Mencintai Dalam Gelap Part 1

3882 Words
Jam perkuliahan berakhir tepat pukul dua siang, membuat Intan menghela nafas lega. Baru selangkah dosen mata kuliah terakhir mereka melangkah keluar meninggalkan pintu kelas, Intan pun segera mengambil langkah seribu, seperti biasa. Intan berlari dengan kecepatan penuh menyusuri koridor kampus menuju parkiran. Tak mau kalah, Gunawan salah satu teman sekelas Intan pun menyusul juga, ia berlari bak atlit pelari kelas profesional, membuat nafas keduanya terengah-engah ketika tiba di parkiran. "Tan, lo kenapa sih buru-buru banget tiap hari kayak di kejar pesugihan??" Gunawan melap wajahnya yang bersimbah keringat. "Kalo gua di kejar pesugihan, ngapain amat gua lari kayak macan ngejar mangsa? Yang ada juga gua bakalan slow motion, secara kan bakal kaya raya di samperin duit hasil tumbal pesugihan!" Sahut Intan, gadis manis berlesung pipi nan menggemaskan itu terkekeh nyaring. "Emang lo butuh duit banget apa gimana sih? Napa lo nggak jual ginjal aja atau jadi p***k gitu? Kan enak duitnya cepet.." Gunawan memang cowok, tapi entahlah setan apa yang merasukinya hingga bibirnya seakan terus melambai-lambai dan mengeluarkan rentetan kosakata yang seringkali membuat Intan geleng-geleng kepala. "Ya iyalah gua butuh duit, lo kan tau nyokap gua masih sering bolak balik rumah sakit, gua anak yatim, rumah ngontrak, belum bayar air listrik kudu tiap bulan, bayar kuliah, semua gua tanggung sendiri, kan gua nggak kayak elu yang ortunya tajir! Tapi meski kere, gua nggak bakal mau tuh ngejual ginjal gua, ini tuh aset berharga tau! Tanpa ginjal yang lengkap dan sehat, mana bisa sih gua lari secepat kilat tiap hari buat buru-buru ke kerjaan! Trus, apalagi harus jadi p***k, ogah gua ogaaaah! Keperawanan itu barang mahal, gua bisa nikah ama pengusaha tajir dong kalo masih perawan!" Sahut Intan panjang lebar sembari terkekeh nyaring. Meski menyebalkan, ia tak dapat memungkiri kehadiran Gunawan adalah obat dari kejenuhan rutinitas nya. Gunawan yang lucu dengan gaya khasnya beserta ucapannya yang ceplas ceplos itu seringkali menghadirkan senyum dari derai air mata yang selalu berusaha ia tahan kala menghadapi perjuangan hidupnya. "Iya deh iya, gua doain lo secepetnya ketemu pengusaha tajir biar nggak perlu lari-larian mulu tiap hari, capek gua liatnya, kayak kucing kebelet kawin.." Ucap Gunawan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Lagi-lagi Intan hanya tertawa, lalu bergegas menaiki motor maticnya, memasang helm dan memacu kuda besinya itu dengan kecepatan penuh. Ia menuju salah satu resto cepat saji tempatnya bekerja sepulang kuliah hingga malam hari.. ••• Ayam Oke Banget, itulah resto tempat Intan bekerja, pemiliknya adalah seorang pengusaha muda bernama Piero, pemuda cerdas, baik hati, sopan dan juga tampan rupawan tentu saja. Selain memiliki Ayam Oke Banget, Piero juga memiliki beberapa usaha lainnya, yakni gedung penyewaan lapangan futsal, dan juga beberapa booth Thai Tea dan Burger yang tersebar di mall-mall maupun di teras mini market di kotanya. Dan luar biasanya, semua usaha yang di jalankan Piero selalu ramai dan menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup banyak. Intan sendiri bekerja di Ayam Oke Banget milik Piero sejak pemuda itu baru merintis usahanya ini, benar-benar dari nol. Intan menyaksikan sendiri betapa gigih dan luar biasanya perjuangan Piero membesarkan Ayam Oke Banget, hingga melebarkan bisnisnya pada bidang yang lain, membuat Intan jadi sangat mengagumi atasannya yang menurutnya sangat ulet dan pekerja keras itu. Intan selesai bekerja pukul 12 malam. Ia pun bergegas menuju dapur, mengambil bungkusan berisi ayam goreng renyah ala Ayam Oke Banget beserta nasi nya yang sudah di sisakan oleh encing Leha yang bertugas di bagian dapur. Ah menyenangkan sekali bekerja di sini, selain di gaji, makan pun terjamin sampai di bungkuskan segala untuk sarapan ia dan ibunya besok pagi, batin Intan bahagia dan penuh syukur. Sudah dua tahun sejak bekerja di sini, Intan hampir tak pernah membeli ayam, ia selalu dapat lauk enak yang baginya sangat mahal itu dari kerjaannya. Di rumah, ia jadi tinggal memasak sayur dua ikat lagi saja sebagai teman makan ayam goreng bersama nasi itu untuk dia dan ibunya, dan itu bahkan sangat cukup untuk sarapan pagi mereka, bahkan bisa untuk makan di malam harinya lagi. "Kamu belum pulang Tan?" Sapaan Piero atasan Intan itu membuyarkan lamunan si gadis manis berjilbab biru lembut ini. "Oh iya pak, ini juga udah mau balik kok, tadi ngambil bungkusan makanan yang di sisain encing Leha aja," Jelas Intan sembari melebarkan senyum hormat pada atasannya itu. "Oh gitu.. Ya udah hati-hati aja ntar di jalan, ini ambil deh buat jajan besok di kampus," Ucap Piero seraya mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah dari dompetnya. "Waaah makasih banyak yah paak.. Bapak memang bos terbaik di muka bumi ini! Moga rezeki bapak makin banyak deh.." Ucap Intan tulus, sepasang bola matanya berbinar bahagia saat meraih uang itu dan memasukkannya ke dalam dompet miliknya. "Aamiin.. Pokoknya kalo nanti kamu udah jadi sarjana trus kerja di tempat yang lebih baik trus jadi orang kaya, kamu harus sering-sering makan ayam di sini, ingat itu ya!" Ancaman Piero itu tentu saja berupa candaan, membuat Intan tertawa mendengarnya. "Siap pak, nanti kalo saya udah jadi kaya beneran, saya pasti bakal beli Ayam Oke Banget terus deh, tiap hari!" Ucap Intan bersemangat, semangat yang entah mengapa membuat degupan jantung Piero terasa lebih cepat dari biasanya. "Kalau gitu saya pamit dulu yah pak, assalamu'alaykum.." Intan bergegas melewati tubuh kekar Piero, semerbak parfum pria metropolis itu menyeruak, yah Piero memang teramat sangat menjaga penampilan hingga wangi tubuhnya. "Intan.." Cegah Piero sebelum Intan melangkah lebih jauh. "Iya pak?" Tanya Intan tanpa membalikkan tubuhnya, entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan sapaan atasannya itu, kali ini. "Kenapa sih kamu harus kerja di sini? Maksud saya, kamu itu cantik banget loh Tan, coba sesekali kamu ngaca, kamu bisa loh ikutan casting sinetron dengan muka kamu yang imut menggemaskan itu.. Tapi kenapa kamu milih kerja jadi pelayan di tempat saya? Bahkan saat saya masih baru merintis dulu yang hanya berupa booth super sederhana.." Entah mengapa, pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah ia tanyakan dulu pada Intan keluar lagi dari bibir Piero malam ini. Intan nampak menghembuskan nafasnya sesaat. "Karna saat ini saya fokus ingin menyelesaikan kuliah saya pak, jadi bukan fokus pada karir.. Banyak pekerjaan lain yang mungkin bisa menghasilkan uang lebih cepat dari bekerja sebagai pelayan di resto ayam goreng, tapi jam kerjanya kan belum tentu bisa menyesuaikan dengan jam kuliah saya.. Saya ingin jadi sarjana, itu fokus saya saat ini.." Jelas Intan seraya membalikkan tubuhnya, menatap Piero dengan hangat. Lagi-lagi, itu membuat degupan jantung Piero semakin keras, ia jadi khawatir kalau-kalau karyawannya itu bisa mendengar suara degupannya saking kerasnya. "Memangnya, kamu bener-bener pengen jadi ahli ekonomi banget yah? Sampe segitunya harus nyelesein kuliah dulu? Emm maksud saya, apakah itu sebuah cita-cita yang sangat berarti dalam hidupmu?" Ah Piero, pertanyaan macam apa ini! Terdengar bodoh dan melenceng dari maksud sebenarnya! Batin Piero menyesal. Intan tersenyum kecil, ia menundukkan wajahnya, tatapannya menyusuri lantai, tak berani beradu pandang lagi dengan pemuda tampan di hadapannya ini. "Sebenarnya.. Saya pengen jadi sarjana tuh untuk menyamakan derajat pendidikan saya dengan seseorang pak.. Perekonomian saya juga harus lebih baik ke depannya, agar setidaknya kami punya lebih banyak persamaan, hingga Allah bisa menilai itu menjadi sesuatu yang di identikkan dengan.. Sekufu!" Seru Intan malu-malu. "Sekufu?" Tanya Piero memastikan. Intan mengangguk pelan. "Saya ingin sekufu dengan dia pak, yah semoga saja itu menjadi Pertimbangan Allah untuk mengabulkan doa saya selama ini agar bisa berjodoh dengannya.. Memantaskan diri saya untuk dia, biar nggak malu-maluin gitu pak, hehe.." Deg. Penjelasan Intan barusan seakan mematahkan bagian terdalam dari hati Piero. Rupanya Intan sudah memiliki seseorang di hatinya.. Batin Piero kecewa. Tanpa sadar pria bermata tajam itu memasukkan jemarinya ke dalam saku samping jaketnya, ia meremas kotak berisi cincin berlian yang sudah ia persiapkan sejak enam bulan yang lalu itu dengan perasaan yang campur aduk. Kotak mungil berwarna biru lembut berisi cincin itu bahkan selalu ia bawa kemana saja. Ia memang sengaja mempersiapkannya kalau-kalau hari itu datang, hari dimana ia harus menyatakan perasaannya pada Intan yang selama ini ia pendam dengan apik. Hari yang tepat untuk melamar Intan, meskipun ia tak tau kapan hari dimana keberaniannya itu akan datang, tetap saja ia merasa harus mempersiapkan cincin itu terlebih dulu, dengan sebaik mungkin. Namun begitu mendengar ucapan Intan barusan, ia jadi khawatir Intan akan tau keberadaan cincin ini, ia takut Intan akan mengasihaninya begitu mengetahui kenyataan bahwa ia menyimpan cincin ini untuk karyawan yang berhasil merebut hatinya itu. Ia menjadi sangat malu, menyadari cintanya sudah bertepuk sebelah tangan. "Sudah malam banget pak, saya pamit yah, assalamu'alaykum.." Tanpa menunggu jawaban Piero, Intan bergegas keluar menuju parkiran. Setibanya di parkiran, ia menatap bangunan Ayam Oke Banget dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. "Sungguh menyedihkan jeans murahan ini, seragam kerja yang di cuci dengan deterjen paling murah, jilbab yang cuma punya beberapa lembar, sepatu yang sudah berkali-kali di jahit ke tukang sol sepatu.. Aku sangat menyedihkan bukan? Bagaimana aku bisa menjelaskan, bahwa aku begitu menyukaimu, pak Piero?" Air mata gadis manis berlesung pipi dengan kulit putih s**u itu jatuh perlahan. "Sebenarnya, aku pun bahkan sangat malu mengakui perasaan ini kepada Allah, betapa aku sangat menyukaimu meski dengan kondisi kita yang sangat jauh berbeda.. Tapi meski begitu, aku masih saja terus menyebutmu dalam doaku, sungguh memalukan bukan?" Intan tersenyum sendiri menyadari kebodohannya. "Sebenarnya hal ini begitu mengganggu, tapi aku berjanji, aku akan kembali menemuimu, dan mengungkapkan perasaanku yang sejujurnya, ketika aku berhasil memantaskan diriku.. Aku pasti akan mengakui semuanya.. Bahkan jika seandainya saat itu kamu menolakku pun, itu udah nggak penting kok, bagiku bisa jujur tentang perasaanku sendiri, itu cara terbaik dalam mencintai seseorang.." ••• Intan berjinjit perlahan memasuki ruang tamu kontrakan mungilnya. Ia letakkan sepatunya sepelan mungkin pada rak sepatu, khawatir membangunkan ibunda tercintanya. "Udah pulang Tan?" Dari balik pintu kamar terdengar suara parau ibunya. "Astaghfirullah nyak, belon tidur?" Tanya Intan kaget, tak menyangka ibunya masih bangun, jarum pada jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul satu dinihari. "Baru aja kebangun Tan, nggak tau nih kenapa rasanya enyak gelisah mulu yah?" Ibunya balik bertanya, raut wajahnya yang semakin menua nampak cemas. Intan bergegas menghampiri ibunya yang tengah duduk di pinggiran ranjang. Ia usap lembut wajah wanita tersayangnya itu. "Enyak sakit lagi? Mau Intan pijit?" Tawar Intan sembari jemarinya mulai meremas-remas bahu sang ibu dengan lembut. Ibunya menggeleng lemah. "Intan, kapan mau menikah?" Pertanyaan ibunya yang mendadak itu sontak membuat wajah Intan memerah. "Apaan sih nyak, kok nanyanya begitu.. Enyak kan tau Intan masih fokus nyelesein kuliah, Intan pengen mapan dulu nyak, baru mikir kesana.." "Lulus kuliah sih masih lama Tan, keburu enyak udah nggak ada.." "Duh nyak, jangan ngomong gitu dong, masa nyak tega ninggalin Intan sendiri? Tar kalo Intan mau kawin yang ngurusin seserahan segala macamnya siapa dong kalo enyak udah nggak ada?" "Ya makanya lu buruan nikah Tan, mumpung enyak masih ada.. Nggak usah milih-milih, ada yang mau besanan ama kita aja udah syukur.." "Ya kan enyak tau hati Intan cuma buat pak Piero yang ganteng trus kaya itu loh nyak.. Bosnya Ayam Oke Banget.." "Ah napa sih lu Tan, selera tinggi-tinggi amat.. Lelaki kaya raya yang mau ama perempuan miskin itu cuma ada di sinetron.. Makanya elu jangan kebanyakan nonton sinetron.." "Yee enyak, kapan emang Intan nonton sinetron? Pagi ampe siang aje kuliah, siang ampe malem pan kerja.." "Justru itu enyak jadi khawatir, langit masih gelap matahari belum keliatan lu udah berangkat kerja.. Trus matahari tenggelam, langit item pekat lu baru pulang kerumah.. Ya gimana caranya lu ketemu jodoh lu sedang bayangan lu aja kagak keliatan.. Serius enyak beneran khawatir dah.." Intan tersenyum mendengar ucapan ibunya barusan. "Enyak tenang aje, nggak usah terlalu di fikirin gitu, Intan pasti ketemu jodoh Intan kok, demi enyak.. Doain ye nyak?" ibunya mengangguk perlahan. "Ya udah lu tidur gih sono.. Enyak mau tahajjud dulu, minta jodoh yang terbaik buat Intan, secepatnya.." Intan tersenyum mendengar ucapan ibunya. Perlahan ia memeluk ibunya dengan erat. Tubuh sang ibu terasa semakin kurus sejak stroke ringan itu menimpanya. Syukur sang ibu masih bisa berkomunikasi, hanya saja sebelah tangan dan kakinya sudah tak mampu digerakkan lagi, jadi untuk beraktifitas sehari-hari sang ibu menggunakan kursi roda. Intan ingat sekali saat itu, kala ia menjalani wawancara kerja dengan atasannya langsung, Piero. "Kenapa mau kerja di sini?" Nada bicara Piero kala itu terdengar sangat dingin, kurang bersahabat. "Saya mau beli kursi roda bekas pak, ibu saya baru aja kena stroke.. Jadi saya harus dapat pekerjaan secepatnya, tapi yang nggak mengganggu waktu kuliah saya.." "Yah, di sini saya emang butuh pekerja paruh waktu, dari siang sampe malem, karna pagi sampe siangnya masih saya yang handle.." "Kalau gitu saya pak, saya orang yang bapak cari! Saya bisa bekerja dengan super cepat dan saya akan bekerja dengan sangat rajin! Tolong kasih saya kesempatan yah pak, saya harus beli kursi roda dengan gaji pertama saya.." "Okay, kamu saya terima, dan buktikan perkataanmu hari ini.." Seminggu bekerja, sang atasan memanggil Intan, kemudian menyodorkan selembar amplop. "Ini gaji satu bulan kerja kamu saya kasih di awal, kamu harus beli kursi roda kan? Tapi jangan pernah khianati kepercayaan saya, jangan sampai setelah menerima gaji lebih dulu, eh kamu malah ngilang nggak turun kerja lagi.." "Maa sya Allah, terimakasih pak, terimakasih! Saya nggak akan mengkhianati kepercayaan bapak deh, saya berjanji saya hanya akan resign dari sini jika kuliah saya sudah selesai! Saya akan mendedikasikan diri saya untuk Ayam Oke Banget! Saya akan jadi saksi perjalanan booth bapak yang kemudian berubah menjadi resto ayam cepat saji terbesar di Jakarta!" Seru Intan menggebu-gebu, membuat senyum tipis Piero terkembang. "Lebay banget sih kamu.. Tapi iya deh, saya amin kan, karna saya juga optimis booth ini someday akan jadi resto cepat saji yang punya banyak karyawan.. Bantu saya yah?" Intan mengangguk kuat-kuat. Ah enyak, tunggulah sebentar lagi, Intan pasti akan mengejar pak Piero dan mengajaknya menikah.. Andai nyak tau betapa baik dan santunnya pak Piero, nyak pasti lebih dulu jatuh hati padanya.. Batin Intan, tanpa sadar wajahnya memerah karna telah membayangkan saat-saat pertama ia berkenalan dengan Piero.. ••• "Lo off kerja yah?" Gunawan menghampiri Intan sahabatnya yang tengah sibuk mengerjakan tugas di kantin kampusnya ditemani beberapa pisang goreng. Perlahan Intan mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun dari laptop dihadapannya. "Gua heran deh ama lo Tan, lo tuh kan miskin susah banget yah idup lo, tapi kok muka lo muluuus banget kayak p****t bayi, udah gitu putih bersih lagi, padahal kan nggak mungkin lo sanggup beli skincare kan," Cerocos Gunawan seraya mengamati wajah Intan dengan seksama, membuat gadis di hadapannya itu tertawa lebar. "Lo bisa nggak sih Gun muji dengan bahasa yang enak di dengar gitu? Heran gua," Intan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya abis gua takjub aja gitu, atau jangan-jangan lo make susuk ya Tan? Biar hemat gitu sekali tancep doang beres, nggak keluar uang banyak kan?" Selidik Gunawan, ia menatap Intan dengan lebih seksama. "Ini tuh namanya cakep dari gen nya Gunawan! Jadi nggak perlu di poles-poles lagi, emang begitu adanya bawaan dari lahir ya kudu di syukuri atuh, iya nggak neng geulis?" Tiba-tiba saja Julian, salah satu teman sekelas Intan dan juga Gunawan muncul di antara mereka. "Jiah, buaya darat hadir di mari, ayo kita kabur tsaayy.. Tar kita di cipok atuuut.." Gunawan bergegas berdiri seraya mengibaskan tangannya berlagak mengusir Julian, membuat Intan dan juga Julian tertawa lebar. Bip.. Bip.. Ponsel Intan berbunyi, panggilan masuk dari encing Rohaye tetangga sebelah rumahnya. Sepasang alis Intan mengkerut, tak biasanya encing Rohaye menelponnya, segera saja ia tekan tanda hijau pada layar ponselnya. "Assalamu'alaykum cing?" Ucap Intan lembut. "Intan, emak lu jatuh Tan, berdarah.. Udah dibawa ni ama pak RT ke Rumah Sakit Harapan, lu langsung kesono ye.." Penjelasan encing Rohaye barusan membuat tubuh Intan seakan hendak ambruk seketika, beruntung Julian dan Gunawan sigap menangkap tubuh gadis itu. "Gun, Jul, temenin gua ke Rumah Sakit ya.." Pinta Intan lemas. ••• Intan berjalan gontai menuju rumah kontrakan yang ia tempati selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya. Disini ia habiskan masa kecilnya, saat ayahnya masih hidup. Intan kecil tumbuh dengan bahagia meskipun dalam keluarga sederhana. Ayah nya Betawi asli, sedang ibunya berdarah Dayak dan Kutai, Kalimantan, paduan yang cukup apik membuat Intan lahir dan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Ketika duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, ayahnya meninggal karna serangan jantung, dan kini, ibunya pun menyusul disaat usia Intan baru memasuki dua puluh tahun, karna sakit stroke yang sudah di derita ibunya tak lama setelah Intan lulus dari SMA, menyebabkan sang ibu terjatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur, dan nyawanya tak dapat di selamatkan lagi. Intan menjatuhkan tubuhnya pada kursi teras, air mata mengalir dengan derasnya tak bisa ia bendung lagi setelah tadi menyaksikan pemakaman ibunya, menyaksikan wanita yang sangat ia sayangi itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya dan tak akan kembali lagi. Perlahan Piero berjalan mendekati gadis yang telah lama terukir di hatinya itu, lalu turut duduk di sampingnya. "Saya sudah kerahkan anak-anak dapur Ayam Oke Banget untuk masak di dapurmu, biasanya kan bakal banyak orang yang datang kalau ada yang meninggal, jadi kamu nggak boleh capek, nggak perlu ngurusin konsumsi, cukup fokus mendoakan ibumu, yah?" Ucap Piero pelan. Hatinya hancur seketika melihat air mata gadis pujaan hatinya itu terus mengalir, ingin rasanya ia memeluk dan menenangkannya meski hanya sesaat.. "Bagaimana saya akan melanjutkan hidup tanpa ibu saya pak? Sekarang saya benar-benar sebatang kara.." Suara Intan bergetar. "Kamu harus tetap hidup, harus bertahan dengan ujian ini dan terus melangkah ke depan, kamu harus bahagia, harus terus berjuang, gapai cita-citamu, dengan begitu kamu nggak akan mengecewakan orangtuamu yang sudah pergi lebih dulu.." Perlahan Intan menghapus air matanya, ia menatap Piero dengan tatapan penuh rasa terimakasih. "Intan.." Seorang lelaki dengan rambut acak-acakan, berwajah tak kalah tampan dari Piero disertai tubuh yang tinggi menjulang berjalan menghampiri Intan dan Piero. "Lo makan dulu ya Tan, dari pagi kan lo cuma makan pisang goreng, gua takut aja sih lo kenapa napa, dari tadi lo nangis mulu.. Kan kasian ibu lo juga pasti nggak rela liat anak kesayangannya menderita gini.." "Makasih Julian, tapi serius gua nggak nafsu makan, sama sekali.." Sahut Intan lemas. "Lo mau ibu lo jadi sedih?" Lanjut lelaki bernama Julian itu, yang tak lain adalah salah satu teman sekelas Intan. Ia menatap Intan cemas. Akhirnya Intan menyerah, ia berjalan lunglai menuju dapur. Namun sebelumnya ia mengucapkan terimakasih pada Piero, yang di balas pria tampan itu dengan anggukan. Piero mengamati Julian dengan seksama. Inikah pria yang di cintai Intan dengan begitu besar hingga ia sangat ingin menyamakan tingkat pendidikannya dengannya? Agar mereka dapat bersanding dengan kondisi yang sekufu? Ah, hati Piero terasa begitu sakit. Ia pun memilih bergegas pergi, tak ingin merasakan sakit yang lebih lama jika terus disini. "Bro, tolong jaga Intan.." Hanya itu yang mampu terucap dari bibir Piero, iapun melangkah pergi dengan hati yang sakit dan kecewa. Sementara Julian, hanya menatap tak mengerti ke arahnya. "Apaan sih tu orang, nyuruh lo ngejaga Intan segala, emang dia fikir lo cowoknya.." Gunawan tiba-tiba muncul bersama rombongan lain yang mengantar ibu Intan ke pemakaman. Julian mengangkat bahunya. "Mungkin ini tanda-tanda kalo gua bakal berjodoh ama Intan, ya nggak sih Gun?" Kelakarnya. "Nggak bisa laah.. Kan lo cowoknya gua.." Gunawan mengedipkan sebelah matanya, membuat Julian bergidik ngeri. "Najis. Lo liat dong bencong, emaknya Intan tuh abis di kubur, tobat-tobat napa? Inget mati dong lu," Ucap Julian sambil berlari menjauh dari Gunawan. ••• Pukul delapan malam, rumah Intan sudah mulai sepi. Para pelayat beserta bapak-bapak pengajian yang mengadakan tahlilan di rumahnya selepas maghrib tadi sudah beranjak ke rumah mereka masing-masing. Tersisa Gunawan, Julian, encing Rohaye, dan dua orang karyawan Ayam Oke Banget yakni encing Leha dan Tiara. "Lu yang sabar ye Tan, emang udah takdirnye kudu begini.. Lu musti kuat.." Encing Rohaye meremas bahu Intan. "Iye cing, in syaa Allah.. Makasih banyak bantuannye ye cing.." Wanita paruh baya sepantaran ibunya itu mengangguk, lalu beranjak pergi menuju rumahnya yang hanya berseblahan saja dengan rumah yang di tempati Intan. "Encing Leha juga balik ye Tan, kesian anak-anak di rumah pada nungguin.. Yang sabar ye, yang ikhlas.." Encing Leha memeluk Intan erat. Tak terasa air mata Intan menetes lagi. "Kalo gua nggak balik loh Tan, pak bos ngasih gua izin buat nginap di sini, nemenin lu sampe lu siap masuk kerja lagi," Ucap Tiara sembari tersenyum. "Beneran Tir? Wah baek bener yah bos kite," Seru encing Leha seraya melepaskan pelukannya dari Intan. "Makasih banyak cing Leha.. Tiara.." Perlahan Intan menghapus air matanya. Encing Leha pun berlalu meninggalkan rumah Intan. Segera saja Tiara membopong tubuh Intan untuk duduk di sofa usang ruang tamu kecil kontrakan Intan itu. Ia mengelus pelan bahu rekan kerjanya itu dengan rasa sayang. "Gun.. Jul.. Makasih banyak yah kalian udah nemenin sejak di rumah sakit tadi, sampe sekarang.. Kalian pulang gih, istirahat.. Pasti capek banget.." Ucap Intan pelan. Perlahan Gunawan dan Julian menganggukkan kepala mereka hampir bersamaan. "Assalamu'alaykum!" Belum sempat teman-teman sekelas Intan itu meninggalkan rumah duka, nampak segerombol lelaki berpenampilan sangar bak algojo mengetuk keras pintu rumah Intan yang terbuka lebar. "Wa'alaykumussalam.." Sahut Intan dan teman-temannya. Perlahan Intan bangkit dari sofa menghampiri gerombolan lelaki berpakaian serba hitam itu. "Kami dengar kabar ibu Sofia meninggal dunia ya?" Tanya salah seorang di antara mereka. "Iya pak, oh bapak mau melayat ya?" Tanya Intan kebingungan, merasa tak mengenal satupun di antara mereka. "Sebenarnya, kami kesini untuk mengingatkan hutang ibu Sofia beserta bunganya kepada ahli warisnya!" Salah seorang di antara gerombolan pria yang berdiri di hadapannya dengan tubuh paling besar menunjukkan beberapa lembar kertas ber materai. Wajah Intan memucat mendengar kata hutang. Perlahan ia meraih lembar demi lembar kertas perjanjian yang berada di hadapannya. Tertera nominal yang sangat fantastis dalam kertas itu, Rp. 150.000.000 dan itu dinyatakan sebagai hutang dari wanita yang bernama Sofia, yang tak lain dan tak bukan adalah mendiang ibunya. "Ma-maaf pak, apa bapak nggak salah orang? Maksud saya, di Jakarta ini begitu banyak wanita bernama Sofia, barangkali itu Sofia yang lain pak, bukan ibu saya.." Keringat dingin membanjiri pelipis Intan. "Apa kamu buta, hah?! Kamu nggak baca nama, tempat tanggal lahir beserta alamat lengkap di kertas ini?! Itu semua sesuai dengan data diri KTP ibu kamu, bahkan copy-an KTP ibu kamu juga ada terlampir disitu, dan lihat tanda tangan di materai ini, itu tanda tangan ibumu kan?!" Bentakan pria itu membuat nyali Intan ciut seketika. "Weiss.. Tenang pak, selow.. Jangan nge gas lah.. Kita masih dalam suasana berduka loh pak, tadi siang ibu Sofia baru aja dimakamkan, eh bapak dateng-dateng udah ributin hutang, empatinya dimana?!" Julian membuka suara, ia maju mendekati Intan, berdiri tegak di hadapan gerombolan pria-pria itu, tak gentar sedikitpun. "Maaf, kami bukannya nggak ber empati atas kematian ibu Sofia, tapi silahkan di buka halaman berikutnya dari perjanjian hutang piutang ini, dan tolong dibaca dulu baik-baik." Salah seorang lagi dari mereka yang sedari tadi berdiri di jejeran belakang membuka suara. Perlahan Intan membuka halaman yang dimaksud pria itu, di ikuti oleh Julian, Gunawan dan juga Tiara, mereka turut membaca isi halaman itu di sebelah Intan. Tertera tulisan, "Jika ibu Sofia selaku pihak yang berhutang kemudian meninggal dunia, maka ahli waris dari ibu Sofia di wajibkan melunasi sisa hutang Rp. 150.000.000 ( Seratus Lima Puluh Juta Rupiah ) SELURUHNYA tanpa boleh dicicil lagi dalam kurun waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak hari kematian ibu Sofia." Deg! Jantung Intan seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Enyak, uang sebanyak ini nyak pinjam untuk apa?? Bukankah kita nggak pernah membeli apapun?? Bahkan untuk makan sehari-hari selalu Intan yang bawa dari kerjaan, paling-paling hanya membeli sayur mentah beberapa ikat untuk dimasak. Bahkan biaya berobat emak selama ini, kursi roda, obat-obatan rutin dan juga vitamin, semuanya uang hasil kerja Intan! Batin Intan berkecamuk. Dan juga, harus segera melunasi semuanya jika enyak meninggal, perjanjian macam apa ini?! Allah, tolong hidupkan enyak sebentar saja, begitu banyak pertanyaan yang harus Intan tanyakan! Batin Intan menangis. BERSAMBUNG

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD