Pagi yang cerah

1296 Words
Jam alarm saling bersahutan, memaksa membuka mata sebuah keluarga kecil bahagia itu dari tidur lelap mereka. Dan itu adalah tanda bahwa hari telah dimulai. Hari yang terlalu panjang untuk diarungi, namun terasa singkat. Apalagi dengan segudang kesibukan, tentu terasa cepat berlalu. Ponsel masing-masing dari mereka menyala, menampilkan schedule untuk hari ini. Pagi, dimulai dengan rutinitas yang sama. Bangun, beribadah, mandi, bersiap, lalu sarapan. Begitu pula keluarga yang satu ini, keluarga yang sedang sibuk menghabiskan hidangan masing-masing tanpa banyak bicara. Penerapan etika terasa nyata karena latar belakang keluarga yang kental akan budaya dan militer, dari pihak Pak Darsono, keluarga mereka rata-rata bergabung di militer. Sedangkan dari pihak Bu Wulandari, masih keturunan bangsawan yang kental akan budaya. Pak Darsono yang pertama kali selesai dengan sarapannya, tangan pria itu terulur mengambil secangkir kopi tanpa gula dan menyesapnya singkat. Pak Darsono mulai mengurangi konsumsi gula akibat gula darahnya naik belakangan ini, dokter pribadinya meresepkan menu diet untuk mengurangi konsumsi gula, agar kesehatan pria itu kembali membaik. "Kalian sudah siap Di, Do?" tanya Pak Darsono kepada putra kembarnya. Hari ini adalah hari pertama mereka menginjakkan kaki menuju jenjang SMA. Di sekolah yang sama pula dengan kedua kakaknya. Aldi dan Aldo sudah siap dengan balutan putih abu-abu mereka. Kata orang, setiap anak kembar memilik sifat dan kepribadian yang berbeda sekalipun fisik mereka mirip. Dan, disinilah perbedaanya, Aldi si aristokrat, menjunjung tinggi penampilan dan ketampanan. Setelan seragam yang lengkap dan rapi, juga tatanan rambut melipis dan aksesoris mahal yang ia kenakan, semakin menambah kesan elegant. Aldi paling benci dengan baju kusut dan penampilan acak-acakan. Tapi, Aldo demikian, pemuda itu tidak terlalu memusingkan soal penampilan. Karena menurutnya nilai dari seseorang ditentukan oleh tutur kata dan perilakunya, bukan berdasar pada penampilan. Seragam lusuh dan rambut yang setengah gondrong tak jadi masalah untuknya, toh, setelah acara pembukaan tahun ajaran baru nanti. Ia akan membolos bersama teman-temannya. Aldo sudah mendapatkan banyak info tentang titik-titik strategis untuk membolos di SMA itu. Rencananya, mereka akan datang bersama Pak Darsono, untuk sekadar berbasa-basi pada kepala sekolah. Sang ayah selaku ketua yayasan, tentu saja akan menyampaikan sepatah-dua patah kata dalam upacara penyambutan siswa baru nantinya. Aldi mengangguk mewakili saudara kembarnya, lebih tepatnya adik kembarnya. Reynaldi, atau yang akrab disapa Aldi itu menggelengkan kepala melihat kembarannya mengambil potongan ayam untuk yang ketiga kali. Ngeri sendiri melihat nafsu makannya yang luar biasa. "Aku sih udah Pah, tapi Aldo belum." jawabnya sambil melirik sinis. Aldo yang menyadarinya pun balas mendelik, "Belum kenyang, lagian waktunya masih lama kan. Sekolah juga cuma sebelah situ, ga bakal terlambat kok." protes anak bungsu Keluarga Darsono itu. Aldo melirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia menggeleng keras, berangkat sekolah sepagi ini, yang benar saja. Seandainya tidak ada acara berangkat bersama sang ayah. Pasti Aldo akan berangkat tepat pukul tujuh. Bersama motor kesayangannya, membelah jalanan yang padat dengan kecepatan di atas 90km/jam. "Mau makan berapa banyak lagi? Inget perut Do, inget perut" cerca Aldi. "Bolak balik ke toilet baru tau rasa lo!" "Udahlah Di, Aldo kan emang selalu banyak kalo makan." Arshena, anak kedua Darsono menimpali, menekankan kata 'selalu' dalam kalimatnya. Gadis cantik berambut panjang itu mengelap mulutnya dengan tissu. "Selalu banyak, mbak. Dia itu duta makan Indonesia." sahut Aldi. "Hahahah." Shena tergelak. "Iya bener, sama duta ayam goreng mau ngalahin upin ipin." tambahnya tepat sasaran, makanan kesukaan Aldo adalah ayam goreng, terutama ayam goreng bumbu kunyit. "Perut karet dia!" sindir Arsen. Dia adalah anak sulung keluarga itu, yang paling tampan dan menawan. Sebenarnya, Arsen cukup irit bicara dan hanya menimpali secukupnya saja. Tapi saat bersama keluarganya, pemuda itu menjadi cukup cerewet. Tuan dan Nyonya Darsono turut menggelengkan kepala melihat Aldo yang dengan santainya melahap satu lagi ayam goreng di piring lauk. Arsen sampai menggeser piring itu untuk menjauh dari sang adik. Takutnya, jika diteruskan maka tidak ada habisnya. Si perut karet bisa menghabiskan satu ekor ayam sekali makan. "Kapan selesainya kalo nambah terus?" seloroh Arsen dengan nada dingin dan tajam, jika sudah begini, tandanya Arsen dalam mode berbahaya. "Iya iya, ini terakhir." jawab Aldo kepayahan karena masih mengunyah potongan ayam. Bergidik ngeri melihat sang putra bungsu yang gila makan, Pak Darsono meminum satu tengguk terakhir kopinya. Syukurlah ia tak pernah merasa kekurangan sedikitpun untuk mencukupi gizi anak-anaknya. Galih Cokro Darsono memilih mengalihkan atensinya pada Arsen yang santai mengunyah kacang mede bersama Shena, sambil mengobrol asik tentang kegiatan sekolah mereka. Di rumah ini, kacang mede menjadi camilan favorit yang harus selalu ada, toples berisi kacang mede selalu bisa ditemukan di meja makan atau di ruang keluarga. "Apa kalian berdua sekelas tahun ini?" tanyanya. Arsen hanya menggeleng, "Belum tahu Pah, nanti selesai upacara biasanya baru ada pengumuman." Arsen dan Shena adalah anak kembar pertama keluarga Darsono, sedangkan si kembar kedua, yakni Aldi dan Aldo, mereka lahir satu tahun setelahnya. Aneh ya? Jangan heran dengan jarak kelahiran mereka. Karena sang kakak, Arsen dan Shena memiliki ibu yang berbeda dengan Aldi dan Aldo. Namanya Retna Lestari, wanita cantik dengan lesung pipi menawan saat tersenyum. Cinta pertama Galih Darsono, namun sayangnya, Retna sudah wafat seminggu setelah melahirkan buah hati tercinta karena serangan jantung. Retna memiliki riwayat penyakit jantung yang parah, sedari kecil kondisi jantungnya memang lemah. Tapi tidak ada yang menyangka kejadian malang itu akan terjadi mengingat setelah melahirkan Retna baik-baik saja. Karena merasa kesulitan untuk mengurus kedua anak kembarnya yang masih bayi, keluarga Pak Galih mencarikan seorang wanita baik hati yang mau menjadi istrinya tanpa ikatan cinta, dia adalah Wulandari, ibu dari Aldi dan Aldi. Wanita berdarah bangsawan Yogyakarta yang dididik dengan baik dan penuh tata krama, sekalipun memiliki sifat yang keras dan perfeksionis, Wulandari menyayangi Arsen dan Shena selayaknya anak kandungnya sendiri. Lucunya, baik pernikahan pertama maupun kedua, Pak Darsono selalu memiliki anak kembar. Mungkin ia mendapat gen dari keluarganya terdahulu. Mendiang kakek buyutnya juga lahir kembar, ada juga keluarga sepupu yang memiliki anak kembar. Shena menutup toples kacang mede dan menatap sang ayah. "Lagian aku ga mau sekelas sama abang Pah, ga asik dia." adu gadis itu. Melirik sekilas pada sang kakak yang menahan senyum. "Ga asik gimana Shen?" tanya Nyonya Darsono, Wulandari Darsono pada sang putri sambung. Shena menghela napas lelah, ia melirik kecil pada sang kakak. "Si Abang pasti ga pernah ngerjain tugasnya Mah, malah dikasih aku. Belum lagi kalo di kelas, dia pasti nyontek aku, bayar kas juga aku, tugas praktek aku, tugas presentasi juga aku, bahkan piket pun aku. Semuanya aku." Shena menceritakan kejelekan sang kakak pada kedua orang tuanya, membuat Tuan dan Nyonya Darsono tergelak. "Aku ga mau lagi jadi budaknya abang---" "Aww! Sakit tau, Pah abang kekerasan masaa." adu gadis itu saat mendapat sentilan kecil di dahinya. Shena mengusap bekasnya dengan tatapan terluka yang dibuat-buat. Tatapan yang akan membuat Arsen mengusap kepalanya sebagai tanda bersalah. Siapa yang berani menyakiti Shena, anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga, yang diperlakukan bak putri kerajaan. "Udah ah, kita berangkat duluan aja, ntar telat." Arsen bangkit, menyambar tas dan menarik sang adik untuk berdiri. Shena sampai tergopoh-gopoh mengimbangi langkah sang kakak. Arsen bergegas mencium tangan ayah dan ibunya bergantian, diikuti Shena. "Aku berangkat duluan sama Na aja Pah, nanti jadi heboh kalo bareng-bareng." pamit Arsen. "Yakin ga mau bareng aja?" tanya sang ayah. Shena menggeleng, "Ga usah Pah, bener kata si abang. Ntar ga seru." "Maksudnya?" Aldi mengerutkan keningnya, ia memiliki firasat lain pada kedua kakaknya. Hari ini adalah hari pertama sekolah di SMA, pasti mereka akan melakukan hal gila padanya. Aldi menghela napas jengah, inilah alasan mengapa ia sangat malas mengikuti acara pengenalan lingkungan sekolah. Arsen dan Shena kompak tersenyum licik. "Rahasia." Sebagai panitia masa orientasi siswa baru tahun ini, Shena dan Arsen telah mempersiapkan rencana jahat untuk kedua adiknya. Persetan dengan kakak yang baik, tapi itu adalah pembalasan atas kezholiman yang kerap Aldi dan Aldo lakukan pada mereka. Tidak masalah bukan, saat di sekolah nanti, mereka bukan lagi kakak, tapi senior yang keji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD