01

1502 Words
Bugh! Bugh!  Pukulan-pukulan yang cukup keras pada stir dilakukan guna menghilangkan rasa kesal semata. Tentu, agar tidak bertambah parah. Namun, tak semudah dipikirkan. Justru kesabaran sudah mulai menunjukkan penipisan dari detik demi detik.  "Cepatlah kau angkat. Aku tidak suka menunggu lama," gumam Albert pelan. Namun, setiap kata diucapkannya dalam nada pelan diberikan penekanan.  Embusan napas panjang dilakukan dengan segera oleh Albert, saat sambungan panggilan diangkat di seberang sana, setelah menelepon sebanyak lima kali sejak satu jam yang lalu. Albert tak ingin kentara menunjukkan kekesalannya. Ia bukanlah tipikal akan memerlihatkan emosi. Ia selalu mengingatkan diri jika ia pria dewasa.  "Kau tidak usah mengucapkan salam dengan manis." Albert membalas dengan kalimat pedas. Secara spontan terluncur begitu saja dari dalam mulutnya.  "Kau hanya perlu memberitahukanku di mana posisimu sekarang. Paham?" Albert pun langsung mengarahkan topik pembicaraan yang ingin dibahasnya.  Albert kembali melakukan penarikan oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru. Lantas, dibuang dengan cepat. Hal tersebut masih sebagai bentuk dari penahanan kekesalan agar tidak muncul ke permukaan kembali karena sahutan yang diterima di seberang telepon tak menyadar topik yang sedang ditanyakan.  "Apa yang kau bilang? Kau akan terlambat? Kemungkinan besar jika terjebak kemacetan lebih lama, kau tidak akan datang kemari? Apakah kau serius?" Albert meninggikan suaranya yang berat hingga dua oktaf. Merasakan keterkejutan juga.  "Yang benar saja!" Pria itu berseru spontan dalam intonasi semakin mengencang. Lalu, dimatikannya telepon secara sepihak akibat rasa amarah bertambah.  Pegangan tangan kiri di stir mobil tambah dieratkan bersamaan dengan emosi semakin membuncah. Albert Geovant bertambah besar dinaungi oleh perasaan kesal. Tentu ada alasan sangatlah jelas yang melatarbelakangi.  Ia merasa dipermainkan oleh sepupunya sendiri, Zoy Geovant. Pria itu memintanya untuk datang ke bar guna merayakan ulang tahun. Albert menyanggupi dengan berat hati. Mengingat lokasi mansion mewahnya dan bar yang cukup jauh. Namun, karena tak enak. Ia pun tetap memilih datang.  Pada akhirnya, Zoy Geovant sangatlah tanpa berdosa memberitahukan jika kemungkinan besar akan membatalkan pesta. Albert pun merasa wajar marah dan emosi. Waktunya terbuang begitu saja untuk hal sia-sia.  Drrt... Drrrt.  Handphone canggihnya dipegang bergetar, tanda bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Albert cepat membuka, saat nama pengirim tertulis tak lain adalah Zoy Geovant.  Kata demi kata dibaca cepat oleh Albert. Ia memasang ekspresi serius dengan kedua mata yang sedikit menyipit. Bibirnya turut bergerak. Namun, tak keluar suara.  "Aku minta maaf. Aku harap kau tidak akan marah. Aku akan menebus dengan mencari wanita paling hot untuk menemanimu nanti bercinta." Albert mengulang kalimat-kalimat yang berderet di layar handphone. Pesan berisikan emoticon tersenyum banyak.  Kemudian, salah satu sudutbibirnya naik ke atas. Menunjukkan rasa senang Albert untuk tawaran yang diberikan oleh sang sepupu. Ia percaya Zoy Geovant akan menepati. Sudah terbukti beberapa kali diperkenalkan para wanita seperti yang disebutkan di atas dan diajak mereka berdua minum bersama.  Hanya sampai mabuk, tidak sampai terlibat dalam cinta satu malam. Albert bukan tipe yang akan mudah tidur dengan wanita. Ia pemilih. Bukan hanya sekadar memuaskan hasrat. Namun, bagi Albert harus ada sedikit melibatkan perasaan, tak didominasi nafsu.  Prinsip yang memang jarang dimiliki oleh pria. Albert telah bertanya kepada beberapa teman. Tidak banyak yang bisa sepemikiran dengannya. Bukan masalah juga untuknya. Semua memiliki cara pandang berbeda.  Tok! Tok! Tok!  Mendengar ketukan pada kaca jendela mobil di bagian penumpang, Albert pun terlonjak kaget. Namun, segera berupaya dibukanya guna memastikan orang yang melakukan. Ia tak kesal sama sekali, merasa terkejut saja.  Dan, ketika sudah melihat sosok tersebut, maka Albert langsung terpesona. Gambaran wanita yang benar-benar menawan dengan rambut sebahu digerai. Wajah yang cantik. Sempurna untuk diabadikan oleh kedua matanya.  "Bolehkah aku masuk? Apa boleh juga aku menumpang? Mobilku sedang rusak di parkiran. Aku tidak punya pilihan. Sudah malam. Tidak ada bengkel yang buka."  Albert tak butuh lama memutuskan. Kepala dianggukkan seraya memencet tombol yang berfungsi membuka kunci pintu kendaraan roda empatnya. Dan, tak sampai hitungan satu menit, sosok wanita itu telah masuk ke dalam mobil. Duduk tepat di sampingnya. Aroma parfum yang begitu wangi memasuki indera penciumannya.  "Mobilmu sedang rusak?" Albert bertanya dengan suara berat dan kaku. "Kenapa bisa rusak? Apakah kau habis datang dari bar?" Dilemparkan pertanyaan kembali.  "Iya, mobilku rusak. Aku juga tidak tahu penyebabnya. Tadi, saat aku mau hidupkan tidak bisa. Menyebalkan. Padahal, aku ingin segera pulang. Kepalaku pusing."  "Kepalamu pusing? Kau habis minum berapa gelas? Atau botol?" Albert tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya. Bertanya adalah jalan utama mendapat informasi.  "Iya. Cukup pusing. Seingatku hanya minum wine dua gelas. Tapi, ukurannya besar. Aku tadi minta ke pelayan gelas sedang saja. Dia tidak mendengar permintaanku."  "Hanya dua gelas? Harusnya kau tidak mabuk, bahkan mabuk." Albert memberikan komentar apa adanya. Sesuai dengan isi pikiran yang terlintas di dalam kepala.  "Hahaha. Begitukah? Tapi, aku memang tidak kuat minum. Maksimal satu gelas saja. Jika lebih. Maka, kepalaku akan pusing. Aku juga bisa mual-mual."  Spontan Albert tertawa. Dikarenakan jawaban dan juga ekspresi yang ditunjukkan oleh wanita di sebelahnya. Cara bercerita termasuk lucu untuknya. Wanita itu pun mengerucutkan bibir. Walau hanya beberapa saat saja, kurang dari lima detik.  Kemudian, gelakan dihentikan saat dihadapkan dengan pemandangan yang begitu indah. Senyuman lebar wanita itu. Sungguh memesona. Albert harus mengakui jika wanita tengah berada di sampingnya tampak semakin cantik. Ia mengagumi.  "Beautiful." Albert bergumam sangat pelan. Nyaris tidak mengeluarkan suara. Dan, secara spontan saja dilakukan untuk mengungkapkan pujian pada wanita itu.  "Apa yang kau katakan? Maaf, aku tidak mendengar. Telingaku tiba-tiba saja menjadi sedikit tuli karena musik di dalam bar yang bagiku sangatlah keras."  Albert menggeleng cepat. "Bukan apa-apa," jawabnya mengelak. Tak akan jujur.  "Hmm. Aku ingin bertanya namamu. Siapakah?" Albert segera saja mengalihkan topik pembicaraan. Tidak ingin wanita itu sampai mengetahui ucapannya tadi.  "Namaku Cavara Mikkler."  Albert langsung menerima jabatan tangan wanita itu. Getaran aneh yang melandanya kian besar, saat bersentuhan dengan kulit mulus dan putih wanita bernama Cavara Mikkler. Sungguh, diluar dugaan reaksi yang dialami oleh tubuhnya. Albert bahkan tak menyangkan akan apa dialaminya.  "Aku mau minta izin lagi, apa boleh aku menumpang di sini? Mobilku sedang rusak. Aku tidak bisa memperbaiki. Mekanik langgananku tidak mengangkat telepon dariku tadi. Aku menjadi bingung. Bengkel terdekat juga sudah tutup aku rasa."  Albert segera menggeleng. "Tidak apa-apa. Kau boleh berada di sini. Tenang saja. Itu pun jika kau nyaman berada di mobilku ini. Aku bisa menjamin aku bukan pria yang jahat atau suka macam-macam. Kau akan aman bersamaku," jawabnya jujur.  Dan apa dikatakannya, tak menyangka akan mendapatkan tawa dari sosok wanita cantik di sebelahnya. Tentu, seketika merasakan salah tingkah. Terlebih lagi dirinya masih dipandang dengan lekat. Sensasi aneh muncul, membuatnya berdesir.  "Aku kau percaya pria yang baik. Jika tidak, dari tadi aku sudah keluar. Tapi, kau tetap pria normal. Matamu tidak bisa berbohong. Hahaha. Tapi, tidak apa-apa."  "Pria normal? Maaf, aku belum paham ucapanmu, Miss Mikkler." Albert memberi tanggapan apa adanya. Mengungkapkan kebingungan tengah dirasakannya.  "Ada nafsu dan gairah di matamu, saat melihatku. Maaf juga aku harus mengatakan semua kepadamu. Terkadang, mulutku tidak bisa dikontrol. Jangan tersinggung."  Albert menggeleng cepat beberapa kali dengan rasa gugup yang mulai melanda. Jawaban dari wanita di sampingnya menjadi faktor utama. "Tidak akan."  "Kenapa aku harus tersinggung? Hanya saja tadi aku kaget karena kau berkata tanpa takut atau canggung. Dan, harus aku akui jika kau memanh benar." Albert pun melontarkan jawaban lanjutan secara spontan, tidak memikirkan kembali.  "Hahahhaha."  Keterkejutan kembali menaungi diri Albert karena sosok wanita bernama Cavara Mikkler mengeluarkan tawa yang kencang. Jelas, ia menaruh langsung kecurigaan. Namun , tidak merasa tersinggung sama sekali. Hanya berpikiran yang negatif.  Keanehan lain menyelimuti dirinya. Perasaan asing membuat bahagia. Ya, karena melihat bagaimana wanita di sampingnya tertawa. Kecantikan semakin terpancar. Ia harus mengakui keterpesonaan akan sosok wanita itu terus bertambah saja.  Konyol memang jika dipikirkan dengan logika. Bahkan, belum ada satu jam mereka bersama. Namun, ia sudah terbayang juga akan bagaimana hubungan yang dapat mereka ciptakan. Benar, tidur bersama. Bercinta panas dan penuh gairah.  "Hahaha. Maaf, aku tertawa. Tolong jangan marah."  Albert menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak marah. Santai saja. Kau bebas tertawa. Tidak perlu sungkan kepadaku," jawabnya dengan apa adanya sesuai isi pikiran.  "Hmm. Apa perkataanku salah tadi? Sehingga membuat kau tertawa?" tanya Albert spontan. Hendak mendapatkan jawaban pasti atas rasa ingin tahunya.  "Tidak, Mr. Tidak sama sekali. Kau tidak salah. Hanya saja kau terlalu polos. Tolong jangan marah dengan jawaban yang aku berikan ini, ya? Pendapat pribadiku."  Pertanyaan lain muncul di dalam benaknya. Tetapi, enggan untuk keluarkan. Dipilih diabaikan saja dan dianggap tidak penting. Kemudian, kepala dianggukkan dalam gerakan ringan beberapa kali. Diputuskannya tak menjawab secara lisan. Tak ada kata-kata yang terbayang. Kemampuan berpikir sedang mengalami gangguan. Ya, penyebabnya tentu masih wanita itu. Ia kian terhipnotis. Sungguh menawan.  "Aku tidak percaya bahwa ada pria yang polos. Semua rata-rata memiliki pemikiran m***m dipengaruhi oleh hormon mereka. Benar bukan pendapatku ini?"  Kembali, Albert menanggapi cepat dengan mengangguk. Walau, belum bisa untuk memahami secara benar makna ucapan baru didengarnya. Ia masih memikirkan menerus. Persepsi baru coba diciptakan. Tentu diambil dari sudut pandangnya.  "Mungkin pendapatmu benar, Nona. Aku sebagai pria akan mengakui dengan jujur bahwa aku tidak polos. Apalagi usiaku sudah tidak muda lagi. Kau benar tentang pikiran m***m. Namun, setiap pria memiliki pemikiran sendiri-sendiri soal seks."  Albert mengembuskan napas panjang guna mengurangi rasa gugup akibat ditatap dengan senyuman begitu memikat. "Kau bisa menganggapku tidak polos."  "Iya, kau tidak polos. Aku tahu kau pria yang normal. Mataku membara. Apa aku yang menyebabkan? Maksudku kau bernafsu terhadapku? Tidak apa-apa." Albert membelalakan mata, menunjukkan keterkejutan akan pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya. Namun kemudian, kepalanya dianggukan. "Aku memang pria normal. Harus aku akui juga kau sudah membuatku bernafsu. Aku tidak akan bersikap munafik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD