian dapat b***k-b***k ini?" "Jawab Yang Mulia, dari desa Shava." Elina masih bisa merasakan saat dirinya dijatuhkan ke tanah, tubuhnya langsung tergelatak lemas. Tanpa rasa kasihan, Aslan mencengkram kerah bajunya yang lusuh lalu menariknya kasar agar mengikuti langkah pria itu. "Yang Mulia, kami saja yang akan membawanya ..." Aslan mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan ucapan salah satu prajuritnya. "Kalian urus saja b***k-b***k yang lain, untuk yang ini aku akan mengurusnya." Sebelum Elina sadar apa yang benar-benar terjadi, tubuhnya seketika melayang. Dan ia jatuh dalam kegelapan yang berputar seperti pusaran. Lalu perlahan kesadarannya menghilang sepenuhnya. Mati atau hidup, dirinya sudah pasrah seutuhnya. Untuk saat ini Elina berharap dirinya mati agar bisa bertemu dengan adik-adiknya. *** Semua mata yang berada di kerajaan terbelalak ketika melihat Raja mereka yang agung menyeret seorang b***k. Dengan status dan keagungan yang amat tinggi sungguh merupakan penghinaan jika menangani b***k dengan tangannya sendiri. Borz tangan kanan Aslan mendekat, lelaki itu masih muda, tetapi kemampuannya tidak perlu diragukan. Dia menjadi pengganti Aslan untuk menangani masalah kerajaan jika Aslan pergi dari istana. "Ampun Yang Mulia, bersediakah Anda jika b***k itu diberikan pada saya? Saya akan membawanya untuk Anda." Bukan hanya Borz, beberapa penghuni istana yang lain juga turut terkejut ketika Aslan menolaknya. Lelaki itu berjalan lurus menuju ruangannya sembari menyeret tubuh Elina yang tidak sadarkan diri. Sebelum pergi ke area perb****udakan, jantungnya kembali berdenyut, bahkan kali ini lebih parah. Hingga Aslan memutuskan untuk mencari udara segar. Jantungnya memang bermasalah dari kecil, ia Raja Agung yang terlahir dengan penyakit. Ayahnya berusaha mencari obat untuk menyembukannya, ia juga menguasai lima kekuatan di dunia hingga akhirnya dirinya menjadi kekal. Tapi tetap saja tidak bisa mengubah apapun. Dulu gurunya pernah mengatakan umurnya tidak akan bertahan lama jika ia tidak memiliki kekuatan, itulah mengapa Aslan belajar ilmu bela diri dan menguasai lima kekuatan di bumi. Jantungnya akan membeku setiap bulan, atau pada bulan purnama. Seluruh tubuhnya akan mendingin, jika tidak memiliki tenaga dalam mungkin ia sudah mati. Penyakit ini memang langka, tidak ada yang bisa bertahan hidup. Parahnya, obatnya bahkan belum ditemukan. Berada di dekat b***k rendahan ini membuat denyutan di jantungnya berkurang. Apa mungkin karena mata b***k ini yang bewarna emas? Mereka mempercayai bahwa seseorang yang mempunyai mata bewarna emas keturunan dewi. Tidak mungkin ada seorang b***k yang keturunan dewi, itulah yang membuat Aslan mencongkel mata b***k malang itu untuk diteliti. Apakah itu benar keturunan dewi atau tidak, ia harus memastikannya dengan jelas. Sebab, jika b***k rendahan ini memang kelahiran dewi, maka kedua matanya akan berguna untuk pengobatan jantungnya. Meskipun penyakitnya belum ditemukan obatnya, tetapi jika menyimpan atau memakan mata dewi bisa membuat sakitnya berkurang hingga beberapa tahun ke depan. Sebaiknya ia menyimpan mata ini terlebih dahulu dan meminta pengawalnya untuk memakaikan b***k ini pakaian yang layak. Jika memang mata ini tidak memberi pengaruh apapun pada jantungnya, Aslan akan memakaikannya kembali. Sakit pada jantungnya berkurang ketika ia bertemu dengan b***k ini, dan entah kenapa kembali kambuh saat Aslan mencabutnya. Apa mata emas ini berfungsi ketika berada di dalam tubuh pemiliknya? Menurut legenda mata emas bahkan bisa bergerak sendiri dan menjadi hidup jika sudah dilepas dengan pemilik tubuh. "Borz." Tangan kanannya itu langsung mengetuk dan membungkuk hormat ketika berada di hadapannya. "Pakaikan b***k ini pakaian yang bagus. Setelah dia bangun beri dia makan, jangan lupa balut matanya. Setelah dia sedikit lebih tenang, tempatkan dia di ruangan yang berbeda dengan b***k lainnya. Pantau dia selama dua hari, lalu setelah itu kau bisa membawanya kepadaku." "Baik, Yang Mulia." Tanpa pertanyaan Borz membawa tubuh Elina pergi. Rajanya meminta ruangan khusus untuk para b***k, besar kemungkinan b***k ini berguna. Meskipun mengurus b***k secara langsung merupakan penghinaan, ini adalah perintah Raja. Di istana b***k adalah makhluk yang paling terendah. Tidak seperti kerajaan lain yang membuat b***k bisa naik tahta dan derajat dengan menikahi para bangsawan, di kerajaan Alasjar tidak akan ada hukum yang seperti itu. Sampai kapanpun b***k tidak akan pernah diberi tempat maupun kedudukan. Para petinggi dan bangsawan boleh memperkosa para b***k, tetapi tidak ada yang boleh mencintai. b***k manusia tahanan dari garis peperangan musuh, jika jatuh cinta dengan mereka bisa membuat seseorang lemah. Dan akhirnya terjebak di dalam rasa licik, b***k-b***k itu pasti balas dendam. Kerajaan Alasjar adalah kerajaan yang kej*am mengenai hal ini. Hanya di kerajaan Alasjar seorang b***k tidak memakai pakaian bagus. Jika ada yang jatuh cinta pada salah satu b***k, sebelum melakukan hal bodoh. b***k itu segera dimusnahkan. Mungkin akan di catat dalam sejarah bahwa Elina adalah satu-satunya b***k yang diberikan tempat tinggal layak dan pakaian yang bagus. *** Elina meringis ketika ia mencoba membuka mata. Mata kanannya berdenyut dengan denyutan yang mengerikan. Di mana ini? Terakhir kali ingatannya jatuh pada Aslan yang mengambil mata kanannya, lelaki itu menyeretnya pergi. Apa ini di istana Alasjar? Mengapa tampak begitu bagus. Ia pernah dengar bahwa Alasjar keras dengan memperlakukan b***k, tapi sekarang ia terbangun di atas ranjang empuk. "Makan dan ganti pakaianmu, aku akan membawamu ke tabib." Entah dari mana lelaki itu masuk, Elina terperanjat ketika tiba-tiba sosok tinggi dengan jubah bewarna hitam khas Alasjar berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan pandangan hina. Elina mengangkat dagunya angkuh. Ia yakin laki-laki ini pasti disuruh untuk berbuat baik padanya. Kalau begitu, ia akan membantah agar pria ini gagal melakukan misinya. "Aku tidak sakit, aku tidak perlu tabib. Kau bisa pergi jika kau mau." Pria itu berdesis. "b***k s****n! Jangan merasa besar kepala karena Yang Mulia membiarkanmu hidup, tidak tahu terima kasih!" Apa katanya? Elina lebih baik mati dari pada harus tinggal di kerajaan musuh. "Aku tidak butuh belas kasihan rajamu itu, lebih baik kau membunuhku. Atau berikan aku belatimu agar aku bisa membunuh diriku sendiri." Pria di hadapannya mendesis. "Raja memang menyuruhku memberimu makan dan berpakaian layak, tetapi raja tidak menyuruhku melakukannya dengan lembut." Setelah mengatakan itu, pria di hadapannya mendekat secara tiba-tiba hingga Elina memekik kaget dan terlambat melarika diri. Laki-laki itu menjambak rambutnya lalu mengoyak kasar cadar tipis yang ia kenakan saat Alasjar menyerang. Berbeda dengan adiknya, Elina memiliki paras yang luar biasa cantik. Ayah dan ibunya memilih tingga di desa agar tidak ada yang mengetahui betapa cantik dirinya. Ia juga selalu keluar mengenakan cadar tipis, dan berpura-pura memiliki penyakit menular apabila cadar itu dibuka. Kecantikannya tidak pernah di dengar negara manapun, keluarganya mampu menyembunyikan dengan baik. Sekarang, laki-laki Alasjar ini seenaknya mengoyak cadarnya setelah ia berhasil menyembunyikan wajahnya selama bertahun-tahun. Seperti dugaannya, pria itu terdiam. Tertegun dengan kecantikannya. Elina tersenyum sinis, ia mendorong laki-laki itu menjauh. "Kenapa kau terdiam? Tergoda dengan wajah b***k? Heh, sifat yang memalukan." Pria di hadapannya tersentak seolah tersadar dari lamunan panjangnya. "Aku harus memusnahkanmu sebelum Raja berubah pikiran. b***k seperti pantas mati." Elina membelalakkan matanya ketika kekuatan bewarna hitam mencekik lehernya. Tubuhnya terangkat ke udara, ia mencoba melepaskannya tapi pria Alasjar ini bukan pria biasa. Ia kehabisan napas, kedua kakinya bergerak gelisah. "Hentikan, Borz. Aku tidak menyuruhmu menyakitinya." Seketika cekikan pada lehernya terlepas, Elina terjatuh ke lantai, ia terbatuk-batuk sembari memegangi lehernya. "Apa sekarang kau melewati batasmu, Borz. Bahkan kau belum memakaikannya pakaian yang layak." Borz langsung membungkuk. "Hukum aku, Yang Mulia." Elina mendongakkan kepalanya, terang-terangan menatap wajah Aslan. Tangannya mengepal untuk mengeluarkan tenaga dalamnya, tenaga dalamnya hanya tersisa sedikit sekali, jika ia memaksa untuk memakainya dan kalah, dirinya bisa lumpuh selamanya. Elina tidak peduli jika ia lumpuh, yang terpenting bisa membunuh Aslan atau bahkan menyakitinya walaupun sedikit. Sebelum ia mengarahkan tangannya pada Aslan, cahaya bewarna hijau menepis kepalan tangannya. Membuat tenaga dalam yang sudah di kumpulkannya hilang dan hancur. "Jangan berbuat bodoh. Aku ingin mengembalikan matamu, atau kau mau buta selamanya?" Aslan mendekat, mengeluarkan botol kaca yang berisi mata Elina dari sakunya. Lelaki itu menjabak rambutnya agar mendekat, lalu tanpa aba-aba memasang bola matanya. Elina menjerit sekuatnya, sama halnya ketika urat-urat matanya terlepas sewaktu Aslan mengambilnya, kini urat-urat yang berada di matanya dipaksa menyatu kembali. Tubuhnya menggeliat tidak nyaman. Hanya memerlukan waktu selama satu menit. "Buka matamu." Elina menuruti, ia berkedip sekali. Kedua matanya tampak baik-baik saja, seperti belum pernah dicabut. "Turuti selagi aku berbicara, aku tidak akan mengulanginya dan tidak akan berbelas kasih apabila kau menolaknya. Makan dan gantilah pakaianmu, bergabung dengan para b***k yang lain. Jangan lupa kenakan cadarmu, wajahmu adalah kutukan." Bukan Elina jika ia menuruti perkataan Aslan semudah itu. Wanita itu berdiri lalu mengacak pinggang, bersikap menantang ke arah Raja Agung. "Lebih baik aku mati dari pada tinggal dengan para b***k itu. Jangan pikir karena kau seorang raja kau bisa-" Ucapannya terhenti, tubuhnya terhempas ke dinding. Elina memuntahkan darah, tulangnya seakan remuk. Belum memahami apa yang terjadi, dirinya kembali terlempar ke langit-langit kamarnya sebelum kemudian jatuh kembali. Ia bisa merasakan beberapa tulangnya yang remuk, tubuhnya mati rasa. Elina menatap Aslan dengan pandangan sayu. Lelaki itu pasti ingin memberikan siksaan seumur hidup padanya. Seakan belum cukup, tubuhnya kembali terangkat, tangan tak kasat mata menampar wajahnya hingga tubuhnya kembali menghantam dinding. "Aku membawamu dan mengampunimu karena kupikir mungkin saja kau keturunan dewi, aku bisa memakai matamu untuk mengobatiku. Setelah perlakuan baikku padamu, kau menjadi lancang, b***k miskin. Kenali dirimu sendiri." Aslan berdecih, lelaki itu berbalik pergi. Saat langkahnya baru saja sampai pada ambang pintu, Elina mengulurkan tangannya, dan cahaya keemasan berpendar di sekitar ruangan. Itu cahaya dewi, Ya! Dirinya memang keturunan dewi. Hanya saja kedua orangtuanya menyembunyikan, dan ia baru menyadari. Aslan tertegun, lelaki itu berbalik dengan wajah bersinar. Seulas senyum meski samar menghiasi bibir Aslan. "Baiklah, karena kau sudah menunjukkan kekuatanmu, aku akan mengampunimu." Kali ini Elina tertawa sinis, ia memilih membunuh dirinya sendiri. Tidak ada yang boleh memanfaatkan tubuhnya beserta kekuatannya. Ia menutup kedua matanya, berkonsentrasi agar kekuatan dewinya menguar lebih banyak. Cahaya bewarna hijau milik Aslan menepisnya. "b***k s**l*****an, aku tidak akan mengizinkanmu bunuh diri." Lelaki itu menghilang dan muncul di hadapannya, meraih tubuhnya dalam gendongan. Ia tahu pasti dirinya akan disembuhkan terlebih dahulu, lalu setelah itu menjadi obat bagi Raja jahat ini. Dengan kekuatan yang tersisa, diam-diam Elina merebut belati yang berada di pinggang Borz. Tanpa disadari dan terlambat menghentikan, ia menusuk belati itu tepat di jantungnya. Aslan membelalakkan matanya dengan amarah yang berkobar. Elina cukup puas dengan kematiannya, meskipun tidak tahu apa penyakit Aslan, setidaknya ia bisa mati dengan terhormat dari pada menjadi barang bagi orang lain. Cahaya keemasan langsung mengitari seluruh tubuhnya, tubuhnya terangkat. Elina memejamkan matanya dengan perasaan yang luar biasa damai. Cahaya hijau langsung mengarah pada belati yang menusuk jantungnya. Aslan ingin mengobatinya agar ia hidup kembali, tentu saja itu mustahil. Sekuat apapun lelaki itu tetap tidak bisa mengalahkan takdir. "Selamat tinggal, Aslan." Elina memejamkan kedua matanya sebelum tubuhnya hancur membentuk serpihan-serpihan bewarna emas. Khas para dewi yang mati. Aslan tertegun, ia sama sekali tak menyangka bahwa b***k itu bisa mengambil belati dengan begitu cepat dan akurat. Andai saja b***k bodoh itu tidak memilih mati, ia bisa menyerap kekuatannya. Setelah itu ia bisa menjadi orang yang paling kuat di dunia. "Argh!" Aslan memegang jantungnya, kambuh lagi. Penyakit yang membuatnya tak sempurna. Dua bulan ke depan ia akan menikah dengan putri kerajaan Damansus. Putri tercantik yang dulu merupakan teman masa kecilnya. Aslan tak begitu mengingatnya, tetapi putri itu bisa menjadi sumber kekuatannya. Ia akan meminum darah putri itu seminggu sekali untuk menekan racun dari penyakit jantungnya yang langka. Pernikahan ini sendiri sebagai bentuk perdamaian, tapi bukan Aslan namanya jika ia mempertahankan kata perdamaian. Raja Damansus sudah tua, hanya menunggu waktu sampai pria itu mati. Sementara para putranya hanya segelintir orang bodoh, ia akan mengambil alih kerajaan Damansus dan memperluas kekuasaan Alasjar. Aslan tersenyum sinis, persetan dengan b***k yang ternyata memiliki darah dewi itu. Selagi ia bisa meminum darah putri Damansus semuanya akan selesai. Namanya akan tercatat di dalam sejarah sebagai raja yang tak terkalahkan. Meskipun sedikit jengkel dengan keputusan bodoh b***k itu, bukan Aslan namanya jika tidak memiliki jalan keluar. "Dua bulan lagi pernikahanku, urus segala sesuatunya dengan baik." "Maaf Yang Mulia, ada kabar buruk mengenai calon pengantin Anda." Borz berlutut di hadapannya. "Katakan." "Putri Daviana mendapat perlakuan buruk dari saudara-saudaranya, ia dibesarkan di dalam gudang bawah tanah kerajaan Damansus. Sikapnya juga penakut dan lemah. Maaf jika hamba lancang Yang Mulia, apakah dengan keadaan yang seperti itu Putri Daviana bisa menekan racun di tubuh Anda?" "Kau tidak perlu khawatir, meski tubuhnya dan sikapnya lemah. Darahnya belum ternodai, tubuhnya masih suci. Dan aku memang memerlukan wanita lemah di sampingku." Setelah mengatakan itu, Aslan menghilang. Lelaki itu kembali ke ruangannya untuk bekerja, ada banyak dokumen yang belum diperiksa. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD