Prolog

1237 Words
# Anak lelaki berusia lima tahun itu baru saja naik ke mobil jemputannya. Wajahnya terlihat ceria karena hari ini guru memberinya nilai yang bagus untuk gambarnya bersama sang ibu. Ia bahkan mendapat hadiah tiga buah permen lollipop rasa strawberry dari gurunya. Ingin rasanya ia cepat-cepat sampai di rumah dan menunjukkan hal itu pada ibunya. Kalau nilai-nilainya bagus, maka ibunya pasti bangga kepadanya. Itulah yang dikatakan gurunya tadi di sekolah. Ia yakin, ibunya sayang kepadanya. Kata tantenya, ibunya sayang kepadanya, hanya saja ibunya tidak bisa menunjukkannya. Ayahnya juga pernah berkata, kalau ibunya tidak sayang kepadanya, tidak mungkin ia bisa terlahir dengan sehat dan kuat seperti sekarang. Ia melirik ke luar jendela dengan senyum lebar yang menghias wajahnya. “Pak Yadi….masih lama sampainya?” Tanya Gi tanpa berpaling dari jendela. “Sebentar lagi sampai Tuan kecil.” Jawab Pak Yadi, sopirnya. Pertanyaan tersebut sudah tiga kali diucapkan oleh anak itu semenjak dirinya masuk ke dalam mobil jemputan, dan setiap kali juga sang sopir akan menjawabnya dengan sabar kalau mereka akan segera sampai. Diam-diam Pak Yadi menatap penuh simpati lewat kaca spion kearah tuan kecilnya yang duduk di kursi belakang. Semua orang yang bekerja di keluarga ini juga tahu kalau Nyonya mereka tidak memberi perhatian yang cukup pada tuan kecil ini, bahkan mungkin cenderung mengabaikannya. Sedangkan Tuan besar mereka, meski terlihat sangat menyayangi tuan kecil ini, tapi tetap saja ia lebih banyak sibuk di luar dengan bisnis dan pekerjaannya. Mobil itu akhirnya memasuki halaman rumah yang tergolong luas dan kemudian berhenti di dekat taman. Anak itu melesat keluar dari mobil dengan tidak sabar. Lollipop di tangan kirinya dan kertas gambar di tangan kanannya. Namun baru saja ia akan melangkah masuk ke dalam rumah, sesuatu mendadak jatuh tepat di desampingnya, menghantam taman bunga amarylis merah kesayangan ibunya. Ia berhenti melangkah, kaki kecilnya tidak jadi masuk melewati pintu itu. Ia mundur dan menengok kesamping, kearah taman. Wajahnya mendadak terlihat shock mendapati pemandangan yang tidak hanya menghancurkan hatinya tapi juga dunianya "Ma...Ma....Mama..." Kata itu terucap dari mulutnya kecilnya dengan suara gemetar. Ia tercekat menatap tubuh sang ibu yang terkapar dihadapannya berlumuran darah. Sekujur tubuhnya gemetar hebat akibat shock, perlahan air mata mulai mengalir deras di pipinya. Ia tidak ingin mempercayai apa yang dilihatnya. Pemandangan ini akan tertanam kuat dalam ingatannya. "Mamaaaaa! Mamaaaa!" Pada akhirnya ia berteriak sekeras yang ia bisa. Tubuh kecilnya semakin gemetar. Pak Yadi yang sempat ikut terpana dengan kejadian itu segera berlari meraih tubuh mungil Tuan kecilnya, menariknya menjauh dari sosok ibunya sendiri yang terkapar berlumuran darah dan berusaha menutup matanya. Tapi anak itu berontak sekuat tenaga. "Mamaaaaaa!!! Mamaaa!Maamaaaaaa!!!!!" Teriakkan anak lima tahun itu melengking memenuhi seisi rumah, memanggil semua orang untuk keluar dan ikut terkejut mendapati pemandangan mengerikan itu. Bocah itu terus memanggil ibunya berulang-ulang tanpa henti diantara isak tangisnya dan juga air matanya. Saat ayahnya datang dan dengan panik mencoba menekan kepala ibunya yang berdarah, ia masih tidak bisa berhenti berteriak Ia melihat bagaimana para pelayan yang kebingungan serta sama paniknya dengan dirinya berlarian kesana kemari. Sedangkan dirinya tidak bisa berhenti menangis sambil berusaha berontak dari dekapan Pak Yadi, sopir yang mengantarnya pulang. Ia melihat tubuh Ibunya dibawa pergi, tapi ia tetap tidak bisa mengalihkan tatapannya pada taman amarylis merah yang kini dihiasi darah Ibunya. “Tuan kecil ….jangan menangis…jangan menangis.” Pak Yadi perlahan melepas dekapannya. Tapi anak itu tidak berhenti gemetar, suara tangisannya semakin parau. Seseorang merengkuh tubuh mungilnya kembali, memeluknya erat. "Jangan takut.....jangan takut...ibumu tidak apa-apa. Ibumu tidak apa-apa. Nenek ada disini, jangan takut." Ia bisa mendengar suara-suara itu, mereka yang berusaha menghiburnya dan meyakinkan kalau ibunya baik-baik saja. Tapi, bukan mereka yang melihatnya. Mereka tidak melihat bagaimana ibunya ada disana, di taman itu. Semakin lama, suara itu terdengar sangat jauh, seakan berada bermil-mil jauhnya dan hanya gemanya saja yang berhasil memasuki pendengarannya. Anak itu masih menangis dan berteriak sangat keras di dalam hatinya, tapi entah bagaimana suaranya tertahan di tenggorokkannya yang tidak mampu memproses bunyi seperti yang seharusnya. Tubuhnya menggigil kedinginan meski banyak pelukan diberikan untuknya. Semua pelukkan itu tidak akan mampu mengganti rasa dingin yang bergelung jauh di dalam hatinya. Hari itu adalah hari dimana bunga-bunga amarylis di taman itu mekar dengan sempurna. Bunga yang berwarna sama dengan darah Ibunya. Bunga kesayangan Ibunya. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi berbicara, bahkan bersuara. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat anak laki-laki itu bersuara, bahkan ayahnya sekalipun. Setiap hari, begitu ia membuka mata, ia akan berdiri menatap bunga-bunga itu berjam-jam lamanya. Ia akan histeris ketika tidak menemukan bunga-bunga itu di taman karena ayahnya menyingkirkannya ketika kondisinya terlihat semakin mengkhawatirkan. Pada akhirnya bunga-bunga itu dikembalikan ke taman karena kondisi sang anak yang semakin lemah dan menolak untuk makan. Di setiap malam, ia akan bermimpi buruk lagi dan lagi hingga napasnya sesak dan seorang penjaga harus terus berada di sampingnya untuk menemani dan membantunya ketika napasnya kembali sesak. Anak itu percaya Ibunya akan kembali kalau bunga-bunga itu ada disana. Ia begitu merindukan ibunya meski dalam setiap mimpinya, dia harus terus menerus melihat bagaimana tubuh Ibunya terbaring berlumuran darah diantara bunga-bunga amarylis yang mekar. Mata Ibunya yang terpejam, bibir yang membiru, jemarinya yang lentik, tenggelam diantara bunga-bunga yang berwarna merah. Apakah ini terjadi karena Ibunya tidak menginginkan dirinya? Sebegitu bencikah Ibunya pada dirinya sampai Ibunya ingin mati dengan cara seperti itu? Pikiran kecilnya dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang terlalu berat untuk ditanggung oleh mental seorang anak berusia lima tahun. Hari demi hari berlalu tanpa Ibunya dan harapannya yang tetap sama pada bunga-bunga itu. Ayahnya berusaha menghiburnya, neneknya berusaha menghiburnya, bahkan bibinya membawakan banyak mainan untuk dirinya, tapi bukan itu yang ia inginkan. Mengapa hanya Ibunya yang tidak datang untuk melihatnya? Ia tidak ingin semua orang kecuali Ayah dan Ibunya. Ia tidak ingin semua mainan itu. Yang ia inginkan adalah ibunya. Mengapa, Ibunya tidak ingin bermain dengan dirinya? “Pertemukan dia dengan ibu kandungnya. Anakmu membutuhkannya,” ucap dokter. Setelah hari itu, ayahnya menatapnya dengan pandangan sedih. “Gi, kau ingin bertemu dengan Mama-mu?” Tanya Ayahnya. Gi mengangguk cepat. Wajah Ayahnya tampak sendu dan murung, namun Gi tahu, ayahnya memaksakan senyuman itu demi dirinya. "Gi.....Papa tahu ini akan berat untukmu, tapi....bisakah kau berpura-pura untuk tidak mengenal Mama-mu? Berpura-pura, kalau kau.....tidak....memiliki Mama? Maafkan Papa. Hanya dengan cara itu kau bisa bertemu dengan Mama-mu." Anak laki-laki itu—Gi, menatap ayahnya sejenak kemudian mengambil crayonnya dan menulis di atas kertas. Mama? Ayahnya mengangguk. Gi menarik napas perlahan. Ia kembali menulis di atas kertas dengan crayonnya. Iya, aku bisa. Kapan aku akan bertemu Mama? Ayahnya memeluk tubuh Gi erat-erat. “Secepatnya….secepatnya sayang.” Gi menepuk pelan punggung ayahnya dengan kedua tangan mungilnya. Ia ingin sekali menghibur ayahnya dan berkata kalau semua akan baik-baik saja, kalau ia bisa menanggung segalanya meskipun ia masih kecil. Tapi suaranya tidak bisa keluar. Ia tidak bisa bersuara. Pada akhirnya, hanya inilah yang bisa ia lakukan saat mendengar suara isakkan tertahan Ayahnya. Gi sangat sering mendengar Ibunya menangis di ruangan tertutup itu. Terlalu sering. Ibunya hampir selalu menangis sepanjang waktu. Tapi ini pertama kalinya ia melihat Ayahnya yang seorang pria dewasa menangis seperti ini. Kemudian ia terdiam.... Tidak, ini kedua kalinya. Di hari ketika Ibunya bunuh diri dengan melompat dari bubungan atas rumah mereka, ia ingat wajah ayahnya basah oleh air mata. Ayahnya sama takutnya dengan dirinya. Mereka adalah dua orang pria yang sama sama takut kehilangan seorang wanita. Bersambung……
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD