Part 1

481 Words
Hidup bukan tentang apa yang kita mau dan tidak mau Hidup tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan Hidup bukan tentang menerima atau menolak Hidup bukan tentang kesuksesan atau kegagalan Hidup, itu tentang bagaimana kita melanjutkan sesuatu yang bahkan saat itu tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Udara dingin begitu terasa di ruangan yang seharusnya hangat itu. Bukan karena perapian yang tak dinyalakan. Bukan pula karena mereka sengaja membuka jendela ditengah udara musim dingin Turki. Tapi karena aura yang memenuhi ruangan itulah yang membuat semuanya tampak dingin. Sesosok pria bertubuh tinggi besar tampak memandang keluar jendela. Tidak ada binar kelembutan di wajahnya, apalagi binar bahagia. Rahangnya kaku, sementara sorot matanya datar. Pria itu, tak lagi seperti pria muda yang dikenali kedua orangtuanya. Pemuda yang dulu begitu lemah lembut dan selalu santun, pemuda yang dulu selalu penuh perhatian dan sering tersenyum itu kini seolah kehilangan jati dirinya. Sosoknya berubah seperti musim dingin yang membawa salju. Dingin dan kaku. Dua pasang mata yang tak lagi muda itu hanya bisa memperhatikan sang anak dengan rasa rindu. "Sampai kapan?" pertanyaan bernada sedih itu terlontar dari sosok wanita yang kecantikannya tak pudar meskipun usianya tak lagi muda. "Sampai saatnya tepat." Jawaban sang anak yang bahkan tak sedikit pun berniat untuk menoleh dan memandang kedua orangtuanya. Helaan napas terdengar diantara suara retaknya kayu yang dilahap api dalam perapian. "Apa kau lupa seperti apa Papa dulu, nak?" suara yang tak kalah tajamnya itu muncul dari pria tertua yang ada di ruangan itu. "Hal yang Papa sesali sepanjang hidup Papa adalah tidak berada di sisi kakakmu ketika dia membutuhkan Papa. Dan sekarang, apa kau ingin mengulang sejarah yang sama?" Sosok itu menegak. Setitik—tidak, banyak rasa sakit masuk ke relung hatinya. Sungguh, ia tidak ingin masa lalu terulang lagi, ia tidak ingin putrinya mengalami hal yang sama seperti yang kakaknya alami dulu. Tapi mau bagaimana? Rasa sakit akibat kehilangan itu masih saja menyerangnya. Menghantui setiap malamnya. Kenangan indahnya berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dan setelah semua itu, dia menjadikan putrinya—putri yang diinginkannya. Putri yang seharusnya dicintainya—sebagai pelampiasannya. "Apa yang terjadi, semua itu adalah takdir. Kau paham mengenai itu. Tapi kenapa kau bersikap seperti ini?" lirih sang ibu. Mendengar wanita yang dicintainya, ia pun turut sedih. Tapi egonya mengalahkan semua itu. Semua orang salah di matanya. Bahkan Tuhan pun dianggapnya kejam, karena sudah mengambil wanita yang paling dicintainya begitu cepat. Pria tertua yang ada di ruangan itu bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang tidak lagi berotot seperti dulu, masih menyisakan kebugarannya meskipun mulai ringkih di makan usia. Ia berjalan perlahan mendekati sang anak dan menepuk bahunya dengan tangan besarnya yang mulai berkeriput. "Kembalilah, Ilker. Kembali pada keluargamu. Kembali pada putrimu. Ilsya menunggumu. Ilsya membutuhkanmu. Kembalilah sebelum semuanya terlambat." Dan setelah menepuk bahu anaknya. Adskhan pun kembali kepada istrinya yang sudah berdiri dan mengulurkan tangannya. Meninggalkan sang putra dalam keheningan yang ia inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD