Cinta dengan tapi

1030 Words
Melani diam tak bersuara saat Bagas suaminya mengajak bicara. Dia tetap membisu meski sang suami bercerita dengan antusias tentang perjalanan bisnisnya tempo hari. Melani hanya bisa tersenyum sinis tatkala sang suami menjelaskan betapa suksesnya kerjasama dengan mitranya kali ini. "Sayangku, kenapa kau diam saja? Apa kau marah karena oleh-oleh yang kubawakan tidak sesuai seleramu?" tanya Bagas. Melani kembali tersenyum sinis pada suaminya. Dadanya bergemuruh dengan rasa sakit atas penghianatan yang kembali dilakukan sang suami. Perjalanan bisnis yang ia katakan hanya alibinya saja untuk bersenang-senang dengan sekretaris barunya. "Aku lelah, mau tidur dulu. Selamat malam!" ucap Melani kemudian dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Bagas segera menyusulnya ke tempat tidur. Dia memijat bahu istrinya pelan dan sesekali mengecup helaian rambut Melani. "Sayang, aku sangat sangat merindukanmu," ucap Bagas sembari terus menggerakkan tangannya di sepanjang punggung istrinya. Jika dulu dia merasa tersanjung dan berdebar-debar saat mendengar kata rindu dari Bagas maka kini dia akan muak dan jijik saat mendengarnya. "Hentikan, aku benar-benar lelah hari ini!" ucap Melani. Bagas mengabaikan ucapan Melani dan terus menjelajahi tubuh istrinya. Dia tahu Melani berusaha menolaknya tapi bukan Bagas namanya jika tidak bisa menaklukan wanita jika sudah di atas ranjang. Jika hanya menaklukan Melani, bagi Bagas seperti sepotong kue. Dia sudah hapal dengan semua titik sensitif Melani. Tubuh istrinya akan merespon dengan baik semua pada setiap sentuhannya. "Mel, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Sayangku." Ucapan Bagas seperti pisau kecil yang menyayat kulit dan memisahkan dengan dagingnya. Perih yang dirasakan Melani tak terperi. Kata cinta dari mulut Bagas bagaikan racun yang lebih mematikan dari sianida. Melani menutup kedua telinganya dengan tangan. Masih segar dalam ingatan Melani saat tadi sore di pertemuan keluarga, orang-orang menggunjing dirinya yang tetap mempertahankan ikatan pernikahan dengan Bagas. "Pasti karena takut miskin. Dia kan yatim piatu, tidak punya saudara lagi. Kalau cerai dari Bagas mau makan apa dia?" "Tidak punya harga diri, kalau saya punya suami begitu sudah saya tinggalin." "Yang penting jaman sekarang kan uang, selama ada uang Abang disayang." "Tapi aku tetep gak mau, ah. Mau setampan apapun kalau milik bersama. Ih ... amit-amit." "Wanita bodoh, kayak gak ada laki-laki lain saja!" Melani tidak keberatan dengan bisik-bisik orang tentangnya karena semua itu benar. Jangankan bicara di belakang, meraka bahkan tidak segan-segan mengatakan hal itu di depan wajahnya langsung. Bagas mengecup tangan Melani yang menutupi telinganya. Istrinya bertingkah aneh kali ini. Dia curiga Melani tahu dia kembali bermain api. Rasa takut tiba-tiba menelusup jantung Bagas, bukan takut karena ketahuan dia berselingkuh lagi. Akan tetapi dia takut kalau Melani akan berhenti mencintainya. Bagas adalah satu dari sekian banyak lelaki egois yang hidup di dunia. Dia bisa hinggap di pelabuhan manapun namun tak mengijinkan istrinya pergi menemukan kebahagiaan lain. Dia ingin istrinya tetap menemani di rumah. Rasa takut membuat Bagas bergerak dituntun oleh rasa dominasinya pada sang istri. Lelaki itu memaksakan dirinya masuk pada wanita yang secara halus menolaknya. Tidak ada kata tidak dalam kamus Bagas. Air mata Melani jatuh membasahi pipinya, dia tidak berdaya menolak sang suami. Masih menjadi kewajiban baginya melayani keinginan sang suami karena statusnya masih sebagai istri sah secara hukum dan agama. Hal seperti ini terjadi hampir setiap kali Bagas pulang dari perjalanan bisnisnya. "Sayang, aku mencintaimu," ucap Bagas terus menggemakan kata cinta meski ia tahu Melani menolak untuk mendengarnya. Melani diam tak menjawab, air mata yang menetes cukup untuk menunjukan luka yang dideritanya. Bagas mencium bulir bening air mata yang turun membasahi pipi istrinya. Hatinya ikut sakit melihat wanita kesayangannya bersedih. "Sayang, aku sudah kembali. Jangan bersedih lagi, besok aku akan membawamu dan Ndu jalan-jalan, okay?" ucap Bagas. Melani tetap diam, bicara dengan Bagas hanya semakin menyesakkan dadanya. Karena laki-laki itu akan menutup mata pada keluh kesahnya. Apa itu cinta? Jika dia sangat mencintai Melani kenapa Bagas masih berpetualangan dari satu wanita ke wanita yang lain. Jika memang sudah tidak cinta kenapa Bagas tidak melepaskan Melani saja? Pertanyaan yang sama terus berputar-putar di kepala Melani. Ketika suaminya terlelap dia turun dari ranjang dan menuju ke kamar mandi. Melani melucuti sisa pakaian yang menempel di tubuhnya lalu berendam di dalam bathtub. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri yang masih bisa menerima Bagas, suaminya yang tidak segan-segan meninggalkan jejak kelelakianya pada setiap wanita yang mendekatinya. "Kau bodoh Mel," gumam Melani pada dirinya sendiri. Air dingin yang mengalir hampir merendam dirinya di dalam bathtub. Pandangannya kosong, hanya bisikan-bisikan orang yang terus menggunjingnya. "Untuk apa kamu hidup, Mel?" gumam Melani dengan bibir gemetar. Malam ini sangat dingin dan Melani merendam tubuhnya dengan air dingin. Melani terbayang dengan tatapan orang-orang yang mengenalnya. Sebagian menatapnya iba, yang lain merendahkan dan sebagian besar jijik padanya. 'Aku juga ingin suami yang setia seperti suami-suami kalian. Aku tidak butuh harta yang melimpah. Aku tidak mata duitan,' batin Melina. Seandainya Melani diberi kesempatan untuk memilih, dia rela hidup pas-pasan asalkan Bagas bisa mencintainya seperti dulu. Seperti saat-saat mereka masih meniti karir masing-masing. Bagas hanya mencintainya seorang tanpa ada wanita lain. Air dari kran masih terus mengalir meski bathtub sudah penuh. Melani membiarkan air luber, dia menjadikan suara dari air yang mengalir untuk menemaninya malam ini. Dia sangat kesepian. "Aku tidak tahu malu. Hidupku mengenaskan, tidak ada gunanya aku hidup," gumam Melani. Bibirnya sudah membiru dan tubuhnya mulai menggigil namun ia tak beranjak bangun. Pandangannya nanar membayangkan apa yang sudah menimpanya. Ditambah lagi dengan kata-kata tidak manusiawi yang dilontarkan oleh orang-orang terdekatnya. Sebagian perempuan yang seharusnya memberikan dukungan moril malah beramai-ramai menyudutkannya sebagai perempuan bodoh. "Aku memang bodoh," gumam Melani lagi dan lagi. Tetes demi tetes air mata mengiringi gumaman dari bibirnya yang gemetar. Suara air yang mengalir tak di dengar oleh Bagas. Dia tertidur pulas setelah bergulung dengan Melani. Hati dan jiwanya puas karena masih bisa menaklukan Melani di ranjang. Baginya semua masalah bisa diselesaikan di tempat tidur. Melani masih berendam di kamar mandi. Pikiran dan tubuhnya sudah sangat lelah. Dia ingin beristirahat untuk selamanya. Dia tidak mau lagi mendengar cibiran dan hinaan. Dia juga tidak mau lagi bersama dengan laki-laki yang mencintainya namun meninggalkan benih dimana-mana. Di malam yang dingin di temani suara air yang mengalir Melani memejamkan mata dan membenamkan kepalanya ke dalam bathtub. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD