1. Unexpected

1505 Words
Hujan deras membasahi sepanjang jalan Distrik Utara. Genangan air mulai menghiasi trotoar halte. Tidak sedikit pejalan kaki yang menggunakan payung agar tubuh mereka tidak basah terkena air hujan. Beberapa pengendara sepeda pun menepikan sepadanya di samping halte sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya pelan. Pemandangan menakjubkan itu dinikmati oleh salah satu perempuan mungil yang duduk tepat menghadap jendela café. Kali ini hujan yang mengguyur kota Shanghai tak menjadi penghalang dirinya untuk keluar rumah. Karena sudah hampir seharian penuh dirinya duduk dan tak beranjak, meskipun sempat beberapa kali ke toilet. Parveen Qasrina Tsabitah. Begitulah nama indah yang tertulis di kertas kosong berwarna putih polos. Rentetan kalimat panjang yang tersusun rapi kembali ia baca, memastikan agar susunan kata dan kalimat pas. Dirinya tidak boleh melakukan kesalahan apa pun, karena hidup dan matinya tergantung pada lamaran yang ia tulis barusan. Gadis kecil bersurai hitam panjang itu terus menerus menatap Parveen dengan bola mata indahnya. Bibirnya sesekali tersungging manis. Gaun kecil yang membaluti tubuh mungil itu nampak pas dan sangat indah. “Kakak, udah selesai?” Lagi-lagi pertanyaan itu mengusik Parveen yang tengah membaca kalimatnya dengan teliti. Alis tebal hitam legam itu bertaut bingung saat mendapati ada sebuah kalimat janggal. Namun, ia tidak mempermsalahkan itu semua, sebab makna dan susunannya masih sangat rapi. Parveen menoleh pada adiknya dan tersenyum manis. “Udah. Kamu mau pulang?” “Erina mau pulang, Kak.” Kaki mungil Erina berayun pelan pada bangku yang jauh lebih tinggi darinya. “Ayo, bantu Kakak bereskan ini. Nanti kita mampir di toko roti Nenek Sun,” ujar Parveen sambil merapikan beberapa buku dan mematikan laptop yang ada di atas meja. Matanya tak lepas dari Erina yang berusaha membereskan buku-bukunya. Gadis kecil itu memang teramat mandiri hingga Parveen merasa bahwa Erina bukanlah anak yang berusia lima tahun. Karena semenjak dirinya menjadi transmigran di negeri tirai bambu, Erina memang lebih mandiri dan tidak menyusahkan dirinya. Apalagi ia harus segera mencari pekerjaan sebelum dirinya dan Erina mati kelapan akibat uang tabungan yang mulai menipis. “Erina masukin tas ya, Kak.” Tangan mungil itu terulur di atas meja hendak meraih tote bag berwarna hitam polos. Parveen pun tak tinggal diam. Ia mengambilkan tote bag, lalu memberikannya pada Erina. Gadis kecil itu tersenyum riang dan mulai memasukkan satu per satu buku ke dalam tote bag tersebut. Mata Parveen menatap keadaan luar yang sedikit gerimis kecil. Lalu, arah matanya mengarah pada salah satu tempat payung yang selalu tersedia pintu café. Di sana hanya ada satu payung dan artinya ia harus menggendong Erina sampai di rumah. Melihat keadaan yang tak kunjung reda, Parveen pun akhirnya memutuskan untuk menggendong Erina daripada harus menunggu lebih lama lagi di sini. Sejujurnya Parveen merasa kasihan pada adiknya yang masih sangat kecil, tetapi sudah ia mengajak ke mana pun dirinya pergi. Baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh seperti sekarang ini. “Kak, ayo!” ajak Erina sambil menuruni bangku yang tentunya dibantu oleh Parveen. Langkah kecilnya melompat-lompat riang sambil sesekali tersenyum pada Parveen. Gadis sekecil Erina sangatlah tidak mudah hidup di negara mahal seperti ini. Akan tetapi, Parveen yakin bahwa Erina bukanlah adik yang menyebalkan seperti yang ia tahu. Karena Erina tidak akan menyusahkannya. Hati Parveen bergemuruh saat matanya menangkap salah satu laki-laki berpakaian jas yang mengambil satu-satunya payung yang dapat menyelamatkan hidupnya. Jiwa pemberontaknya bergejolak kala langkah Erina memelan saat menatap payung plastik terbuka lebar tepat di hadapannya. Parveen tidak akan bisa pulang tanpa payung itu dan ia harus mempertahankan sebisa mungkin, karena malam ini Erina harus pulang lebih awal. “Kak, maaf itu payung saya,” ucap Parveen dalam Bahasa Mandarin lancar. Matanya menatap payung yang ada di dalam genggaman lelaki itu. Mendengar suara dari arah belakangnya, Fairel mengerutkan dahinya bingung mendapati seorang anak kecil yang menatapnya sambil berkaca-kaca. Hatinya menjerit tak tega melihat tatapan gadis kecil tepat di bawah kakinya. Entah gadis itu yang terlalu kecil atau dirinya yang sangat tinggi. Sementara itu, tak jauh dari Erina ada Parveen yang melangkah lebih cepat, lalu berhenti tepat di samping Erina yang tetap menatap lelaki dewasa sambil mendongak melas. Hatinya tertawa geli melihat tatapan Erina yang sepertinya hanya pura-pura saja. “Ini maksud kamu?” tanya Fairel sambil menggoyangkan gagang payung yang ada di genggamannya. Parveen mengangguk kuat. “Tidak bisa. Saya lebih dulu melihat daripada kamu,” tolak Fairel tegas. “Anda tega melihat dua orang perempuan berjalan di tengah derasnya gerimis?” ucap Parveen dengan nada yang sedikit menyedihkan. Lagi-lagi Fairel menatap gadis kecil yang sedari menatap dirinya. Ada sedikit rasa iba saat melihat gadis kecil itu berjalan di tengah gerimis. Sementara di lain hatinya merasa harus menolak, karena ia juga perlu menggunakan payung itu agar tiba basah saat sampai di mobil nanti. “Itu terserah kamu, saya tidak peduli. Lagipula kenapa kamu tidak membawa payung sendiri daripada harus memperebutkan satu payung yang ujung-ujungnya akan menjadi milik saya,” ujar Fairel acuh tak acuh. Ia harus berpegang teguh pada pendiriannya agar tidak mudah goyah akibat tatapan seorang gadis kecil. Karena selama ini Fairel adalah satu-satunya jajaran lelaki yang tidak mudah luluh untuk seorang perempuan. Salah satu penyebabnya sudah pasti akibat seorang perempuan. “Jadi laki-laki kok tidak mau mengalah,” gerutu Parveen kesal. Dengan mengembuskan napas pelan, Parveen mulai meraih pergelangan tangan Erina. Ia tidak ingin bertengkar di hadapan adiknya. Karena itu akan membuat dirinya tidak tenang. Selama ini Erina tidak pernah melihat dirinya bertengkar, dan sangat tidak mungkin Erina melihatnya seperti sekarang ini. Hati Parveen sudah mantap akan menggendong Erina sampai di halte nanti, lalu menaiki bus yang sejurusan dengan rumahnya. Karena untuk keadaan seperti ini ia harus melebihkan pengeluarannya kali ini, daripada membuat Erina kelelahan. Karena tadi ia sudah menempuh jarak yang cukup jauh hanya dengan berjalan kaki. Namun, baru saja Parveen hendak menapakkan kaki di lantai marmer yang basah, tiba-tiba Fairel memanggilnya. “Oke. Payung ini buat kamu,” kata Fairel pelan. Sontak Parveen tersenyum senang, namun ia buru-buru berbalik dan menyembunyikan senyumannya. Dirinya tidak akan memperlihatkan rasa terima kasihnya pada lelaki berhati batu itu. “Mau tidak?” tanya Fairel mengejutkan Parveen. “Iya, iya.” Baru saja Parveen hendak menyambar payung tersebut, tiba-tiba payungnya terlepas dari gagang membuat Parveen dan Fairel menganga tak percaya. Sementara Erina hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa penglihatannya memang tidak salah. Payung yang akan menjadi penyelamat hidup Parveen dan Erina hilang entah ke mana. Hanya ada angin lembut yang perlahan menyapu kulit putih bersih milik Parveen. Semesta seakan begitu kejam pada kehidupan kedua anak perempuan yang tinggal di Negeri Tirai Bambu. *** Daiyan berkali-kali mengembuskan napasnya pelan. Mengabaikan Valeeqa yang sibuk menempelkan sebuah ponsel berwarna hitam di telinganya. Sedikit bercakap-cakap, lalu menggeleng singkat pada Daiyan. Sejak istirahat makan siang tadi, Fairel memang tidak terlihat lagi batang hidungnya. Padahal Daiyan sudah berpesan pada adiknya itu agar tidak ke mana-mana, tapi sekarang Fairel sudah hilang dari radar penglihatannya. Bahkan Valeeqa tidak memergoki Fairel kala meninggalkan kantor. Wanita anggun itu sedari tadi disibukkan oleh agenda rapat yang akan diadakan minggu depan, dan itu artinya tidak ia harus lembur untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, sebelum diserahkan pada Fairel. Namun, siapa sangka akibat kelengahannya itu membuat ia kehilangan Fairel dalam waktu sekejap. Apalagi Daiyan datang dengan tiba-tiba seperti ini. Ia sama sekali tidak menduga akan berakhir dengan masalah yang menurut dirinya sangat merepotkan. Fairel sudah besar dan semua anak kantor tahu itu, tetapi entah kenapa Daiyan selalu memperlakukan Fairel seperti anak kecil yang harus diawasi. Padahal hidup di Cina bukanlah satu atau dua tahun, melainkan sudah sembilan tahun lamanya. “Direktur Daiyan, apa tidak sebaiknya kita menunggu kabar dari Fairel saja?” tanya Valeeqa hati-hati. Ia merasa sangat takut akan menyinggung hati bosnya ini, karena Daiyan akan sangat menakutkan jika laki-laki sedang marah. “Baiklah. Kalau begitu kamu bisa pulang sekarang. Saya ada perlu, jika Fairel menghubungi lagi. Tolong beri tahu saya,” jawab Daiyan sambil menghela napas pelan. “Baik. Kalau begitu saya undur diri,” pamit Valeeqa tersenyum lega. Akhirnya, Daiyan tidak marah habis-habisan hanya karena tingkah Fairel yang kekanak-kanakkan. Kalau iya, mungkin Valeeqa akan memaki Fairel tanpa memperdulikan status lelaki itu sebagai bosnya. Sementara Daiyan memijat pelipisnya lelah. Akhir-akhir ini ia memiliki banyak pekerjaan hingga tak sempat memperhatikan tingkah Fairel. Kalau dirinya tahu Fairel akan kabur seperti ini, mungkin ia akan cepat-cepat menemui adiknya tanpa harus mampir ke salah satu kantor cabang yang berada di Shanghai, dekat dengan Shanghai Railway Museum. Pusing memikirkan Fairel, Daiyan sampai tidak ingat bahwa besok lelaki itu harus menghadiri rapat direktur perusahaan yang berada di Beijing. Hal yang sangat melelahkan adalah harus melakukan perjalanan lagi, padahal baru saja ia tiba di Shanghai, tetapi harus terbang kembali ke Beijing agar urusannya cepat selesai. “Gila! Lama-lama gue bisa stress kalau begini terus,” gumam Daiyan sambil mengerang frustasi. Ia tidak tahu harus berbuat apalagi agar Fairel mau menuruti permintaannya untuk berbagi tugas. Padahal jauh sebelum Daiyan memegang kendali perusahaan, Fairel sempat memberinya konfirmasi kalau laki-laki itu mau menggantikan dirinya ketika sedang dalam perjalan bisnis. Namun, siapa sangka dalam waktu tiga tahun terakhir Fairel sudah mengabaikan tugas-tugas kantornya, sehingga ayahnya Danadyaksa marah besar. Akibat keuangan perusahaan yang merosot lebih besar daripada biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD