PART 1

4002 Words
Pelita Harapan, salah satu sekolah menengah atas swasta yang terletak di kota Jakarta. Bukan sekolah unggulan, namun cukup banyak orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut. Waktu menunjukan pukul 11 siang, tidak ada kegiatan belajar mengajar karena hari ini sedang berlangsung beberapa pertandingan olahraga. Sebuah pertandingan persahabatan antara SMA Pelita Harapan dengan SMA Pelita Bangsa. Semua siswa tengah menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sedang berkumpul di dalam kelas sekadar bercanda dengan teman-teman sekelas. Ada yang tengah bersorak-sorak di lapangan untuk menonton jalannya pertandingan. Ada pula yang lebih memilih untuk menghabiskan waktu bebasnya dengan membaca buku di Perpustakaan. Seperti yang tengah dilakukan oleh seorang siswa kelas XI IPA 1, bernama Panthana Rivanno. Panthana Rivanno, seorang pemuda yang cukup populer di sekolahnya. Dia memiliki perawakan yang tinggi dan cukup atletis. Kulit yang putih turunan dari ayahnya karena sang ayah merupakan blasteran Indonesia-Thailand. Wajahnya tampan dengan alis yang tebal, hidung mancung, bibir sedikit tebal namun s*****l serta rahang yang tegas. Iris matanya berwarna kecoklatan dengan rambut hitam legam yang pendek dan tertata rapi. Dia pun cukup pintar namun tetap memiliki beberapa kekurangan salah satunya tidak pandai bergaul, hanya segelintir orang saja yang mau berteman dengannya. Dia pun cuek pada sekitar dan cukup pemalu. Dia tengah duduk manis di sebuah kursi dengan tangannya yang sibuk memegang sebuah buku. Dia membuka buku itu tepat di depan wajahnya sehingga orang lain yang melihat akan berpikir, betapa seriusnya dia membaca. Namun, siapa sangka sebenarnya bukan tulisan di dalam buku itu yang sedang diperhatikannya, melainkan seorang siswi yang duduk berseberangan dengannya. Siswi bernama Inggrid Amanda yang tidak lain merupakan teman sekelas Panthana. Inggrid Amanda, gadis cantik dan manis dengan rambut sebahu yang lurus dan berwarna hitam berkilauan. Dia gadis yang ramah dan cukup periang, pandai bergaul sehingga cukup banyak teman yang dimilikinya. Banyak pemuda yang pernah menyatakan cinta padanya, namun hingga kini memilih untuk tidak berpacaran dulu dengan siapa pun, dia ingin fokus pada sekolahnya. Dia pun siswi yang pintar di kelas, selalu masuk peringkat tiga besar. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP, tapi mereka tidak memiliki hubungan yang dekat meski selama 3 tahun di SMP berada dalam satu kelas. Diam-diam Panthana menyukai Inggrid, namun tak pernah sekali pun berani menyatakan perasaannya. Dia memendam perasaan suka itu dan memilih memperhatikan Inggrid dari kejauhan, seperti yang dilakukannya saat ini. Cukup banyak pula gadis yang menyukainya, sayangnya hati Panthana sudah berlabuh pada Inggrid seorang sehingga dia selalu mengabaikan setiap gadis yang mendekatinya.  “Thana, lo lagi ngapain di sini?” Panthana terenyak ketika kegiatan mengintipnya harus terganggu karena suara seseorang yang sudah tidak asing di telinga. Danu, teman sekelasnya kini tengah mengernyit menatap ke arahnya, “Lo tahu kan sebentar lagi pertandingannya dimulai? Anak-anak pada pusing nyariin, ternyata lo malah baca buku di sini. Lagian tumben banget sih baca buku, biasanya juga lo paling anti baca buku,” tambah Danu, membuat Panthana mau tidak mau berdiri dari duduknya. “Berisik tahu, lo tahu kan ini di perpustakaan?” sahut Panthana, menyadari semua orang yang sedang membaca kini menatap ke arah mereka dengan tatapan yang menyiratkan sangat terganggu oleh suara berisik Danu. “Makanya cepetan, ntar kita telat nih. Serius pertandingannya bentar lagi dimulai.” Danu kembali mengingatkan. Panthana menggeram kesal, tapi dia tetap menaruh kembali buku yang dibacanya ke rak buku. Mereka pun melenggang pergi menuju lapangan, sebentar lagi harus mengikuti pertandingan basket. Alasan Panthana cukup populer karena merupakan kapten tim basket di sekolahnya. Dia cukup handal bermain basket. Dia bersahabat dekat dengan keempat rekan setimnya yaitu Danu, Anjar, Malik dan Reno. Mungkin karena persahabatan ini pula yang membuat Panthana betah mengikuti ekskul basket. Panthana mengganti seragam sekolahnya dengan seragam olahraga sekolah mereka. Kini dia dan keempat rekan timnya telah berdiri di tengah lapangan, beserta lima siswa dari SMA Pelita Bangsa yang akan menjadi lawan mereka.   Suara pluit berbunyi, pertanda pertandingan dimulai. Panthana dan keempat rekannya cukup gesit berlari seraya mendrible bola. Mereka tampak kompak, membuat tim lawan cukup kerepotan menghadapi mereka. Ketika pertandingan sudah berjalan selama 35 menit, skor tim Panthana sejauh ini cukup jauh memimpin. Suara teriakan dari penonton terdengar bersahut-sahutan setiap kali tim Panthana berhasil memasukan bola ke keranjang. Nama Panthana yang paling sering dielu-elukan oleh para penonton terutama para gadis. Awalnya, Panthana begitu fokus pada pertandingan ini. Namun, fokusnya teralihkan ketika tanpa sengaja ekor matanya menatap ke arah Inggrid yang sedang menonton pertandingan. Tentu dia senang karena Inggrid menonton pertandingannya, tapi yang merusak fokusnya adalah sosok seorang pemuda yang berdiri di samping Inggrid. Pemuda itu diketahui Panthana bernama Roni, kapten tim volly di sekolahnya. Roni terlihat mencoba mendekati Inggrid, mengajaknya mengobrol dan senyuman yang tersungging di bibir tipis Inggrid sukses membuat emosi Panthana muncul ke permukaan. “Thana, awaaas!!” Panthana terkesiap ketika mendengar teriakan Reno, namun gerakannya lambat dan tak sanggup menghindar ketika bola meluncur ke arahnya dan tepat mendarat di wajahnya. “Thana, lo gak apa-apa?” Keempat rekan satu timnya kini tengah mengerumuni karena terlalu kencangnya laju bola tadi membuat Panthana tersungkur di lapangan. Panthana pun segera bangun dan memegangi wajahnya yang memerah akibat tertimpa bola basket, “Kepala gue pusing nih, gue gak bisa ngelanjutin pertandingan. Sori ya, guys,” ujarnya. Lalu tanpa merasa bersalah, dia melenggang pergi meninggalkan lapangan. Sebenarnya saat ini dia sudah kehilangan minat bermain basket, hal itu disebabkan karena pemandangan yang dilihatnya tadi. Dia benci melihat Inggrid tersenyum untuk pemuda lain.   Panthana ingin mendinginkan kepalanya yang terasa mengepul. Dia berjalan mantap ke arah keran yang terletak di belakang gedung olahraga. Dia posisikan kepalanya tepat di bawah keran dan tanpa ragu menyalakan keran itu. Air dingin pun mengguyur kepalanya, namun belum cukup ampuh untuk menghilangkan kekesalan di hatinya. “Thana, lo baik-baik aja, kan?” Panthana menjauhkan kepala dari keran dan menatap intens ke arah pemilik suara yang tiba-tiba menyapanya. Dian, teman sekelas Panthana sekaligus sahabat karib Inggridlah yang saat ini sedang berdiri di depannya. “Tadi gue lihat lo terkena bola, ya? Gue khawatir sama lo makanya ke sini,” tambah Dian, merasa Panthana hanya diam dan tak menyahuti pertanyaannya tadi. “Gue gak apa-apa kok. Makasih udah khawatirin gue,” sahut Panthana, seraya mengusap rambutnya yang basah kuyup. “Ini, pake aja saputangan gue.” Dian berbaik hati memberikan saputangannya pada Panthana. Awalnya, Panthana hanya menatap kosong pada saputangan itu, tapi akhirnya dia menerima dan menggunakannya untuk menyeka air yang mengalir di wajahnya. “Makasih ya.” Dian mengangguk disertai senyuman manis. Suasana hening di antara mereka, Panthana masih sibuk menyeka air yang mengalir di wajahnya dengan saputangan. Sedangkan Dian terlihat sangat gugup, beberapa kali dia melirik ke arah Panthana dan meneguk saliva dengan susah payah, seolah dia tengah memantapkan hati untuk mengutarakan sesuatu pada Panthana. “Hm, Thana. Ada yang mau gue omongin,” ucapnya, memutuskan untuk mengutarakan entah apa pun yang saat ini membebani pikirannya. “Ya udah, ngomong aja,” sahut Panthana, acuh tak acuh tanpa menatap ke arah Dian. Ketika tatapannya tertuju pada Dian, Panthana terenyak karena melihat Inggrid tengah berdiri tidak jauh dari Dian. Inggrid hendak menghampiri, namun dia urungkan ketika mendengar pengakuan Dian pada Panthana. “Thana, s-sebenarnya gue suka sama lo. Udah lama sejak kita masih kelas X. Lo lagi gak punya cewek, kan? Lo mau gak jadi cowok gue?” Inggrid dan Panthana terbelalak bersamaan mendengar pengakuan Dian. Awalnya, tentu saja Panthana berniat untuk menolaknya, dia tidak memiliki perasaan apa pun pada Dian. Tapi, ketika dia mengingat Dian sahabat karib Inggrid bahkan mereka duduk satu bangku, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya. Selama ini Panthana tidak pernah memiliki kesempatan untuk mendekati Inggrid, dia pun terlalu malu untuk mengajak gadis yang disukainya itu mengobrol. Sebuah ide brilian didapatkannya, dia pikir inilah kesempatan untuk mendekati Inggrid. Dia akan memanfaatkan kedekatan Dian dengan Inggrid, pikirnya jika berpacaran dengan Dian yang sering menghabiskan waktu bersama Inggrid, maka dia pun bisa bergabung dengan mereka. Sehingga lama kelamaan, dia bisa dekat dengan Inggrid. “I-Iya, boleh aja,” jawab Panthana, tak yakin. Seketika membuat Dian tersenyum semringah. Gadis itu hendak memeluk Panthana namun dengan sigap Panthana mencegahnya. “Kenapa? Gue kan cuma pengen meluk lo. Lagian kita udah jadian kan sekarang?” “Baju gue basah, keringetan,” sahut Panthana, memberi alasan. “Tapi bener ya kita jadian sekarang?” tanya Dian, memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Iya, kita jadian,” sahut Panthana, sambil mengulas senyum teramat tipis. “Dian, lo udah selesai? Pertandingan volly sebentar lagi dimulai.” Dian dan Panthana menatap Inggrid bersamaan. Dian membekap mulut seolah terkejut melihat Inggrid, dia tidak menyadari kehadiran sahabatnya itu. “Oh iya, gue ke sana sekarang,” timpal Dian. Kemudian memalingkan wajah dan kembali menatap intens wajah Panthana yang sukses membuat jantungnya berdebar tak karuan, “Lo mau nonton volly juga gak? Nonton bareng kita yuk!” ajaknya dan tentu saja hal itu tak ditolak oleh Panthana. Menurutnya inilah kesempatan emas untuk bisa berdekatan dengan Inggrid. Mereka bertiga pun melangkah mantap menuju gedung olahraga karena pertandingan volly akan dilangsungkan di lapangan indoor.   Selama pertandingan berlangsung, pertandingan antara tim volly putra SMA Pelita Harapan dan SMA Pelita Bangsa, hati Panthana memanas. Pasalnya, sejak pertandingan dimulai tak hentinya Inggrid berteriak menyemangati Roni, membuat kejadian mengesalkan saat pertandingan basket tadi terngiang di kepala Panthana. Seingat Panthana tadi ketika sedang bertanding basket, Inggrid tidak berteriak memberinya semangat. Tapi kini dia begitu antusias mendukung Roni, sukses membuat hati Panthana kini terbakar api cemburu. Tanpa kata dia melenggang pergi, mengabaikan panggilan Dian yang kini telah resmi menjadi pacarnya. Panthana pergi ke toilet pria yang ada di dalam gedung olahraga. Dia ingin menenangkan hati sekaligus melakukan aktivitas pribadinya yaitu buang air kecil. Dia sudah berdiri di kloset dan perlahan menurunkan celana olahraga, namun seketika diurungkan ketika telinganya menangkap suara tangisan seorang wanita. Dia menggulirkan bola mata menatap ke sekeliling ruangan, tapi tak melihat sosok siapa pun. Sebenarnya, saat ini Panthana yakin sedang sendirian di dalam toilet. Berpikir hanya berhalusinasi, dia pun kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Namun, suara tangisan itu lagi-lagi terdengar. Panthana yakin sekali suara tangisan itu berasal dari salah satu bilik toilet. Dia meneguk saliva, gugup. Tapi kakinya tetap melangkah menuju bilik yang menurutnya merupakan asal suara tangisan itu terdengar.   Hiks... Hiks... Hiks... Tangisan itu semakin terdengar kencang seiring dengan langkah Panthana mendekati pintu toilet bernomor 3. Tok... Tok... Tok Panthana mengetuk daun pintu bernomor 3 itu, berharap pemilik suara tangisan itu akan keluar, “Hei, lo kenapa nangis di dalam toilet? Lo baik-baik aja, kan?” tanyanya, cemas. Suara tangisan itu sudah tak terdengar lagi. Panthana menempelkan telinga di daun pintu, berharap bisa mendengar suara wanita yang diyakininya sedang berada di dalam toilet. Dia khawatir wanita itu melakukan tindakan nekat karena alasan itulah dia memberanikan diri mengetuk pintu itu. “Hallo, lo baik-baik aja kan di dalam?” tanyanya lagi. Namun tetap tak ada sahutan. Merasa mulai kesal karena terus diabaikan, Panthana pun memutuskan untuk kembali ke kloset. Dia harus segera melanjutkan aktivitas buang air kecilnya yang sempat tertunda tadi.   Kini, dia sudah berdiri tepat di depan kloset, hendak menurunkan celana olahraga tapi lagi-lagi harus diurungkan ketika dari cermin melihat pantulan seorang gadis berdiri di belakangnya. Gadis itu mengenakan seragam sekolah dengan atribut yang menandakan siswa di SMA Pelita Harapan. Gadis itu memiliki paras yang cukup cantik dengan rambut panjang hingga mencapai punggung. Dia terlihat pucat, wajahnya sedikit membiru bahkan bibirnya tampak berwarna ungu dan pecah-pecah karena terlalu kering. “Lo yang nangis tadi, kan? Lo kayaknya salah masuk toilet deh. Ini kan toilet cowok,” ucap Panthana, namun sosok gadis itu tak mengatakan apa pun, dia masih menatap tajam ke arah Panthana. Kekhawatiran tiba-tiba menggelayuti pikiran Panthana, dia bergegas melangkah keluar dari toilet untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah masuk toilet. Dia embuskan napas lega ketika terpampang plang yang menandakan bahwa dia memang benar berada di toilet pria sedangkan toilet wanita berada tepat di sebelah. Panthana semakin yakin bahwa gadis tadi memang salah masuk toilet. Dia pun bergegas masuk kembali ke dalam toilet, menghampiri si gadis yang masih berdiri di tempat yang sama. “Lo salah masuk toilet. Toilet cewek ada di sebelah. Lagian tadi kenapa lo nangis? Lo kelas berapa?” tanya Panthana, bertubi-tubi. Dia mengernyit heran ketika gadis itu masih tidak meresponnya. “Ya udah kalau lo gak mau ngomong, tapi bisa tolong keluar dari sini? Ini toilet cowok. Gue juga pengin kencing,” tambahnya, mulai kesal dengan kediaman gadis itu. Sang gadis masih terdiam tapi kini melakukan sesuatu yang membuat Panthana semakin mengernyit tak paham. Gadis itu mendekati Panthana sehingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. Dia menatap lurus ke arah kedua mata Panthana, membuat Panthana yang untuk pertama kalinya berdekatan dengan seorang gadis, merasa gugup seketika. Gadis itu juga mengibas-ngibaskan tangan tepat di depan wajah Panthana. “Lo kenapa sih? Gak sopan tahu, ngibas-ngibasin tangan di depan muka orang,” ujar Panthana, tak terima dengan perlakuan gadis aneh di depannya. “Kamu bisa lihat aku?” tanya gadis itu, akhirnya mengeluarkan suara. Panthana kembali mengernyit, gadis di depannya ini benar-benar aneh. “Ya iyalah, gue bisa lihat. Lo berdiri di depan gue begini, gak mungkin gue gak bisa lihat,” jawab Panthana, dengan suara ketus karena tak tahan lagi menghadapi si gadis aneh. “Selama ini gak pernah ada yang bisa lihat aku. Waah, aku seneng banget akhirnya ada yang bisa lihat aku.” Gadis itu tersenyum semringah sedangkan Panthana kini merasa gadis di depannya bukan hanya aneh tapi sudah tidak waras. “Badan lo segede ini masa gak ada yang bisa lihat? Aneh, berarti mata mereka rabun tuh yang gak bisa lihat lo.” “Mereka gak bisa lihat, soalnya aku ini hantu,” sahut gadis itu. Panthana tertegun sejenak sebelum tertawa dengan lantangnya, ‘Cewek ini emang gila,’ batinnya. “Udah deh, candaan lo gak lucu,” ujar Panthana, tak sanggup menahan lagi kekesalannya. “Beneran, aku hantu. Lihat ini!” Kedua mata Panthana membulat sempurna dengan mulut yang menganga ketika tepat di depan mata melihat gadis aneh itu berjalan menembus dinding. Beberapa kali dia berjalan menembus dinding. Lalu dengan senyuman di wajah, dia kembali berdiri di depan Panthana. “Lihat, aku ini hantu. Kamu percaya kan sekarang?” Panthana meneguk ludah dengan susah payah, masih dengan kedua bola mata yang terbelalak. Dengan gerakan perlahan, dia tatap dengan seksama sosok gadis aneh di depannya. Dia tatap mulai dari ujung kepala, perlahan turun ke bawah. Hingga ketika menatap ke arah kakinya, Panthana kembali meneguk ludah dengan susah payah. Kedua kaki gadis itu melayang, sama sekali tidak menyentuh lantai. ‘Dia beneran hantu!’ teriaknya dalam hati. ***  Dua hari telah berlalu sejak pertemuan tak terduga itu. Semenjak hari itu, hidup Panthana tidak setenang dulu. Hantu gadis SMA yang dilihatnya di toilet pria, selalu mengikutinya kemana pun dia pergi. Seperti saat ini, dia sedang memesan makanan di kantin sekolah dan tak hentinya hantu gadis itu mengajaknya bicara, melontarkan berbagai pertanyaan. Panthana memutuskan untuk mengabaikan meski tak dimungkiri betapa jengkel hatinya. Hantu itu terlalu berisik menurutnya. “Nama kamu siapa? Kasih tahu dong. Aku pengin minta tolong sama kamu.” Pertanyaan kesekian kalinya yang dilontarkan hantu gadis itu dan selalu diabaikan oleh Panthana. Panthana bersikap acuh tak acuh seolah tak bisa melihat maupun mendengar suaranya. Dulu dia tidak pernah sekali pun melihat penampakan hantu, hidupnya pun sangat damai. Dia ingin kembali menjalani hidupnya dengan damai karena itulah memutuskan untuk menganggap tak pernah melihat sosok sang hantu. Panthana berjalan mantap menuju ke sebuah meja seraya memegang piring berisi nasi goreng ekstra pedas, di sana terlihat empat remaja tengah menikmati makanan sambil melontarkan candaan-candaan tak jelas. Keempat pemuda itu tidak lain merupakan sahabat karibnya; Danu, Anjar, Malik dan Reno. “Hallo, Kapten,” seru Anjar, yang hanya dibalas dengusan oleh Panthana. Dia tanpa ragu duduk di kursi yang masih kosong tepat di samping Malik. “Tumben lo baru keluar kelas? Abis ketemuan ya sama pacar?” tanya Danu yang mengundang kernyitan tak paham dari ketiga pemuda yang berkumpul bersamanya. “Tu-Tunggu sebentar. Maksud lo, kapten kita yang pemalu ini udah punya cewek sekarang?” Reno berujar terlalu berlebihan hingga makanan yang dikunyahnya nyaris berhamburan keluar. “Telen dulu makanan lo. Jijik tahu, ntar kena bakso gue nih.” Anjar menimpali. “Nu, cepet deh lo jawab pertanyaan gue tadi,” sahut Reno, tak sabaran. Danu menaik-turunkan alisnya dengan tatapan tertuju pada Panthana yang lebih memilih fokus pada makanan dibandingkan menanggapi keempat sahabatnya yang terlalu konyol. “Ya, gitu deh. Kapten kita yang kikuk ini sekarang udah punya cewek.” Akhirnya Danu bercerita dengan ekspresi berapi-api. “Serius, lo? Siapa tuh cewek beruntung yang berhasil dapetin kapten kita yang super pemalu tapi sialnya ganteng?” Panthana memukul kepala Malik yang candaannya terdengar menyebalkan. Dia selalu kesal jika mereka mengejeknya pemalu dan kikuk, walaupun faktanya dia memang tidak pernah berani berdekatan dengan para gadis yang menyukainya, terutama Inggrid. Tidak ada satu pun dari keempat sahabatnya itu yang tahu bahwa selama ini Panthana memendam perasaan suka pada Inggrid. “Temen sekelas kita berdua, Dian namanya.” Ketiga pemuda itu melongo sembari memelototkan mata ketika Danu akhirnya menyebut nama gadis yang telah resmi berstatus sebagai pacar Panthana. “Tu-Tunggu deh, kayaknya gue tahu cewek yang namanya Dian itu. Dia cewek yang mukanya banyak jerawatnya itu, kan? Cewek yang rambutnya pendek kayak Dora terus pake kacamata super norak.” Anjar menimpali kali ini, seraya menggeleng tak percaya. “Iya, iya bener. Emang Dian itu yang gue maksud,” sahut Danu, mengangguk berulang kali pertanda kata-kata Anjar memang benar. Ketiga pemuda itu saling berpandangan, sedetik kemudian mereka tertawa terbahak-bahak, sukses membuat perempatan siku muncul di kedua sudut kening Panthana. Sebenarnya kelima pemain basket yang sudah bersahabat karib itu berada di kelas yang berbeda. Hanya Panthana dan Danu yang berada di kelas yang sama bahkan mereka duduk sebangku. Anjar berada di kelas XI IPA 3. Sedangkan Reno dan Malik berada di kelas yang sama yaitu kelas XI IPS 2. Hubungan Panthana dengan Danu memang yang paling dekat, nyaris tak ada rahasia di antara mereka. Jadi sesuatu yang wajar jika Panthana mengatakan hubungannya yang baru terjalin dengan Dian, dua hari lalu. “Kok lo mau sih pacaran sama dia, padahal kan cewek-cewek yang pernah nyatain cinta ke lo pada cantik-cantik tuh?” tanya Reno, namun Panthana mengabaikan dan lebih memilih untuk melanjutkan aktivitas makannya. “Selera orang kan beda-beda. Lagian, Dian manis juga kok menurut gue.” Kini ketiga pemuda itu menatap serempak ke arah Danu. Panthana juga ikut menatapnya, terdengar aneh karena inilah pertama kali Danu mengatakan pendapatnya tentang Dian. “Kenapa kok lo semua pada liatin gue? Omongan gue aneh, ya?” tanya Danu, emosi. “Iya juga sih yang lo bilang. Selera orang kan beda-beda ya. Tapi kalau gue jadi lo, Than. Mendingan gue pacaran sama ... siapa tuh cewek yang suka jalan bareng sama Dian?” tanya Anjar. “Inggrid.” Jawaban spontan Danu itu sukses membuat Panthana terbatuk-batuk hingga nasi goreng yang dikunyahnya menyembur ke wajah Reno yang duduk berseberangan dengannya. “Sialan lo, nasi goreng lo muncrat ke muka gue nih.” Reno berucap kesal seraya membersihkan wajahnya dengan tissue. Sedangkan ketiga pemuda yang lain tertawa terbahak-bahak saat ini. “Sori, sori, gue gak sengaja. Lagian udah deh, cepetan abisin makanan kalian. Bentar lagi waktu istirahatnya abis,” jawab Panthana, sembari tersenyum tipis pada Reno. Suasana pun hening karena kelima pemuda itu tampak fokus menyantap makanan. Namun, keheningan itu tidak berlaku untuk Panthana karena hantu gadis yang melayang di sampingnya kini kembali melontarkan beberapa pertanyaan, “Hei, kasih tahu dong nama kamu siapa? Serius aku pengin minta tolong sesuatu sama kamu,” tanyanya dan pertanyaan itu dilontarkan sang hantu tanpa henti. Panthana yang memang sudah jengkel karena obrolan teman-temannya tadi kini rasa jengkelnya bertambah berkali-kali lipat. “Ya udah kalau kamu gak mau ngasih tahu. Aku bakal nyari tahu sendiri,” tambah hantu itu. “Duuh, berisik banget sih! Bisa gak sih lo diem?!” teriak Panthana tanpa sadar, kini dia sukses menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kantin. Tentu termasuk keempat sahabatnya.   “Kita lagi diem kok.” Anjar menimpali. “Iya, lo gak lihat kita lagi pada makan?” seru Malik. Panthana memelotot ke arah hantu gadis itu, sungguh hatinya kesal setengah mati sekarang. “Lo kenapa sih tiba-tiba teriak? Lo marah sama kita berempat gara-gara ngomongin cewek lo?” tanya Danu, dengan kernyitan di dahi. Panthana memberikan cengiran pada keempat sahabatnya, berharap mereka tidak berpikir bahwa dirinya sedang marah, “Ngga kok, gue gak marah sama kalian,” jawabnya kikuk. “Terus kenapa lo tadi teriak kayak gitu?” tanya Reno. “Hm, gue juga gak teriak sama lo semua kok.” Keempat pemuda itu kembali saling berpandangan, mereka merasa sikap Panthana sangat aneh hari ini. “Terus lo teriak sama siapa tadi?” Danu kembali bertanya. Panthana melirik ke arah hantu gadis yang masih setia melayang di sampingnya. Dia tetap merasa aneh dan masih sulit percaya bahwa hanya dirinya seorang yang bisa melihat penampakan si hantu. Terutama jika melihat reaksi keempat sahabatnya yang tak bereaksi apa pun meski ada hantu melayang di dekat mereka. Rasa penasaran itu membuat Panthana ingin memastikan hal ini, “Memangnya kalian gak ngeliat cewek di samping gue?” tanyanya, dan untuk kesekian kalinya keempat pemuda itu saling berpandangan, tak mengerti. “Cewek di samping lo? Gak ada tuh, gue gak ngeliat ada cewek di samping lo,” sahut Reno, yang diangguki Danu, Malik dan Anjar. “Oh, jadi kalian gak bisa liat dia, ya?” gumam Panthana, pelan tapi masih bisa didengar oleh keempat pemuda itu. “Than, semenjak lo ketimpuk bola basket dua hari lalu, gue ngerasa lo jadi aneh deh. Jangan-jangan lo gegar otak. Lo gak coba periksa ke klinik sekolah? Kalo lo gak berani ke klinik sendirian, gue mau kok nemenin,” saran Danu, tampak khawatir. “Iya, kita bertiga juga mau kok nemenin lo. Lo emang aneh dua hari ini,” timpal Malik, yang diangguki dengan serempak oleh Reno dan Anjar. Sebenarnya selama dua hari ini sikap Panthana memang aneh di mata keempat sahabatnya. Dia sering tidak fokus dan jawabannya terkadang tidak nyambung jika diajak bicara. Bahkan pernah sekali mereka memergoki Panthana sedang bicara sendirian. Itulah sebabnya mereka sangat mengkhawatirkan kapten tim mereka itu. “Hahaha. Nggak kok. Gue baik-baik aja. Tapi, thanks ya udah peduliin gue,” sahut Panthana, sembari terkekeh. Beberapa detik kemudian, dia mengembuskan napas lega ketika terdengar bel tanda istirahat berakhir. Semua siswa yang masih berada di kantin, kini berhamburan hendak kembali ke kelas masing-masing, tentu saja termasuk Panthana dan keempat sahabatnya. Namun, Panthana masih merasa risih karena hantu gadis itu masih setia mengikutinya. Rasa-rasanya ingin sekali mengusir hantu itu tapi Panthana tidak tahu bagaimana caranya. Hantu itu tak hentinya mengikuti meskipun sudah diabaikan.   Beberapa menit kemudian, tampak seorang guru berjenis kelamin pria masuk ke dalam kelas XI IPA 1. Pak Agus, itulah nama guru tersebut. Dia mengajar Fisika dan saat ini tengah berbicara panjang lebar di depan kelas guna menjelaskan materi yang sedang diajarkannya pada para siswa. Panthana tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan penjelasan Pak Agus. Ada dua alasan yang membuatnya kehilangan fokus. Pertama, karena hantu gadis itu masih melayang di sampingnya meskipun kini mulutnya diam tidak melontarkan pertanyaan lagi. Namun, tetap saja Panthana tidak nyaman karena bulu kuduknya terus merinding akibat efek keberadaan sang hantu yang menurutnya sangat menyebalkan itu. Alasan kedua yang membuyarkan fokusnya adalah sosok Inggrid yang duduk dua bangku di depan. Gadis itu terlihat cantik hari ini, rambutnya yang biasa lurus kini terlihat sedikit bergelombang di bagian bawah. Seolah dia sengaja mengubah penampilannya. Jujur Panthana sangat terpukau, menurutnya Inggrid terlihat semakin cantik, membuatnya semakin jatuh cinta pada gadis itu. “Hei, kamu suka ya sama cewek itu?” tanya sang hantu, yang sukses membuat Panthana terenyak kaget, pasalnya hantu itu berbicara tepat di depan telinganya. Hawa dingin yang berasal dari hantu itu sukses membuat tengkuk Panthana terasa menggigil. “Aku tahu kamu suka sama dia. Kamu selalu merhatiin dia,” tambahnya. Panthana mencoba untuk mengabaikan, namun hantu itu tak hentinya berbicara. “Aku bisa lho bantuin kamu supaya bisa dapetin dia,” ucap si hantu, untuk yang kesekian kalinya, sukses membuat hati Panthana jengkel setengah mati. “Gue bilang diem, bisa gak sih?! Lo berisik!!” teriak Panthana, kencang sekali. Sebenarnya dia berteriak secara spontan karena terlalu kesal pada sang hantu. Dia membekap mulut ketika menyadari kini seisi kelas termasuk Pak Agus tengah menatap ke arahnya.  “Kamu kenapa? Kamu bilang bapak berisik, terus nyuruh bapak diem?” tanya Pak Agus, tampak tersinggung. Panthana panik dan gelagapan, dia sadar telah membuat Pak Agus salah paham. “Bu-Bukan begitu, Pak. Bapak salah paham,” jelas Panthana, gugup dan mulai takut. Dia takut Pak Agus akan marah dan melarangnya ikut pelajaran Fisika. Padahal alasan Panthana mengambil jurusan IPA, karena dia sangat menyukai mata pelajaran IPA, terutama Fisika. “Kamu tidak sopan. Maju ke depan, terus kerjakan soal di papan tulis!” titah Pak Agus, tegas. Panthana meneguk saliva, panik ketika menyadari soal di depan papan tulis belum pernah dipelajarinya dan dia juga tidak fokus tadi ketika Pak Agus memberikan contoh untuk mengerjakan soal yang mirip dengan soal tersebut. “Panthana Rivanno, cepat maju ke depan dan kerjakan soalnya!” Pak Agus mengulang perintahnya karena Panthana masih betah melongo d kursinya. Akhirnya dengan langkah gontai, Panthana maju ke depan. Dia mencoba mengerjakan soal itu meski tak yakin jawabannya benar. Tapi lebih baik mencoba mengerjakan daripada membuat Pak Agus semakin murka dan mengeluarkannya dari kelas. Kira-kira itulah yang dipikirkan Panthana saat ini. “Aku tahu nama kamu,” ucap hantu gadis itu, yang rupanya mengikuti Panthana maju ke depan kelas. Dia sedang melayang tepat di belakang Panthana. “Nama kamu, Panthana,” tambahnya, seraya tersenyum. Sedangkan Panthana sedang menggeram kesal, bahkan dia menekan kapur di tangan pada papan tulis hingga kapur itu patah menjadi dua. ‘Hantu sialan!’ teriak Panthana, dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD