Perjodohan

1119 Words
Sepasang kaki kurus berbalut kaos kaki coklat, berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke motor butut yang ada di depan sebuah rumah sederhana. Rok hitam panjangnya sesekali menyapu tanah. Tubuh tinggi kurusnya sebenarnya tidak sesuai dengan baju batik yang agak kebesaran. Namun, begitulah style wanita itu. Dia suka memakai baju yang kedodoran, entah kenapa. Sambil berjalan, tangannya sibuk membenahi jilbabnya yang masih berantakan. Nurlaila. Begitulah orang-orang biasa memanggilnya. Wanita 27 tahun itu mematut dirinya di depan kaca spion motornya, memastikan bahwa jilbabnya sudah terpasang dengan rapi. Setelah dirasa rapi, wanita itu segera melajukan motornya dengan kencang menuju ke sebuah bangunan sederhana, tempat di mana dia mengabdi. Pagi-pagi, jalanan di Blitar tidak begitu ramai, karena dia tidak melewati jalan utama. Hanya ada beberapa anak sekolahan yang melintas juga beberapa mobil yang mungkin mengantarkan pemiliknya ke tempat kerja. Nurlaila tidak sempat melihat kiri kanan karena berpacu dengan waktu. Wanita berlesung pipi itu menatap jam tangannya sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45. Sudah sangat terlambat. Nurlaila semakin mengencangkan laju motornya. Ciiiiit, Braaak. Mobil di hadapannya berhenti mendadak, sementara motor butut Nurlaila tidak bisa mengerem dengan pakem. Akhirnya motor butut tahun 70-an itu mencium bagian belakang mobil warna hitam yang ada di hadapannya. Nur Laila terantuk, tetapi untungnya dia tidak apa-apa. Dia langsung menutup mulutnya saat mengetahui bahwa mobil yang dia tabrak itu baret-baret. Mengetahui ada yang sedang menubruk mobilnya, sang pemudi langsung turun. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dengan potongan rambut undercut, tetapi atasnya tidak terlalu tebal, turun dari mobil dengan kacamata hitamnya. Dengan wajah dingin, laki-laki itu menatap mobilnya yang baret, lalu mengelusnya dengan wajah kesal. Lalu, laki-laki itu menatap ke arah Nurlaila yang sedang melongo menatap laki-laki tampan yang ada dihadapannya. Ya, laki-laki itu sangat tampan bagi ukuran orang desa. Wajahnya tampak tegas dan karismatik seperti Herjunot Ali, artis favorit Nurlaila. "Mbak, bisa naik motor apa nggak? Mobil sedang berhenti Kenapa ditabrak? Lihat ini mobil saya baret-baret." Laki-laki itu protes dengan mata memerah karena marah. "Maaf, Mas. Mas yang tadi berhenti mendadak di hadapan saya. Jadi bukan salah saya dong kalau saya menabrak?" "Kalau saya berhenti mendadak, mbak juga ikut berhenti mendadak dong. Lihat mobil saya, baret-baret tidak karuan." "Maafkan saya Mas," ucap Nur Laila akhirnya. Jantungnya berpacu dengan begitu cepat. Antara rasa takut dan rasa kagum dengan ketampanan laki-laki itu. Ya, dia persis seperti artis favoritnya, Herjunot Ali. Rambut tipisnya, rahang kokohnya, juteknya, benar-benar mirip. Ah, sayang dia begitu garang. "Seharusnya aku minta ganti rugi sama kamu, tetapi mana mungkin kamu bisa ganti rugi kalau motor saja butut begini," ucap laki-laki itu sambil memandang rendah motor merah tahun 70 an milik Nur. "Mas Herjunot, ini bukan sepenuhnya salah saya. Mas berhenti mendadak tanpa aba-aba, sedangkan motor saya Ini remnya tidak begitu pakem. Maklum motor tua." "Kamu menyalahkan saya?" "Kalau orang yang salah pasti akan saya salahkan." "Tidak akan ada gunanya berdebat sama kamu. Oh ya, tadi kamu manggil saya siapa?" "Mas Herjunot. Mas sebenarnya ganteng seperti Herjunot Ali, sayangnya galak." "Dasar wong sinting," ucap laki-laki itu dengan kesal. Dia menatap Nur sejenak dengan tatapan kebencian Lalu dia melenggang pergi menuju ke mobilnya. "Huft … koe Kuwi sing gendheng. Wis bagus-bagus tapi ora nduwe akhlak," ucap Nur Laila bersungut-sungut. Nurlaila mengakui kalau laki-laki itu memang tampan, sangat tampan untuk ukuran orang desa. Tetapi sikap dinginnya, serta kesombongannya, membuat kadar ketampanannya turun berapa derajat. Setelah mobil yang ada dihadapannya melesat pergi, Nurlaila segera melajukan motornya menuju ke TK NUR IMAN. Tempat dia mengabdi sejak 9 tahun yang lalu. *** Nurlaila memarkirkan motornya di bawah pohon besar yang ada di depan TK Nur iman. Bangunan TK yang hanya sepanjang 13 m dan lebar 7 m itu berdiri kokoh di hadapannya. Sudah ada beberapa siswa yang menunggu kehadirannya. Ya, seperti biasa. Anak-anak yang datang terlebih dahulu selalu menyambut kedatangan para guru dengan senyum merekah sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Sang Guru. Mereka berebutan mencium punggung tangan Nurlaila. Ah, inilah saat-saat yang selalu dirindukan oleh wanita itu. "Ayo, bantu Bu guru menyapu, Cah!" teriak Bu Ambar yang saat itu sedang menyapu halaman. Ah, ini karena Nurlaila terlambat, jadi tidak bisa membantu menyapu sehingga jam segini anak-anak belum juga dibariskan. Nurlaila segera turun dari motornya dan membantu Bu Ambar menyapu halaman dengan tergesa. Waktu sudah pukul 7 tepat, seharusnya anak-anak sudah berbaris tetapi Bu guru masih sibuk menyapu. "Bu, tumben Bu Nur hari ini terlambat?" tanya Bu Ambar sambil menyapu dengan tergesa. "Iya, Bu. Tadi ada kecelakaan kecil, saya menabrak mobil yang berhenti mendadak di hadapan saya bu. Jadi mau tidak mau harus berhenti sebentar." "Oalah, Bu. Kok ada-ada saja. Ya sudah, Bu Nur bariskan anak-anak saja biar saya yang meneruskan menyapu. "Baik, Bu." Ya, begitulah suasana pagi bagi ibu guru TK. Untuk TK kecil yang berdiri di salah satu desa di kabupaten Blitar ini, gurunya memang harus merangkap. Kadang menjadi tukang kebun, kadang menjadi tukang cat, dan paling sering menjadi baby sitter. Ya, tidak ada tukang kebun atau tukang sapu seperti yang ada di sekolah-sekolah besar. Jangankan untuk mengaji tukang kebun, untuk menggaji guru saja kadang pengurusnya kembang kempis. Ya, itulah fakta untuk sekolah-sekolah kecil di pedasaan. *** "Nduk, Nur Laila. Sekarang umur kamu sudah 27 tahun. Bapak mau tanya sama kamu, Apakah kamu sudah memiliki calon?" "Belum, Pak." Nur Laila menjawab dengan suara lirih. Pertanyaan ini sangat menyakitkan bagi Nurlaila. Dia bukannya tidak ingin memiliki calon, tetapi mungkin memang Allah belum menunjukkan jodohnya saja. Nurlaila tidak menoleh kearah bapaknya, dia masih sibuk menggoreng keripik pisang. Ya, selain menjadi seorang guru TK, Nurlaila adalah seorang penjual keripik pisang. Dari situlah dia mendapatkan penghasilan. "Belum? Jadi, apakah kamu bersedia kalau bapak menjodohkan kamu dengan salah satu anak temen Bapak? Kebetulan beliau sudah pernah melihat kamu, dan ingin melamar kamu untuk putranya. Ibunya adalah teman baik ibumu dulu, Nduk. Apakah kamu bersedia?" Nurlaila segera mematikan kompornya dan mengangkat keripik pisang gorengan terakhir. "Nurlaila ikut Bapak saja. Kalau menurut Bapak baik, tidak ada alasan bagi Nur untuk tidak menurut sama Bapak." Ya, itulah Nurlaila. Ucapan bapaknya seperti Titah yang harus dia patuhi. Iya. Karena bapaknya adalah satu-satunya orang tua yang tersisa. Nurlaila sangat menyayangi bapaknya, bapak yang selalu menjadi pelindungnya sejak dia kecil dan Bapak yang selalu mengupayakan yang terbaik untuk dirinya. Nurlaila sangat menghormati bapaknya sehingga apapun yang diminta oleh bapaknya asal itu hal yang baik, Nurlaila tidak mungkin menolak. "Kamu serius?" Nurlaila meletakkan keripik pisang yang sudah matang di atas wadah, lalu wanita itu menoleh ke arah Sang Bapak. "Kapan Nurlaila pernah membantah permintaan Bapak?" Nur Laila menatap wajah Bapaknya yang sudah mulai keriput di usianya yang memasuki 60 tahun. Ah, mungkin Nurlaila terlalu cepat Mengiyakan permintaan bapaknya, tanpa dia tahu siapa dan seperti apa orang yang akan dijodohkan kepada dirinya. Ah, tetapi sudahlah. Nurlaila yakin bapaknya Tidak mungkin memilihkan orang yang tidak baik untuk dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD