01. Murid Baru Dan Awal Drama

1391 Words
Chesa menghembuskan nafas, berharap hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kakinya melangkah. Semua pasang mata tak lepas memperhatikannya. Dia menuju ke kelas. Sepasang mata terlihat menatap tajam di kala Chesa memasuki kelas. Chesa menunduk dan pura-pura tidak melihat mereka. Ia bahkan mengeluarkan buku dari tas dan mulai membacanya. Tiba-tiba seseorang menggebrak meja Chesa. Seisi kelas mendadak diam. Chesa tersentak, namun ia sama sekali tidak berani mendongak. "Sayang, yuk ikut kita. Gue mau main sama lo, nih," ajak seorang Gadis, sebut saja namanya Hana Maheswari. Dia anak pemilik sekolah SMA Dirgantara, anak dari seorang Rizal Gian Maheswari--seorang pengusaha sukses yang sudah membuka cabang di mana-mana. Hidupnya bisa dibilang sempurna. Apa yang dia inginkan, tinggal membeli dan tak perlu bersusah payah untuk mendapatkan. Karena dimanja, sikapnya menjadi semena-mena. Apalagi saat berhadapan dengan orang yang kastanya lebih rendah darinya. Hana mengelus pelan helai rambut hitam Chesa. Yang dibelai gemetar ketakutan. "Jangan takut sayang, kita enggak bakal nyakitin lo, kok. Iya enggak, Kei?" Hana menatap teman yang ada di sampingnya, Keisha. Chesa menggeleng, pertanda tak mau karena dia tahu apa arti kata main sebenarnya. "Kok nolak, sih?!" geram Hana. "Mau di bawa cara halus atau di seret secara paksa?" tanya Keisha dengan logatnya. Tak mau tangannya berdarah karena cakaran, Chesa dengan pasrah bangkit dari tempat duduknya. "Nah, gitu dong." Hana menggandeng tangan Chesa dengan erat dan pergi ke suatu tempat. Mata semua murid memperhatikan mereka ketika Mereka melintas. "Kasihan gue sama dia" "Sampai kapan ya, ada orang yang berani nolongin dia?" "lo aja sana," "Ishh... enggak lah. Gue enggak mau ngerusak kehidupan sekolah gue yang tenang." Begitulah gosip dan bisikan demi bisikan yang dilontarkan oleh murid-murid lain. Ya, Mereka hanya bisa mengatakan 'kasihan' tanpa bersedia menolong. Chesa menahan agar air matanya tidak keluar, tangan satunya meremas kuat roknya sendiri. Hana dan Keisha membawa Chesa ke atap sekolah di mana tempat itu sama sekali tidak pernah dijamah oleh satu muridpun. Hana melepaskan genggamannya dengan kasar sampai-sampai Chesa tersungkur. Lututnya menggesek lantai kasar itu hingga mengeluarkan cairan merah. "Kita mau apain dia, ya?" Keisha mengelus dagu, tampak berpikir. Hana berjongkok, senyum mengerikan terukir di bibirnya. "Kita bikin rambut dia biar lebih hidup. Bosen gue liat warnanya hitam mulu." "Mau diwarnain? Gue nggak bawa pewarna rambutnya ke sini, Han." "Ngapain pakai pewarna rambut. Enggak usah yang pro. Yang free ada kok," netra cokelat Hana mencari-cari sebuah benda hingga akhirnya, dia menemukan sebuah ember berisi cat yang masih tersisa di depan gudang. Hana mengambil ember itu, Chesa menggeleng-gelengkan kepala. Tubuhnya terus mundur. Jika seragamnya terkena cat, maka Ibunya akan sangat susah untuk membersihkannya dan juga dia akan kena marah. Jelas Chesa tidak mau hal itu terjadi. "Kei! Pegang dia." "Enggak! Lepasin! Jangan, Han! Aku--" Ucapannya terhenti ketika cairan hijau pekat itu mengguyur seluruh rambutnya. Mata Chesa terpejam. Kepalanya tertunduk. Air matanya menitik. Kelopak mata Keisha melebar. Dua detik kemudian, tawa Keduanya merebak dan itu sukses membuat Chesa merasa benar-benar terintimidasi. "Wah... iya, loh. Rambutnya jadi lebih hidup." ujar Keisha dengan nada meremehkan. "Berhasilkan ide gue," jawab Hana bangga. Dia berjongkok, mencengkram dagu Chesa dan mendongakkan paksa. "Ck ck ck. Kok nangis, sih," Hana menggeleng-geleng kepala, bibirnya melengkung karena dibuat-buat. "Kenapa? Sedih? Apa kurang? Sayangnya, udah abis, nih, catnya. Besok gue beli satu ember yang besar biar tubuh Lo juga berwarna. Ini akibatnya kalau Lo berani sekolah di sini. Berkali-kali gue bilang, pergi dari sekolah Bokap gue! Lo malah keras kepala!" Hana menghempaskan dagu Chesa hingga membuat lawan bicaranya itu tertoleh ke kiri. "oke, kalau Lo tetap enggak mau, jangan harap Lo sekolah dengan tenang di sini! Cabut, Kei. Lama-lama muntah gue liat mukanya dia!" Setelah tubuh Hana dan Keisha tidak kelihatan lagi, Chesa berdiri. Aroma cat menguar di hidung. Dia menahan nafas, berusaha untuk tidak menghirup, tetapi hal itu justru membuatnya sesak. Suara riuh terdengar dari gudang bekas yang terletak tidak begitu jauh darinya. Mata Chesa menyipit, berusaha memerhatikan lebih jelas. Kaki jenjangnya melangkah, tetapi terhenti kala Anggi, kakak kelasnya keluar dari sana disusul Gio, teman seangkatannya. Chesa membalikkan badan. Berlagak tidak melihat Mereka lantaran dia tahu apa yang Mereka lakukan di gudang itu. Cuping hidung Chesa bergerak saat asap rokok mulai tercium. Oh, tidak! Jangan sampai Cowok itu mendekatinya. Belum sempat menjauh, pundaknya dipegang. Chesa terkesiap. Detak jantungnya meningkat lebih cepat. "Tunggu di sini. Gue ambil air," **** "Ganteng! boleh minta nomor telfonnya enggak?" "Mimpi apa gue semalem? kedatengan dua cogan dari sekolah!" "Hushh... jangan dekat-dekat! itu pacar gue," "Eh, Rifan Lo ke manain?" "Ssstt... diam. Mumpung dia belum berangkat," "Gue laporin nanti kayaknya seru nih," "Mulut Lo ember, ya!" "Oh my God! Oh my God! Matanya tadi berkedip ke gue, Gi! Tadi kedip!" "Ya elah segitu doang kok langsung--Ya ampun, gantengnya." Mata Devian terus mengedip kepada setiap perempuan yang memujinya. Mendengar respons riuh dari para murid Cewek, Devian hanya membalas senyum. Lagian perempuan mana, sih, yang tidak meleleh jika ada lelaki tampan mengedipkan mata ke arah Mereka. Lain dengan Cowok di belakang Devian. Wajahnya datar. Sudut bibirnya itu tak terangkat. Boro-boro tersenyum, tertawa saja jarang. Dia bernama Raka, Lelaki yang sering dibilang gay karena tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun. Raka membiarkan. Biarlah orang berasumsi sesukanya sebab nanti ada hari di mana Raka membuktikan kalau dirinya juga tertarik pada seorang perempuan. "Insap woy! Enggak baik mainin perasan Mereka." tegur Raka yang sedari merasa risih ketika Devian banyak gaya di hadapan murid Cewek. Dia tahu betul Devian itu tipe makhluk seperti apa. Devian mendecak. "Lo iri karena gue jago memikat perempuan, kan? Bilang aja," Langkah Raka terhenti dan menatap tajam sahabatnya. Devian perlahan menoleh, gigi-gigi putihnya tampak berderet. "Eh, itu ruang guru nya." Devian mengalihkan topik pembicaraan dan langsung melesat ke dalam ruangan tersebut. Raka diam, mematung karena dia sudah tahu ruangan tersebut adalah ruang kelas 12 MIPA 1. Sudah kelihatan dari benda yang digantung di atas kelas. Saat Devian masuk, semua murid Cewek melongo, namun ada juga yang sumringah sekaligus terpesona pada wajah tampan Devian. Dengan rasa malu yang sudah sampai di ujung kepala, Devian nyengir dan melangkah keluar tapi tiba-tiba... Grepp! Sebuah tangan memegang erat lengan Devian yang lumayan berotot. Para murid Cewek yang ada di kelas itupun mengerumuni Devian. "Minta nomor WA dong. Boleh enggak?" pinta seorang Gadis berambut bob dengan mata bening yang berbinar. "Boleh lah, tapi ada syaratnya." kata Devian. Ini adalah waktunya mengambil kesempatan dalam ketakjuban. "Apa?" mata Gadis itu berbinar. "Anterin gue ke ruang guru," balas Devian. "Gue aja, ya. Yang nganterin lo. Si Rhea, mah, kadang suka mengulur waktu." tawar murid lain. "Enggak! gue aja. Orang gue yang duluan nanyain dia." "Pokoknya gue yang nganterin!" "Gue!" "Gue!" "Gue!" Devian memijat pelan keningnya, ternyata menjadi seorang yang tampan memiliki hidup yang tak semudah membalikkan telapak kaki. "STOP!" bentak Devian. Para perempuan pun mengatupkan bibir. "Gue, ya. Please," Gadis berambut bob tersebut menyatukan tangannya. "Gue pilih...." Devian menggantungkan kalimat hingga akhirnya, ia menggandeng tangan Gadis berambut bob. Alangkah terkejutnya saat keluar, dia tidak melihat Raka. ***** Raka berjalan, menatap setiap sudut atas ruangan, berharap menemukan tulisan 'Kelas 11 MIPA 2', tapi tiba-tiba fokusnya terbuyar kala melihat seorang Gadis dengan rambut basah kuyup dan menggunakan kaus olahraga. Mengapa menggunakan kaus itu? Sekolah mana yang menyuruh muridnya menggunakan baju olahraga di hari Senin? Apa mungkin dirinya yang salah liat tanggal? "Sekolah kok pakai seragam seenaknya gitu." "Ibunya enggak mengajari dia buat patuhi tata tertib kali, ya?" "Ya enggak mungkin, lah. Paling Ibunya sibuk menjual diri." Gadis itu terlihat berhenti. Langkah Raka juga ikut terhenti. Emosinya terpancing. Seorang anak pasti akan tidak terima jika ada yang berbicara tidak baik tentang Ibu mereka. "Apa?! Lo mau nampar gue? Mau pukul gue? Ayo, silahkan! Tenang, gue enggak balas kok, tapi perbuatan Lo yang rendahan ini bakal gue laporin ke Hana," Cewek tersebut tampak mundur. Raka heran, memang Hana itu siapa? Apa semacam ketua geng seperti di sekolah SMA lamanya? Salah satu Murid perempuan meraih sapu. Dengan entengnya, dia melempar itu dan tepat mengenai kepala Chesa. Gelak tawa Mereka terdengar. Raka miris mendengarnya. Chesa memejamkan mata. Sabar. Dia harus menahan ini untuk dua tahun ke depan. Ia mencondongkan badan, tangannya terulur meraih sapu tersebut. Berniat untuk mengembalikan ke tempat semula. Tepat ketika itu, kedua netra hitamnya tidak sengaja mendapati seorang Cowok tengah melihatnya juga. Raka tergemap. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia tidak percaya dirinya satu SMA dengan Chesa, teman masa kecilnya yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu. Gadis itu terlihat tinggi dan tentunya ... lebih cantik. "Kamu..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD