Bab 1 : Gereja di Atas Ranting Mahkota Dewa

1443 Words
Langit sore di bulan Maret itu cerah, berkawan angin sepoi yang seolah meniup gerombolan awan agar berarak meramaikan angkasa. Ketika manusia menatap persis ke atas sana, kapas putih itu tak ubahnya replika biri-biri tengah merumput, satu dua menyerupai kucing menguap—membuat siluet layang-layang nun tinggi seakan dilahap si kucing yang terkantuk bersama gradasi jingga dari sinar mentari. Di bawah lukisan indah semesta itu, orang-orang tenggelam dalam berbagai aktivitasnya. Seekor burung gereja terbang menuju dahan pohon mahkota dewa. Sayapnya mengepak lucu ketika kepala mungilnya menyentuh buah milik si pohon. Tubuhnya agak terhunyung sebelum sukses bertengger di dahan. Asha yang melihat momen itu terkikik. Gigi depannya yang tanggal satu membuat tawanya kian menggemaskan. Gadis kecil itu membawa sepedanya lebih dekat untuk mengamati. Dan menyimpulkan bahwa burung gereja itu memang lucu. Bulu cokelatnya mengingatkan Asha pada Eglatine, itu lho, salah satu burung kecil yang imut dalam film kartun. “Kau gila, ya?” Eh? Asha terkesiap, lengannya yang tadi terulur pada burung gereja kini kembali ke sisi tubuhnya. Sekarang, di sana ada seorang anak laki-laki yang menodongkan pertanyaan padanya, muncul dari balik tanaman bonsai sembari memainkan remote control mobilnya dengan lagak sok. Bajunya bagus dan rambutnya dibuat mengilap ke belakang. Asha gamblang menunjukkan ketidaksukaannya. “Apa?” raungnya garang. “Tuh—kau senyam-senyum, ketawa, dadah-dadah ke burung jelek itu,” dagu si anak laki-laki mengedik angkuh. “apa namanya kalau bukan gila?” “Bukan urusanmu.” Balas Asha judes, ia mau putar balik saja. Tidak asyik main sepedaan sendirian, apalagi kalau mendapat gangguan yang menjengkelkan. Namun gerakannya ditahan tangan si anak laki-laki. “Kau bego benar ya? Jelas urusanku! Ban sepeda jelekmu itu melintas di tanah dekat rumahku.” Jemari anak laki-laki itu menunjuk bangunan di belakang tanaman bonsai, kemudian berlabuh di dadanya sendiri. Sementara Asha menatap tanpa minat, mana tahu itu rumah siapa, lagipula ia dan keluarganya baru pindah tiga bulan lalu. Seandainya di sekeliling rumah itu terpasang plang besar bertuliskan, ‘Rumah Anak Orang Kaya Super Sombong. Awas Jangan Mendekat!’, Asha bersumpah takkan mau menginjakkan kaki beserta ban sepedanya ke area itu. “Aku harus memastikan kalau anak-anak yang main di sekitar rumahku itu WARAS.” Tekannya lagi. Bola mata Asha mengecil karena tersinggung, ia makin benci memandang wajah tengil anak itu. Ah, paling mereka cuma beda 5 tahun, bagaimana kalau Asha injak saja kakinya? “Aku waras, sehat, baik-baik saja dan tidak gila.” “Terus kenapa burung jelek itu kau ajak bercanda? Kenapa tidak sekalian kau ajak ngobrol saja?” “Oh, mau kok kalau dia bisa ngomong. Pasti burung jelek itu bakal teriak-teriak ke depan mukamu dan bilang anak t***l sebanyak tiga kali,” Asha puas, kulit putih anak lelaki itu perlahan berubah kemerahan hingga mencapai ke cuping telinganya. “kau mau tahu karena apa? Burung jelek itu bisa lihat mukamu yang jauh lebih jelek dari bulu cokelat buriknya.” Asha berkacak pinggang. “Nah, sekarang biarkan aku lewat sebelum burung jelek itu berubah jadi monster raksasa dan makan anak sombong sepertimu!” Retina si anak laki-laki memindai ganas, seakan mencacah tubuh Asha dengan kekuatannya saat marah. “Kau tidak tahu siapa Ayahku, HA? Dia itu Pati TNI Angkatan Udara! Mati kau kalau ketahuan menghina anaknya!” Asha mencebik. “Kau kira Papaku apa? Dia juga TNI Angkatan Udara!” Oh, dasar anak-anak. Lingkungan tempat mereka tinggal adalah komplek TNI, jelas mereka berasal dari kalangan yang sama. Yang membuat heran, mengapa Asha jadi ikutan zuhud jabatan Papanya? Napas anak laki-laki itu memburu. “Kita lihat saja nanti jet tempur milik Ayahku bakal menghancurkan tempat tinggalmu sampai tak bersisa! Tapi sebelum itu, akan kuhancurkan dulu kepala burung jelek ini!” “Jangan!” Asha menjerit, menghempas sepeda yang tadi dinaikinya. Anak laki-laki itu keburu menyambar leher si burung gereja, membuat gerakan mencekik sehingga terdengar cicitan menyedihkannya. Kedua tangan Asha spontan terjulur, mencoba meraih si burung yang tengah diangkat tinggi-tinggi ke udara. “Jangan! Turunin! Kasihan!” Gantian kini seringai kejam muncul di bibir si anak laki-laki. “Mau aku patahin apanya dulu? Leher, sayap atau kakinya?” tangan kiri yang bebas digunakannya untuk mendorong-dorong tubuh Asha agar menjauh. “Lepasin! Lepasin! Kasihan!” “Mundur!”                      Asha terdorong dengan keras, tumpuan kaki gadis itu tak siap menahan bobot tubuh hingga ia jatuh tersungkur membentur tanah. Si anak laki-laki nampak puas dengan hasil kerjanya. “Tahu rasa kau, dasar bocah tengil!” bibirnya mencemooh culas, “nih, burung jelekmu aku lepasin.” Asha tak sempat berbuat apa-apa ketika si gereja dilempar ke dalam comberan, ia bahkan masih rebahan sambil memegangi kepala yang terasa dibelah dua. Tanpa basa-basi, anak itu melenggang pergi. Asha ditinggalkan sendirian bersama pertigaan yang sepi. Tak ada yang sempat menyaksikan kejadian tadi. Asha menangis, air matanya turun satu-satu. Ia melongokkan kepala ke dalam comberan di mana si burung telentang dengan sayap patah. Ia merangkak, duduk di atas semen pembatas saluran pembuangan air. Menangis lebih keras lagi guna mengeluarkan kesal di d**a. Kemudian tanpa diduga-duga, ada tangan yang terulur padanya—putih serta ramping. Asha mendongak, mendadak lupa mengambil napas. Oke, ini tidak normal—mana ada malaikat turun di siang bolong begini? “Kau tidak apa-apa?” Asha mengerjap, otaknya blank—ternyata, rupa yang ditatapnya itu adalah manusia. Anak laki-laki itu mungkin seumuran Arka. Wajahnya ramah, dan yang paling memukaunya itu—ialah lensa matanya yang hitam penuh seolah diciptakan dari jelaga. Namun, bola matanya bening seperti disiram embun setiap pagi, menyejukkan. Anak lelaki itu membantunya bendiri. “Kau tak apa-apa, kan?” tanyanya mengulang. Asha menggeleng, wajahnya kucel dan lusuh karena air mata. Anak laki-laki itu diam memandangi Asha yang sibuk membenarkan letak kerudung merah jambunya. Ada keinginan mendesak untuk memberitahu jika kain cantik itu masih kelihatan bengkok, namun melihat si gadis yang sibuk menepuk-nepuk pasir di sekitaran rok warna senadanya, membuat dia memilih bungkam. Lebih tertarik mengevakuasi bangkai gereja dari comberan. Tangannya berjibaku di seputar tumpukan sampah, akhirnya dapat juga apa yang dicarinya. “Burungnya sudah mati, mau dikuburkan?” Asha melongo. “Mengapa kau tahu di sana ada burung gereja?” Hening sebentar, si anak laki-laki malah sibuk menggaruk jidat. “Um—aku lihat dari sana,” dia menunjuk rumah di belakang tanaman bonsai, Asha menunggu bingung. “aku adiknya Bang Saga, anak laki-laki yang mendorongmu tadi.” Sepasang bola mata itu menunjukkan permintaan maaf. “Percayalah, aku yakin Bang Saga tidak bermaksud jahat, hanya saja—” suaranya sendu, kehilangan diksi untuk mengutarakan. “Maaf. Aku mewakilinya untuk meminta maaf.” Asha diam, lalu mengangguk tak lama setelahnya, ia luluh akan permohonan maaf yang tulus itu. Di atas telapak tangan anak laki-laki itu ada segumpal lumpur bercampur dengan si gereja kecil yang tergolek. Asha menatap sedih. Burung yang disapanya beberapa saat lalu kini telah tiada. Betapa memang tidak terduganya umur makhluk hidup. Mereka lantas membuat pemakaman sederhana untuk si gereja, menepuk-nepuk kuburannya agar tak digali orang. Semoga Allah mempertemukan si gereja dengan anak-anak baik di surga sana, doa Asha dalam hati. Asha berbalik dan mengeluh keras. Sepasang roda kecil yang menghiasi ban belakang sepeda milik kakaknya patah, Arka bakal marah besar padanya. Merasa kesal sendiri, ia kembali duduk di atas tanah dan mulai menangis terisak-isak. Lama ia dibiarkan menangis sendirian. “Kenapa cuma liat aja? Ngga niat bantu lagi?” tegur Asha, impulsif galak. Ia mendongak, dan dihadiahi satu ekspresi datar paling aneh di dunia. “kau bisa bawa sepedaku ke bengkel, atau gimana kek. Kalau aku dimarahi Masku gimana?!” Alih-alih melaksanakan omelan Asha, anak lelaki itu malah merogoh sesuatu di saku celana, menyerahkannya tepat di depan hidung merah Asha. “Untuk apa itu?” sapu tangan gambar beruang itu ditatap Asha bingung, toh ia sudah berhenti menangis. “Lap ingusmu, tuh. Jorok banget sih.” Pipi tembam Asha merona, ia malu sekali dikatai seperti itu. Ough! Kenapa anak-anak baru yang ditemuinya menyebalkan semua? Parahnya, mereka bersaudara! “Tidak perlu. Simpan saja kalau niatmu mau mengatai orang.” Asha tak tahu kenapa ia marah. Mungkin karena ucapan anak itu terlalu jujur? Sambil cemberut, Asha meraih sepedanya. Misah-misuh. Dan setelah agak jauh meninggalkan si anak laki-laki, ia menyeruput ingus yang hampir nongol dari lubang hidungnya. Oh, ternyata Asha memang butuh sapu tangan itu. Heran, kecil-kecil kok sudah gengsian. Sementara anak laki-laki itu memandang punggung kecil Asha yang menjauh sambil mendorong sepeda. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya menyaksikan gadis kecil berkerudung itu berjalan pincang. Bukan karena salah satu kakinya terluka, namun karena gadis itu hanya memakai sebelah sandalnya. Lalu, tangannya terulur mengambil sandal yang tergeletak di tanah. Dia bakal menyimpannya, siapa tahu esok hari bertemu Cinderella kecil itu lagi. Yang ketika marah bikin gemas maksimal karena gigi depannya ompong satu. “Namaku Saka, siapa namamu?” Dia menggumam lirih, lantas mengulas satu senyum tipis yang meneduhkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD