What A Wonderful Place

1273 Words
Langit hitam menyelimuti ufuk timur langit Sumatra, berjingkat seperti tupai hendak mengambil makanan kesukaannya. Matahari perlahan tenggelam oleh kemegahan yang maha kuasa. Bersiap berganti hari menuju malam. Langit berwarna hitam cerah, di bagian lainya terdapat aurora yang sangat diburu oleh para fotografer ternama dunia. Pemandangan seperti ini tidak lebih dari sebuah objek buruan yang sangat dinantikan oleh para maniak foto itu. Bagi kami, pergantian hari seperti ini adalah hal yang sangat dinantikan oleh anak-anak kecil di desaku, bermain bola sepuasnya, tidak ada durasi waktu bermain hingga adzan maghrib berkumandang. Perhitungan gol bagi kami hanyalah selisih angka yang ada di kedua belah tim. Seperti jika skor asli 4-2 dihitung 2-0. Agak membingungkan memang, tapi begitulah perhitunganya, tidak mengenal angka diatas dua digit. Posisiku adalah back, dibelakang, tidak pernah mencetak gol. Hanya menyelamatkan gawang dari para musuh yang mendekat. Aku tidak terlalu mahir dalam berolahraga, maka posisi ini sangat favorit bagiku. Karena aku tidak akan pernah menjadi bulan-bulanan temanku jika aku tidak bisa mencetak gol ke gawang lawan. Dan itu merupakan momok yang sangat memalukan jika tidak mampu mencetak gol bagi para pemain striker. Pernah suatu ketika Amin ngotot ingin menjadi striker bagi tim kami, padahal bisa dibilang kami adalah rival satu sama lain, dan kemampuan kami pun tidak berkembang kecuali sedikit, terlebih diriku ini. Padahal posisi utamanya adalah keeper. Dengan badan gempal dan otot kaki yang besar, dia memiliki kuda-kuda kuat dan masuk kategori salah satu kiper terhebat. Namun jabatan kiper hanyalah diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki tingkat kelincahan rendah. Karena Amin ngotot ingin menjadi striker, dibolehkanya pun dia untuk maju kedepan, dan sialnya aku menjadi pengganti keeper. Sekali lagi, posisiku mundur kebelakang. Wajar jika Amin ingin menjadi striker, karena posisi itu memang merupakan posisi favorit bagi para pemain sepak bola, mencetak gol, mendapat sorakan pujian, hingga menjadi kebanggaan tim. Aku ingin sekali seperti itu. Tapi karena resiko yang sangat besar, segera ku urungkan niatku. Bola melambung ke depan tepat berada diposisi Slamet, digocek kesana kemari dengan lincahnya sampai yang tersisa hanya keeper tim lawan saja, sedangkan posisi Amin berada di belakang kiper tim lawan. Slamet yang baik hati berniat menyerahkan kebanggaannya mencetak gol dipersilahkan untuk Amin, sehingga dengan mudah Slamet melewati kiper tim lawan lalu menyerahkan bola ke Amin. dengan yakin nya amin menendang bola yang belum sampai ke jarak tendang kakinya itu, ia terlanjur menendang. Karena kekuatan otot kaki yang luar biasa berbanding tidak lurus dengan penyentuhan bola, dan hitungan yang sangat tidak akurat sehingga pertemuan gaya pegas kaki dan bola yang seharusnya seimbang menjadi pertemuan antara ujung jempol dengan bola saja, menghasilkan bola hanya berotasi ditempat, berjalan beberapa cm kearah gawang lawan. Dan yang lebih buruk dari itu, tubuhnya terpelanting kebelakang, seperti bola bekel yang sering dimainkan anak perempuan. Amin meringis kesakitan sekaligus malu. Aku mengerti apa yang ada dibenak kepalanya. Wajahnya pucat pasi, pipinya tidak merah, karena tidak ada warna merah pada kulit hitam amin. Matanya sembab tapi dia masih mempertahankan air mata itu untuk tidak jatuh, dan lebih sialnya, hal itu membuat dia semakin terlihat lucu. Sontak tim lawan pun tertawa terbahak-bahak. Karena itu adalah momen mereka tidak kehilangan jarak skor dengan tim kami. Namun yang membuat mereka tertawa bukan itu. Bola berotasi ditempat. itu yang membuat menjadi bulan-bulanan kami. Aku kasihan sekaligus gemas melihat kawanku ini malu, tapi mau bagaimana lagi, dia ngotot ingin menjadi striker padahal posisi permanennya adalah keeper. Setelah kejadian itu, ia menjadi bulan-bulanan dimanapun, disekolah, di TPA, sampai dibicarakan dimanapun bahkan saat amin tidak ada. Amin tidak lagi menjadi striker, mungkin dia tidak mau lagi menjadi bulan-bulanan. Dan itu menguntungkanku karena tidak harus menggantinya menjadi kiper. Setidaknya dia masih satu posisi dibelakangku. ………… Cita-cita bagi kami hanyalah sebuah ilusi penyenang jiwa. Pesuruh paling mustajab bagi tubuh yang sudah sangat lelah menjalani rutinitas harian. Bagaimana tidak, kami hanyalah buruh bagi tuan tanah. Mendapat upah dari hasil jerih payah, kami ketika disuruh untuk membasmi hama di ladang mereka. Buruk nian nasib hama ini. Mereka hampir seperti kita. Mencari makanan bagi keluarga yang menunggu dirumah, namun harus dibasmi demi menyenangkan tuan tanah. dengan membasmi mereka kami mendapat upah yang tak seberapa namun sangat kami syukuri. Pekerjaan lain yang harus kami jalani ialah dengan mengumpulkan singkong dari tanah bekas bongkaran. Itupun jika tidak dilarang oleh tuan tanah. Jika dilarang, nasib kami hanya pekerja buruh tani. Sungguh nasib begitu menyiksa kami. Bahkan takdir pun seakan belum puas dengan keadaan kami saat itu. Tiap hari harus bangun pukul 2 dini hari untuk bisa mendapat beberapa tetes getah karet. Dan sekali lagi itu pun bukan milik kami. Itu milik tuan tanah. Banyak sekali di desa kami anak-anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah ke jenjang menengah pertama. Mereka lebih senang anaknya untuk segera bekerja agar meringankan biaya hidup keluarga. Beruntung sekali ayahku adalah seorang pegawai. Aku adalah segelintir anak yang memiliki kesempatan luar biasa untuk melanjutkan sekolah. Meskipun itu di pesantren, tak apalah. Daripada bekerja untuk tuan tanah dengan upah yang tak seberapa itu, lebih baik aku mengabdi dengan cara meneruskan sekolah ke jenjang berikutnya. Pernah suatu ketika aku tidak betah dipesantren. Bayangkan waktu itu umurku belum genap 12 tahun. Aku sudah harus pergi jauh dari rumah, belum pernah seumur-umur aku pergi sebegitu jauhnya. Itulah kompensasi yang harus aku dapatkan agar aku tidak menjadi buruh tuan tanah. Menanggung beban jauh dari rumah. Aku ingin keluar pesantren karena gengsi, aku melihat semua teman-teman seangkatanku yang menangis tidak betah tapi kenapa aku betah disini? Itu menjadi pertanyaan bagi diriku sendiri. Agar tidak terlihat seperti orang aneh, akhirnya pun aku berlagak sok tidak betah. Karena kehidupan pesantren jauh lebih baik ketimbang kehidupan di desaku. Pesantren modern. Begitulah mereka menyebutnya. Terlebih lagi ketika aku menginjak kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, aku termakan oleh hasutan-hasutan pragmatis. Tidak bisa lagi berpikir mana yang baik untuk masa depanku. Kehidupan pesantren seolah membelenggu. Semua hal dari bangun tidur hingga tidur lagi sudah masuk kedalam kegiatan harian. Tidak ada kata dan rutinitas yang tidak terikat dengan aturan. Sempat aku termakan oleh semua itu. Dan kuberanikan diri untuk menyampaikan keinginan kepada bapaku. “pak aku selesai MTs pindah sekolah ya” Ada kegelisahan di sudut mata tulang punggung keluarga kami, terlebih dimata ibuku ada sorot mata khawatir terhadap satu-satunya anak lelaki yang ia punya. Kekhawatiran itu terpancar sangat jelas. Seperti bulan purnama dengan awan langit yang bersih. Khawatir tentang pergaulan anak muda labil. Kebebasan yang menyesatkan jiwa. Pergaulan yang ambisius. Dan yang paling parah adalah n*****a. Mereka tidak menjawab. Hanya diam. Sungkan menjalari sanubari. Rasa bersalah yang kian amat sangat tiba-tiba merasuki. Tapi itu semua tidak cukup untuk menenggelamkan hasutan k**i yang telah mengotori pemikiran anak remaja ini. Yang dicari hanyalah kebebasan. “nak, jika kau ingin keluar, bapak belikan kau kambing. Agar dirumah tidak menganggur” Itulah jawaban yang aku terima. Sempat aku ingin mengiyakan ancaman itu, tapi aku memiliki tubuh yang kecil, kaki yang tidak berotot seperti milik amin si keeper permanen. Tanganku juga tidak begitu lincah untuk mencari rumput. Aku sudah membayangkan bagaimana susahnya mencari rumput. Ancaman itu berhasil menciutkan niatku untuk pindah dari pesantren. Aku sebenarnya dibolehkan pindah, tapi dengan syarat harus pindah ke pesantren yang lain. Bagaimana aku bisa betah pindah ke pesantren lain. Sedangkan pesantrenku adalah pesantren satu-satunya yang menyandang nama modern. Aku tidak bisa tinggal di tempat yang lebih menyiksa lagi. Sudahlah, cukup disini. Tawar menawar pun akhirnya sampai pada mufakat. Aku tidak pindah asalkan dibelikan kamera. Meskipun kamera itu sangat tidak penting. Tapi iming-iming itu mustajab. Berbekal gaji bulanan milik ibuku yang telah berbulan-bulan tidak diambil. Cukuplah untuk membeli kamera. Jika aku mengingat kejadian itu, aku merasa bersalah. Tapi inilah mufakat. Hasil kesepakatan antara anak laki-laki semata wayang dengan orang tuanya. Setelah kejadian itu, aku mendapatkan pelajaran berharga nomor dua puluh Satu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD