Sendirian

1199 Words
Semilir angin memasuki celah-celah kamar, hingga membuat tirai bergerak liar ke sana-ke mari. Udara malam pun terasa dingin dan seketika menyelimuti tubuh gadis kecil berusia delapan tahun, Ariya Putri Kirana. "Mama belum pulang juga, ya?" tanya Ariya lirih. Manik matanya menatap ke arah jam dinding yang tergantung dan menunjukkan pukul sebelas malam. Gadis kecil itu hanya meringkuk di atas ranjang, sesekali bibir mungilnya berdesis kedinginan. Baginya, kesunyian di malam hari adalah hal biasa, tak pernah ada tawa seorang Ibu di rumah sederhana ini. Pandangan Ariya menyapu ke seluruh ruangan yang hanya berukuran enam meter persegi, tak ada yang berubah dari ruangannya, tetap sama seperti biasanya. Ariya beranjak dari kasur empuk menuju lemari kecil di sudut kamar. Tangan mungilnya meraih sebuah Al-Qur'an yang tersimpan rapi di antara sajadah serta mukenanya. Walau pun dia harus hidup sebagai anak dari seorang wanita penghibur, tetapi itu tidak mengurangi niatnya untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ariya berharap. Suatu hari nanti, dia akan membawa ibunya ke jalan kebenaran. Senyum mengembang dari wajah manisnya, lantunan ayat-ayat indah Al-Qur'an mengalun indah dari bibir mungil Ariya. "Shodaqallahul 'azhim." Ariya menutup lembar Al-Qur'an. Namun, tak berapa lama semilir angin kembali terasa hingga membuat helaian mukena yang tengah Ariya kenakan beterbangan. Sepasang manik mata Ariya menatap ke arah sekitar penjuru kamar. Namun, ia tak mendapatkan apa pun. Dirinya kembali merasakan aura kelam yang sempat ia rasakan tadi. Seketika, bulu kuduknya meremang, sedangkan detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sekelebat bayangan melintas dengan cepat di atas Ariya hingga gadis kecil itu terkejut dan sontak melihat ke arah langit-langit. Namun, dirinya tidak melihat apa pun di sana. "Apa yang terjadi?" tanyanya lirih. Suara gesekan suatu benda dengan dinding kamar terdengar, hingga membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa ngilu. Suara gedubrak berasal dari salah satu genteng dari atap jatuh hingga hancur berantakan terhempas ke tanah. Ariya tersentak kaget dan segera berlari ke arah jendela untuk melihat asal dari suara berisik yang terdengar di sekitar kamar. Namun, dirinya kembali tak menemukan apa pun selain pecahan genteng di depan jendela. Angin malam mulai terasa lebih dingin. Ariya terdiam karena kakinya sulit untuk digerakkan. "Ini mulai menyeramkan," ujar Ariya seraya menutup jendela dengan rapat. Ia berkali-kali mencoba menggerakkan kakinya yang kaku karena dinginnya malam. “Alhamdulillah, bisa!” ucap syukur Ariya. Gadis kecil itu kembali ke atas ranjang dengan tetap memeluk Al-Qur'an seraya berusaha untuk meredam rasa takutnya. Malam semakin sunyi. Suara binatang malam semakin jelas terdengar, hingga membuat sang gadis kecil merasa damai dan melupakan rasa takutnya karena suara-suara aneh itu telah menghilang dari sekitar kamarnya. “Alhamdulillah, ya Allah. Hampir saja aku mau ngompol karena ketakutan.” Gadis berambut panjang itu pun segera melangkah menuju ranjang dan menarik selimut berharap bisa tertidur. *** Keesokan harinya, Ariya terbangun ketika fajar menyingsing. “Masya Allah, aku terlambat bangun.” Gadis kecil berwajah mungil itu pun segera berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu lalu salat Shubuh. “Mama ... ayo bangun, Ma! Sudah Shubuh ini. Ayo kita salat, Ma!” ajak Ariya mengetuk pintu kamar Clara yang terkunci dari dalam. Entah sejak kapan sang Mama pulang yang jelas ketika Ariya membuka mata pintu kamar yang tadi terbuka kini tertutup rapat dan terkunci. “Masih gelap. Jangan berisik!” teriak seorang pria yang Ariya tak kenal siapa namanya, yang Ariya tahu para pria itu adalah teman pria sang mama. Dengan berat hati Ariya segera meninggalkan kamar ibunya dan melangkah pergi menuju musala yang terdekat dari rumahnya. Pagi menghilang siang pun juga telah malu-malu menampakkan sinar cahayanya. Namun, sang Mama masih menikmati tidur terlelap sendirian di dalam kamar, sementara pria yang tadi bersama Clara pun telah meninggalkan rumah. “Ariya ... Ariya,” panggil seseorang dengan lirihnya. “Iya sebentar,” jawab Ariya dengan bergegas menuju ke depan. Setelah membuka pintu, Rianti teman sekolah Ariya datang dengan membawa sepeda mengajak Ariya untuk menghadiri acara ulang tahun teman sekolahnya. “Ayo berangkat!” ajaknya. Ariya hanya menggelengkan kepala, ia tak berniat menghadiri acara tersebut. Rasa minder dan kurang percaya diri telah membuatnya menjauh dan menarik diri dari teman-temannya. *** "Mama, malam ini Mama di rumah saja, ya," pinta Ariya seraya memegang tangan ibunya. "Gak bisa, mama ada kerjaan. Kamu diam saja di rumah," jawabnya. "Ma, Ariya takut sendiri di rumah," ujar Ariya. "Ada apa memangnya?" "Kalau malam ada yang aneh di rumah, Ma," jawab Ariya. "Sudah, sudah. Kamu jangan ngomong aneh-aneh. Mama mau kerja, jangan buat mama ke pikiran," tegasnya, "jaga rumah dengan baik. Mama pergi dulu!" "Ma!," panggil Ariya lirih, tetapi Clara sama sekali tak menghiraukan panggilan putrinya. Samar bayangan ibunya tak terlihat di keremangan malam. Sementara itu, Ariya hanya menghela napas pelan, ia sangat merasa sedih ketika harus mengingat Ibu yang sangat disayanginya harus bekerja sebagai kupu-kupu malam. Akan tetapi, dia tak bisa mencegah perbuatan ibunya. Tak ingin berlarut dengan pikirannya. Ariya segera mengambil Al-Qur'an serta mukenanya dan segera bergegas menuju surau tempat dirinya mempelajari agama serta belajar mengaji. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu malam ini harus sendirian lagi di rumah. Sinar matahari telah benar-benar sirna, kini semburat jingga terlihat di ufuk barat, sedangkan suara binatang malam mulai terdengar. Ariya berjalan memecah keremangan malam melalui jalan setapak, menuju surau tua yang terletak di pinggir pemukiman. Ia tak sabar untuk menerima ajaran dari ustaz yang akan mengajarinya tentang ilmu baru tentang keagamaan di suara tua di tengah hiruk-pikuknya tempat hiburan malam. Dua jam berlalu. Kini, waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Ariya harus segera pulang sebelum malam semakin menyeramkan. Langkah mungilnya semakin cepat ketika melewati rimbunnya pepohonan di samping sebuah rumah tua. Bayangan kembali melintas dengan cepat di sekitar gadis mungil itu, sedangkan angin berembus dengan kencang membuat daun-daun berguguran. Ariya mendekap Al-Qur'an dengan erat, dia kembali berjalan dengan cepat sembari membaca ayat-ayat suci yang ia hafal. Angin kembali berembus hingga membuat helai rambut panjang Ariya beterbangan. Harum semerbak khas makhluk astral tercium. "Ya Allah. Bantu hamba-mu ini," doa Ariya tanpa menghentikan langkahnya. "Tolong ... tolong ... tolong aku ...." Suara wanita terdengar dari sekitar Ariya berdiri. Perlahan, gadis kecil itu menoleh ke sumber suara. Sontak Ariya terkejut ketika melihat sosok wanita dengan gaun putih penuh darah serta bau busuk yang begitu menyengat dari tubuhnya. "Si-siapa kamu?" tanya Ariya tergagap pada sosok itu. Jantungnya berdetak dengan kencang, sedangkan napasnya mulai memburu. Tetesan peluh mengalir dari kening, sedangkan sosok itu terdiam tanpa menggerakkan anggota tubuh. “Pergi! Siapa kamu? Jangan menatapku seperti itu!” seru Ariya ketika pandangannya menangkap bola mata yang melotot menatapnya tajam. Namun, perlahan-lahan tetesan air mata mengalir dengan deras dari kedua pelupuk mata yang lambat laun terlihat membusuk, sedangkan bibirnya bergetar berusaha untuk mengucapkan suatu kata. "Tolong ... lepaskan aku ...," ucapnya dengan tangisan. Manik mata Ariya membulat sempurna ketika melihat bagian dalam dari wanita itu mengeluarkan cairan kental berwarna hitam pekat. Bau busuk semakin menjadi hingga membuat Ariya merasa mual. "Lepaskan aku!" "Tidak! Pergilah!" teriak Ariya dengan lantang. Perlahan, sosok wanita itu mulai mendekat ke arahnya dengan cara melayang di udara. "Aaaa!" teriak Ariya berlari berusaha keluar dari sosok yang mengerikan itu. Namun, Ariya berlari tanpa memperhatikan jalan hingga kakinya tersandung sebuah batu di jalan setapak. "Auw," rintih Ariya, ia berusaha bangkit. Namun, sosok itu kembali mendekat. "Tolong aku!" pintanya. "Mama tolong! Pergi! Pergi!" teriak Ariya ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD