Dilema Miranda

2085 Words
Hari yang sangat melelahkan sekaligus mengecewakan bagi Miranda. Bagaimana pun wanita berusia tiga puluh tahun tersebut, telah berjuang sedemikian rupa dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan proyek yang diincarnya sejak lama. Yang menyakitkan adalah, pemenang tender ternyata seorang gadis muda yang baru saja lulus Ph.D. Di usianya yang ke dua puluh empat tahun. “Selidiki perempuan itu.” Miranda memerintahkan kepada kepala keamanan kantornya. “Laporkan segera, informasi sekecil apa pun, seremeh apa pun, laporkan!" Lanjutnya. “Siap Bu.” Kepala keamanan menjawab dengan hormat, badannya sedikit membungkuk lalu undur diri dari hadapan Miranda. Gairah aneh muncul tiba-tiba, menyelinap ke dalam aliran darah Miranda. Sekejap Miranda merasakan sensasi yang menyenangkan. Biasanya, setelah merasakan sensasi itu, akan muncul rasa ingin dipuaskan. “Tidak, tidak Mandaaa ... jangan sekarang, aku masih ada dinner meeting malam ini. Lagi pula, belum dapat informasi yang akurat.” Miranda berkata pada dirinya sendiri seraya mengepalkan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian, perasaan Miranda telah kembali ke awal, merasakan kekecewaan yang dalam dan merasa telah sia-sia membuang waktu, tenaga, pikiran hingga materi yang tidak sedikit dan hasilnya Nol besar, terkait kegagalan memenangkan tendernya. Miranda tenggelam dalam tumpukan dokumen. Memang itu adalah tugas sekretarisnya untuk memilah dan mencari mana yang perlu direvisi, mana yang harus ditambahkan atau dikurangi, namun Miranda selalu merasa tidak puas kalau belum ikut memeriksa detailnya. Suara bip-bip terdengar, Miranda meraih telepon di mejanya. “Ya?” Miranda menjawab tanpa meninggalkan dokumen yang sedang diperiksanya. “Bu, ada telepon dari nona Isabel di saluran dua.” Terdengar suara sekretarisnya, Utari, yang telah setengah abad usianya. “Sambungkan.” Miranda berkata lirih. “Baik bu.” Jawab Utari, lalu menutup telepon dan memencet tombol angka dua yang langsung tersambung ke bosnya. Terdengar suara anak kecil yang imut dan menggemaskan di ujung telepon, “Mommy, tante yang matanya sipit ngikutin Ibel terus, Ibel engga suka mommy, huuu ... huuuu ....” Isabel sambil menangis mengadu ke ibunya. Miranda menghela nafas, Selalu saja anaknya berhalusinasi diikuti orang-orang aneh yang bentuknya nyaris tidak pernah ada di dunia ini. “Ibel sudah minum obat belum?” Miranda bertanya dengan lembut. “Huaaa ... Ibel engga mau minum obat lagi, Ibel engga mau mimpi buruk, engga mau minum obat mommy ... huaa ....” Tangisan Isabel semakin kencang. Miranda menjauhkan gagang telepon dari telinganya, keningnya berkerut merasa tidak nyaman, dia berbicara seraya mengambil jarak dari telepon. “Panggil tante sayang, mommy mau bicara sama tante ya ... tolong panggil tantenya.” Miranda meminta Isabel masih dengan lemah lembut. Telepon beralih, suara tangis Isabel menjauh namun masih terdengar oleh Miranda. “Halo Mira? Kamu lagi sibuk tidak?” Tanya Viona, yang dipanggil tante oleh Isabel adalah kerabat Miranda dari garis keturunan ibunya. Miranda mendekatkan lagi telepon itu ke telinganya, “Vio, ada apa lagi dengan Isabel? aku lumayan agak sibuk, tolong ceritakan.” Ujar Miranda. “Ibel semakin parah, dia mengaku diikuti dua orang dari semalam sampai sekarang. Tadi kami dari psikolog lain. Kamu tahu tidak analisa psikolog yang ini? Psikolog ini dari china, dia sangat terkenal di china. Aku penasaran makanya butuh second opinion, jadi aku daftar dan dapat jadwal. Sekarang, kami baru saja sampai rumah. Ibel minta telepon kamu.” Viona nyerocos tanpa info yang berarti, membuat kepala Miranda sakit berdenyut-denyut. Miranda menghela nafas. Berusaha menenangkan dirinya. Dia tidak suka ketika orang berbicara kepadanya kebanyakan kata tanpa isi yang berguna. “Apa diagnosa dokter dari china itu?” Miranda bertanya langsung ke intinya. “Dokter bilang kalau Ibel bukan berhalusinasi, tapi dia mengalami kondisi di mana indera ke enamnya terbuka, diagnosa sementara adalah indigo, masih harus menjalani test lainnya sih untuk memastikan itu.” Viona menceritakan apa yang telah didengarnya dari penjelasan dokter yang memeriksa Isabel. “What?! ....” Miranda terkejut, hampir saja telepon itu lepas dari genggamannya yang mulai licin karena berkeringat. “Vio, tolong carikan dokter lain, yang sangat bagus, kalau perlu, pergilah ke negara lain, benar-benar dipastikan diagnosanya. Besok pagi aku transfer uangnya.” Miranda mendesak Viona, lalu menutup telepon tanpa pamit. Karena jantungnya berdebar tidak karuan. Miranda duduk lemas di kursinya. Dia paham apa itu Indigo. Dia pernah ada kecurigaan bahwa putrinya mungkin seorang indigo, tapi dia selalu menepisnya, karena ciri-ciri yang terlihat lebih mengarah kepada halusinasi, ilusi atau delusi. Selama ini, Miranda tidak tinggal diam atas keanehan putrinya, dia berusaha terus mendampingi putrinya agar tidak berkhayal sesuatu yang mengerikan dan menakutkan, sampai akhirnya dia menyerah. Isabel terus menerus menunjuk dengan jari mungilnya kiri-kanan, berceloteh tentang sosok-sosok aneh yang mencoba mendekatinya. Kadang Isabel tampak tidak peduli, namun sering kali Isabel marah-marah dan melakukan tindakan mengusir sosok-sosok yang tidak terlihat oleh Miranda. Miranda sangat mencintai putrinya, meskipun bukan anak yang diharapkannya lahir ke dunia ini. Demi pengobatan yang terbaik, Miranda harus merelakan berpisah dengan Isabel. Dan satu hal yang teramat penting sebenarnya adalah menjauhkan Isabel dari Manda. Miranda merasakan sesuatu yang buruk, perasaannya gelisah. Dia mengalami dilema batin. Wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan, bola matanya memerah menahan air mata yang mulai memaksa untuk keluar. Seandainya Isabel benar-benar indigo, jelas itu ancaman besar untuk Miranda. Bagaimana kalau Isabel tahu tentang kebenarannya? Miranda bergidik ngeri, dia tidak sanggup jika Isabel membencinya. Haruskah dia menyerah kepada Manda yang menginginkan Isabel di lenyapkan?Miranda harus mengambil keputusan yang sangat sulit dalam hidupnya. Melenyapkan darah dagingnya sendiri demi kelangsungan hidup dirinya dan Manda atau memutus hubungan dengan Isabel selamanya atau justru melenyapkan dirinya sendiri agar Isabel bisa hidup tanpa ancaman dan menjalani kehidupan normal sampai ajal menjemputnya. Keningnya mendadak berdenyut-denyut seakan di tusuk beberapa jarum sekaligus. Tangan Miranda menggapai-gapai laci meja kerjanya, di sana tersedia pil yang bisa menghalau rasa nyeri di kepalanya. Meraih botol plastik kecil berisi obat, membukanya dengan tergesa-gesa, menaburkan beberapa pil ke telapak tangan yang langsung ditangkupkan ke dalam mulutnya dengan bantuan air putih yang selalu tersedia untuknya. Miranda meminum beberapa pil untuk menenangkan otot-otot di kepalanya. Tidak lama kemudian Miranda sudah merasa rileks, matanya terpejam, mencoba memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Seperti taman dengan aneka bunga warna-warni, yang selalu mendatangkan kesejukan di hatinya. Dia membutuhkan stamina prima karena pekerjaannya belum berakhir hari itu. Pintu diketuk tiga kali. Tok tok tok, “Masuk.” Masih memejamkan matanya. Suara sepatu mengetuk lantai terdengar menghampiri Miranda. Sepatu pria. “Bu, ini data-data yang ibu minta, tentang Ibu florentia.” Kepala keamanan menyodorkan sebuah map ke meja. “Ya, taruh di situ.” Jawab Miranda tanpa membuka matanya. Kepala keamanan yang berperawakan tegap, berusia empat puluh tahun, tentara yang melakukan disersi, karena membutuhkan penghasilan yang fantastis baginya, meletakkan map dengan hati-hati. Melirik kepada bos cantiknya yang tampak sedih, bingung dan cemas. Dia berbalik menuju pintu tanpa mengucapkan apa-apa. Miranda masih menunggu reaksi dari obat yang diminumnya. Perlahan rasa sakit dari denyut dikepalanya berkurang dan makin berkurang. ◇◇◇ Isabel masih menangis setelah berbicara dengan ibunya. Isak tangis kekecewaan karena pengaduannya hanya dibalas dengan menyuruhnya untuk minum obat. Viona telah mengasuh Isabel selama setahun terakhir, terlihat sedih dan bingung melihat Isabel yang selalu menderita karena khayalan-khayalan Isabel tentang sosok-sosok yang dilihatnya. Dia telah berusaha menenangkan Isabel dengan rayuan dan bujukan juga janji-janji akan membelikan mainan, jalan-jalan ke disneyland, piknik ke pedesaan dan lainnya, tapi Isabel bergeming. Sambil terisak-isak, Isabel sedang berusaha berbicara kepadanya. Viona dengan penuh kesabaran, terus-menerus membesarkan hati Isabel. “Bicaralah, hentikan dulu tangisnya, nanti boleh lanjut lagi menangis kalau sudah selesai bicaranya.” Viona berujar dengan nada pelan dan lemah lembut sambil mengelus-elus rambut Isabel. “Tan ... tante, hiks, I ... Ibel mau cerita Hiks.” Terbata-bata Isabel berusaha berbicara seraya punggung tangannya sibuk bolak balik mengelap air mata di pipinya yang tembem. “Iya, tante Vio dengerin kok, ayo, Ibel mau cerita apa?" Viona membantu mengelap air mata Isabel dengan jempol tangannya. Isabel mengangguk-anggukan kepalanya untuk menahan isakannya, “Tante yang matanya sipit itu, hiks, dia sekarang ada di depan Ibel, hiks. Tapi dia engga mau ngomong apa-apa, kalau Ibel tanya diam aja. Ibel kesel di ikutin terus tante ... waaa ... hiks.” Tangis Isabel pecah lagi di ujung kalimatnya. Tidak lama, Isabel melanjutkan, “Ibel kasian sama tante itu, hiks, dia kesakitaaan ... aaa huaa” Isabel menangis lebih kencang dan lepas sekarang. Viona mendadak merinding, bulu kuduknya berdiri. Pertama kalinya dalam satu tahun ini, ucapan Isabel membuatnya merinding, terutama, bagian perasaan Isabel yang merasa kasihan karena tante sipit yang dilihatnya, kesakitan. Viona berpikir keras, bagaimana caranya menghadapi Isabel, bagaimana caranya menanggapi pembicaraan Isabel yang masih kanak-kanak itu. “Kan ada banyak jenis komunikasi, Ibel, maksud tante Vio, Ibel mungkin bisa ajak bicara tante sipitnya dari hati ke hati? Tapi, Ibel harus berhenti menangis supaya bisa melakukan itu.” Ujar Viona sambil kaget sendiri, karena merasa aneh, mendukung sikap tidak masuk akalnya Isabel. Isabel berhenti dari tangisnya, matanya mengerjap sambil memiringkan wajahnya dengan mimik serius, dia tertarik dengan apa yang telah diucapkan oleh Viona. “Caranya bagaimana tante?” Tanya Isabel dengan bola mata membesar, tampak imut dan lucu. “Hm ... caranya kalian berdua berhadapan, Ibel tutup mata, jangan berbicara, tapiii dalam hati Ibel, tanyakan apa yang ingin Ibel tanyakan kepada tante sipit itu, bisa kan?" Merasa terlanjur telah mengatakan yang tidak masuk akal, Viona malah kebablasan. “Waduh, sudah gila kali aku ya, bisa-bisanya ngajarin Ibel yang ane-aneh begini.” Viona membatin dan merasa menyesal. Viona kembali merasa merinding, kali ini hawa dingin menghempas ke seluruh tubuhnya walaupun hanya selintas. "Tante sipitnya mengangguk tante, dia senyum sama tante." Isabel menengadah, tatapan matanya melewati bahu Viona. Viona terdiam kaku. Dia merasa membutuhkan bantuan profesional juga sama seperti Isabel karena telah melakukan pembicaraan yang sangat aneh dan tidak masuk akal. ◇◇◇ Miranda membuka matanya perlahan, kini perasaannya lebih ringan. Dia mengambil map biru yang diantar tadi oleh kepala keamanannya. Miranda membuka sampul depan map dan mengambil berkas di dalamnya. Hanya sekedar data formal biasa, Miranda tidak bisa melihat lebih dalam lagi dari informasi tersebut. Dia mulai bosan membaca seabrek prestasi dan penghargaan untuk gadis itu. Senyum sinis sambil menggelengkan kepalanya, Miranda melemparkan map biru itu melalui mejanya. Kertas berhamburan jatuh ke lantai. Miranda membuka laptop pribadinya, lalu mulai mencari-cari informasi melalui berbagai media sosial dengan nama ‘Florentia Widjaja’. Memulai melakukan stalking terhadap seseorang merupakan hiburan yang menyenangkan bagi Miranda. Setalah searching kesana-kemari, Akhirnya Miranda menemukan apa yang dicarinya. Di kumpulkannya semua data termasuk poto, video, perjalanan sekolahnya, teman-temannya, teman kencannya dan hal-hal lain. Profile Florentia Widjaja, sangat cocok dengan kriteria yang di tetapkan oleh Manda. Miranda menyeringai aneh. Menatap poto-poto Florentia dengan tatapan liar. Sesuatu mulai berdesir memenuhi rongga dadanya hingga penuh. Miranda terbatuk-batuk, berdiri dari kursinya dan terhuyung-huyung ke depan sambil membungkuk. “Manda, pergi dulu, please. Aku masih ada kerjaan. Manda pergii ....!” Miranda mengusir Manda di dirinya sambil terengah-engah. Miranda tergesa-gesa masuk ke toilet pribadi di ruangan kantornya. Memutar kran air dingin di wastafel, lalu menyiduk airnya dengan kedua telapak tangannya dan menghamburkan air itu ke wajahnya. Seketika dia merasa segar kembali. Perasaanya ringan dan lega. Miranda merapikan riasan, mengganti baju kerja dengan baju yang dibawanya dari rumah yang memang telah dia siapkan untuk acara dinner meeting malam ini. Mengganti high heels dan tas, merapikan dokumen yang di butuhkan, lalu memanggil sekretarisnya, untuk membawakan dokumen tersebut ke tempat meetingnya nanti. Miranda keluar dari ruangan kerjanya, melangkah anggun dan berwibawa. Saatnya jalan-jalan menghirup udara segar di taman kompleks perkantoran ini. Kebiasaan yang selalu dia lakukan saat hari tidak hujan atau tidak sedang keluar kota. Angin bertiup kencang, taman yang dikelilingi gedung-gedung tinggi itu telah memerangkap angin. Sehingga hembusannya sangat kuat dan memutar di tempat. Maka tidaklah heran jika suasana sore di sekitar taman, udara akan terasa sedikit sejuk dan menenangkan. Miranda menarik resleting pada jaketnya sampai ke batas lehernya. Dia sangat menyukai belaian angin di wajahnya, seakan-akan angin itu mampu menyapu setiap hal-hal kecil yang mengganggu pikirannya. Dia punya tempat duduk favorit. Sebuah bangku yang bisa menampung untuk duduk dua orang. Tempat itu cukup tersembunyi sebab dipayungi oleh pohon tua pendek yang lebat daunnya dan ranting-rantingnya melengkung ke bawah seolah-olah sedang melindungi siapa pun yang tengah beristirahat di bawahnya. Miranda sangat menyukai keadaan yang membuatnya merasa terlindungi. Karena di situlah dia bisa mencari ide-ide segar untuk pengembangan usahanya atau menyusun sebuah rencana berdarah bersama Manda, melalui mata batinnya. Hanya saja, Manda tidak diperbolehkan beredar menampakkan diri di seputar kantor dan tempat-tempat penting yang berkaitan dengan bisnis Miranda. Meskipun Manda selalu berusaha untuk lebih dominan, sebagai pribadi yang bebas menikmati apa pun yang ingin dia nikmati, Miranda tidak akan pernah mau mengijinkan hal itu terjadi, karena berpotensi tinggi membahayakan kehidupan mereka. Hidup haruslah terkungkung dalam aturan-aturan yang berlaku. Sampai detik ini, Miranda masih mengontrol semuanya. Karena dialah yang tampil sebagai mesin pencetak uang untuk mereka bertahan hidup dan membiayai operasional Manda juga dirinya, yang haus darah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD