Berangkat ke kota

1084 Words
Bunga gadis cantik dan lugu yang baru tiba dari desa itu menatapi dengan tatapan norak gedung-gedung bertingkat pencakar langit yang menjulang tinggi. Baru kali ini Bunga melihat dengan kedua matanya sendiri gedung-gedung besar seperti itu. Biasanya ia hanya melihat keramaian ibu Kota dari televisi. "Pasti Ridwan seneng ya kang, kalo tadinya di ajak ikut sama kita,” kata Bunga tersenyum. Kedua matanya masih memandangi pemandangan jalan. Lalu lalang kendaraan bergerak dengan cepat. Langit berwarna orange keemasan sudah mulai terlihat. Pertanda hari sudah menjelang sore. “Ya, nanti setelah kamu sukses bekerja di kota, kamu bisa ajak ibu dan adik kamu itu tinggal di sini,” kata Seno menyemangati Bunga. Bunga tersenyum lebar dan nampak sangat bahagia. Harapannya sangat besar datang ke kota ini. Mengubah nasib keluarganya. Sesampainya di ibu kota, ia tidak ingin membuat ibunya kecewa dan menyia-nyiakan air mata ibu yang berderai deras ketika melepaskan kepergiannya bekerja di kota. Ridwan, adik Bunga pun tidak hentinya menangis sambil menyebut nama Bunga agar tetap tinggal di kampung. Tapi desakan ekonomi semenjak sepeninggalnya ayah Bunga dengan hutang yang menumpuk, membuat ia harus membulatkan tekat untuk bekerja di ibu kota. Gaji yang besar, enam juta rupiah sebulan dengan bekerja sebagai pelayan membuat Bunga mau diajak bekerja ke ibu kota bersama Seno. Tetangga Bunga yang sejak kecil sudah dikenalnya. “Masih jauh engga kang?” tanya Bunga sambil menatapi luar jendela. Hari sudah mulai sore dan akan menjelang malam. “Engga sebentar lagi,” jawab Seno sambil tetap mengemudikan kendaraannya dengan fokus. Ia menatap ke arah depan jalanan. Beberapa jam kemudian, saat hari telah gelap. Mobil yang dikemudikan Seno telah sampai di sebuah lokasi yang ramai dengan lampu-lampu warna warninya. Suara gemuruh musik yang nyaring terdengar hingga keluar. Banyak para wanita memakai pakaian sexy dan sangat akrab dengan para pria. “Ayo turun,” kata Seno pada Bunga. “Sudah sampai.” Bunga melihat ke arah gedung besar yang bertulis Club and Karoke di depannya. “Aku akan bekerja di sini kang?” tanya Bunga pada Seno yang sudah membuka pintu mobilnya. Seno menganggukan kepalanya. “Iya, mangkanya cepat turun.” Bunga percaya saja dengan apa yang dikatakan Seno. Ia pun turun dari dalam mobilnya sambil membawa tas koper yang dijinjing. Beberapa orang pria dan wanita menatap Bunga dengan tatapan aneh. Sekilas terdengar mereka berbisik-bisik, “Anak baru. Anak baru.” Bunga berjalan menunduk, ia tidak percaya diri dengan menatap banyak mata yang sedang memandangnya. “Kamu duduk di sana dulu ya. Akang mau cari Nyonya yang punya club ini,” kata Seno sambil menunjuk ke arah sofa sudut yang ada di ujung. Bunga pun menurut. Ia hendak ke arah sofa yang ada di ujung sambil membawa tas ranselnya. “Tapi aku pasti kerja di sini kan?” tanya Bunga sebelum ia melangkah maju. “Iya. Kamu pasti kerja di sini. Tenang aja. Pokoknya tunggu akang di sana. Kang Seno bakal balik lagi ke sini. Ini akang lagi nyari calon bos kamu,” kata Seno lagi. Bunga menganggukan kepala mengerti dan berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk Seno. Bunga duduk manis di sana sambil melihat-lihat tempat yang kelak akan menjadi tempat kerjanya. Bunga berfikir ia akan bekerja sebagai pelayan di sini. Hanya membawa minuman dan makanan kepada pengunjung yang datang. Tapi Bunga sedikit aneh dengan tempat yang kelak akan menjadi tempat kerjanya. Tempat ini menjual berbagai minuman beralkohol. Para pelayan pun sepertinya tidak terlihat. Hanya beberapa wanita dengan pakaian sexy sambil menemani pengunjung pria. Belum lagi, Bunga melihat beberapa om-om genit yang mulai nampak menjijikan dengan menciumi leher dan juga mengelitiki seorang wanita berpakain sexy yang menemaninya. Membuat Bunga bergidik ngeri melihatnya. Perasaan Bunga sudah tidak nyaman. Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, tidak terasa sudah hampir dua jam Seno tidak kembali lagi menemui Bunga. Entah kemana orang itu? Lama sekali mencari bos Bunga. Bunga sudah gelisah. Perasaannya sudah tidak enak sejak tadi. Ia berdiri karena terlalu lelah menunggu dan berniat akan bertanya kepada orang-orang disekitar sini apa melihat Seno. Belum juga kaki Bunga melangkah untuk mencari Seno dan bertanya pada orang-orang disekitarnya. Seorang wanita paruh baya, berwajah cantik, berkulit putih dan bertubuh sexy. Dengan pakaian yang sedikit terbuka dan mempertontonkan belahan di dadaanya berjalan menghampiri Bunga. Bunga hampir ternganga melihat wanita itu. Karena di kampungnya, Bunga belum pernah melihat seorang wanita yang cantik, sexy dan memakai pakaian kurang bahan seperti itu. Di dalam hati ia berkata, ‘Apa wanita ini tidak masuk angin, memakai pakaian terbuka dengan belahan dadaa yang nampak terlihat?’ `Wanita yang menghampiri Bunga, kini memandangi Bunga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia memastikan barang yang ia beli tidak cacat. Cantik, mulus dan setimpal. “Hai Bunga.... Aku Hesti. Sekarang aku adalah Mami mu,” kata Hesti sambil menghembuskan asap rokok pada Bunga. Setelah itu Hesti kembali menyesap sebatang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya. “Semoga kamu betah di sini dan jangan nakal. Ayo ikut Mami ke kamarmu. Malam ini kamu istirahat saja. Cape kan ya baru datang. Dan besok kamu harus siap bekerja ya cantik...” Hesti menyentuh dagu Bunga yang bagus berbelah dua. “Mami?” tanya Bunga tidak mengerti. “Bukannya anda Bos saya ya?” Hesti tertawa simpul. “Aduh kamu polos sekali Bunga. Sama seperti namanya, Bunga. Terdengar polos dan menggemaskan.” `Bunga semakin merasakan perasaan tidak enak hati. “Aku itu Mami kamu. Boleh sih kamu menganggap aku itu bos kamu. Karena aku udah membeli kamu. Tapi engga usah manggil aku bos juga. Panggil aku, Mami. Itu sudah cukup. Ayo sekarang ikut aku.” Bunga masih berdiam diri. Ia tidak bergerak maju. Kakinya terasa berat melangkah. Ia memang gadis kampung, tapi ia tidak bodoh. ‘Mami?’ tanyanya di dalam hati. Bunga menatap ke arah seluruh ruangan yang besar dan memiliki lampu penerangan yang redup. Suara musik pun mengalun sangat keras, membuat indra pendengaran Bunga berdengung. “Tunggu...! Tunggu...! Seno dimana?” tanyanya yang sudah mulai khawatir. Semoga saja apa yang difikirkannnya itu salah. “Siapa? Seno?” tanya Hesti berbalik. "Pria yang bersamamu?" Bunga menganggukan kepalanya. Hesti mencibirkan bibirnya ke depan dan memasang ekspresi wajah sedih. “Seno sudah pulang dari tadi setelah menerima uang tiga ratus juta rupiah. Dia langsung pergi setelah menjualmu.” “Apa??!!” seru Bunga tidak percaya. Tas jinjing berisikan pakaiannya pun jatuh ke bawah. ‘Tidak! Ini tidak mungkin! Tidak mungkin kang Seno, tetangga yang sudah kuanggap kakak sendiri malah tega menjualku?’ pekik Bunga. Kata-katanya tidak dapat keluar. Suaranya hilang seketika. Lidahnya kelu untuk berucap. Bunga syok dengan apa yang telah terjadi pada dirinya malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD