1. Perkenalan

1057 Words
Tahun akademik baru sudah dimulai. Para mahasiswa baru yang sudah menjalani orientasi akademik selama seminggu kini siap menjalani perkuliahan. Para dosen pun juga siap membimbing mahasiswa mereka yang masih 'polos' menjadi pribadi yang berkualitas dalam akademik dan keterampilan agar saat mereka lulus, mereka mampu bersaing dalam kerasnya dunia kerja. Sebuah motor sport memasuki area parkir khusus sepeda motor. Sesosok pria dewasa yang memiliki wajah khas Timur Tengah, alis tebal, mata hazel, hidung mancung, rahang tegas dengan janggut tipis, dan bibir tipis yang sedikit kehitaman turun dari motor itu. Oh, tidak lupa rambut coklat, kulitnya yang putih, serta otot-otot kekarnya yang terlihat jelas di bagian lengan karena ia memakai kemeja abu-abu lengan panjang yang tergulung sampai siku di balik jaket kulit warna coklat tua yang ia buka setelah ia melepas helmnya. Para mahasiswi yang membuat suasana fakultas Sains dan Teknologi berisik mendadak sunyi saat pria itu masuk dengan langkah angkuh. Tas ransel hitam terpasang di punggung dan jaket kulit ia sampirkan di lengan kirinya. Mereka menatap kagum pada sosok sempurna yang melewati mereka begitu saja. Tanpa sapaan maupun senyuman ramah. Meskipun demikian, tetap saja mereka tak peduli selama mereka masih bisa menikmati kesempurnaan ciptaan Tuhan di depan mata. Pria itu melirik sebentar jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Sepuluh menit lagi perkuliahan dimulai dan ia mendapat jadwal mengisi mata kuliah di jurusan Kimia semester satu. Langkahnya semakin cepat agar ia tak terlambat. Dari kejauhan, seorang gadis bertubuh tinggi dengan kemeja berwarna merah dan celana kulot hitam berjalan tergesa-gesa menuju kelas tepat saat pria itu hendak masuk. "Tunggu! Tolong jangan ditutup dulu pintunya!" Gadis itu mencegahnya menutup pintu. Pria itu hanya menganggukkan kepala dan masuk terlebih dahulu, sedangkan gadis itu menutup pintu dan mengambil posisi duduk di barisan kedua tepat di samping seorang pemuda meskipun ada jarak di antara keduanya sekitar satu meter. "Hampir saja, Lara," bisik pemuda itu. Gadis yang dipanggil Lara itu mengangguk dengan napas tersengal-sengal. "Aku pikir udah mulai, Vino," sahutnya. "Santai, Lara. Tepat waktu kok," balas pemuda yang disapa Vino itu. Suasana kelas mulai tenang saat pria itu berdeham dan memperkenalkan diri. "Selamat pagi semuanya!" sapa pria itu. "Pagi, Pak!" balas seluruh mahasiswa. "Nama saya Selim Rayyanka. Saya memegang tiga mata kuliah untuk semester satu, termasuk mata kuliah hari ini. Jadi, saya minta kalian untuk disiplin waktu, baik itu kehadiran maupun pengumpulan tugas. Selama proses perkuliahan, saya juga tidak mau mendengar suara apa pun selain suara saya, kecuali bila ada yang ingin bertanya. Bagaimana, sepakat?" tanya Selim tegas. "Sepakat, Pak!" jawab seluruh mahasiswa. Selim duduk di kursinya dan mulai mengabsen satu per satu mahasiswa Kimia kelas A yang berjumlah 25 orang. "Alara Tsurayya!” "Hadir, Pak!" seru Alara. Selim memperhatikan dengan seksama penampilan Alara. Gadis itu berbeda dibanding mahasiswi lainnya yang biasa ia temui. Penampilannya sederhana, tetapi ia terlihat anggun dan memesona. Terlebih lagi rambut panjangnya yang ia gelung dan dijepit asal. Alara yang merasa ditatap begitu intens memilih untuk menunduk daripada memandang balik sang dosen yang kadar ketampanannya di atas rata-rata. Selim berdeham lalu kembali menyebutkan nama-nama mahasiswa hingga selesai. Hari ini, Selim hanya akan memberikan informasi tentang materi-materi apa saja yang akan dibahas dalam mata kuliah Kimia Dasar I ini, seperti apa tugas-tugas yang akan mereka kerjakan, dan tentu saja praktikum karena Kimia merupakan materi tentang Sains. Beberapa mahasiswa mengajukan pertanyaan terkait praktikum yang akan mereka lakukan nanti. Dua jam perkuliahan telah berakhir. Selim mengakhiri kelas dan pamit meninggalkan ruang kelas. Seluruh mahasiswa menghela napas. Beberapa mahasiswi menyesalkan perkuliahan terlalu cepat berakhir. Apalagi kalau bukan karena tidak melihat lagi ketampanan sang dosen. Lagi-lagi ruang kelas bising dengan perbincangan tentang ketampanan dosen itu dan Alara sendiri tak tertarik untuk membicarakannya. "Lara, ke kantin, yuk!" ajak Vino. Alara mengangguk. Vino meninggalkan ruang kelas diikuti oleh Alara di belakangnya. "Cewek-cewek di kelas sibuk membicarakan dosen tadi. Menurutmu gimana?" tanya Vino saat mereka sudah sampai di lantai satu. "Aku nggak tertarik untuk bertingkah seperti mereka," jawab Alara datar. "Oh, ya? Kenapa?" tanya Vino tak percaya. "Untuk apa membicarakannya?" tanya Alara balik. "Ya nggak sih," sahut Vino seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kita makan aja deh kalau gitu. Lapar," sambung Vino disertai cengiran khasnya. Alara tersenyum pada pemuda tampan itu dan berkata, "Ya udah. Berhentilah membicarakan hal yang nggak penting! Cukup kita bahas mata kuliah dosen itu, bukan orangnya." "Ya, kamu benar," sahut Vino. Makanan dan minuman pesanan mereka datang. Alara yang ingin sekali buang air kecil meminta izin pada Vino yang dibalas dengan anggukan kepala. Saat Alara keluar dari toilet yang ada di kantin, ia tak sengaja menabrak Selim yang membawa kopi hingga kopi tersebut tumpah mengenai pakaian Selim. Dosen itu mengetatkan rahangnya. "Kalau jalan itu mata ke depan!" bentak Selim. "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," ujar Alara yang kini tertunduk. Seringai sinis terbit di bibir Selim. "Kau harus dihukum, Alara," desis Selim yang terdengar menyeramkan di telinga Alara. Alara menelan salivanya dengan kasar. "Hukuman?" lirihnya. Selim mengangguk mantap. "Iya. Ada dua hukuman yang harus kau terima dariku, Lara," ujar Selim seraya bersedekap dan mata tajamnya tertuju pada gadis mungil di depannya. "Pertama, kau harus mengganti kopiku dengan kopi buatan tanganmu dan kedua ...." Selim membuka kancing kemejanya hingga yang tersisa hanya baju kaus hitam yang sangat pas di tubuhnya dan memberikannya pada Alara. "Cuci kemejaku! Lusa, kau harus mengembalikannya padaku! Mengerti?" titahnya. Alara mengangguk pelan. Selim malah mendengus kesal. "Apa kau bisu!" bentaknya. "Iya, Pak. Saya mengerti," lirih Alara. "Bagus! Sekarang, buatkan kopi untukku!" perintah Selim. Alara pun beranjak ke tempat duduknya terlebih dahulu lalu pergi ke dapur kantin untuk membuat kopi sesuai pesanan Selim sebelumnya. Kedua sudut bibir Selim terangkat begitu saja saat melihat betapa lincahnya gadis itu di dapur. Alara terlihat seperti sudah sangat terbiasa berada di dapur. Tak sampai lima menit, kopi untuk Selim sudah siap. Alara menyerahkan nampan tersebut pada dosen itu dengan hati-hati agar tidak tumpah seperti tadi. "Ini kopinya, Pak," ujar Alara. "Oke. Saya coba dulu. Kalau rasanya tidak enak, kamu harus membuatnya lagi." Selim pun menyeruput perlahan kopi tersebut. "Tidak buruk. Lebih baik kamu pergi dari sini." Alara mengangguk lalu segera pergi dari Selim. Sepeninggal Alara, Selim lagi-lagi tersenyum. Kopi buatan Alara sangat enak. Ia bahkan menikmatinya dengan nasi liwet pesanannya. Sesekali matanya tertuju pada Alara yang kini juga makan siang dengan seorang pemuda yang merupakan teman sekelas Alara. Senyuman itu kini berganti dengan seringai licik di wajah Selim. "Kurasa akan sangat menyenangkan bila sedikit bermain-main dengannya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD