1. Ospek

1733 Words
Di suatu temaram subuh yang jauh dari kampung halaman. Seorang pemuda memulai perjuangannya. Ia tak gentar melawan kerasnya kehidupan ibu kota. Sebuah misi yang selama ini selalu berada dalam angannya, kian hari mampu mengubahnya menjadi suatu motivasi dalam jiwanya. Bambang Syam Romadhon adalah nama seorang pemuda yang berasal dari salah satu desa di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tingginya sekitar 175 sentimeter, kulit sawo matang, berhidung mancung, dan memiliki tatapan memikat. Usianya saat ini 18 tahun, baru saja lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru di salah satu Universitas di Jakarta. Selain itu, Bambang adalah pemuda yang rajin dan cerdas, sehingga banyak gadis yang mengidolakannya. Tebar pesona adalah bagian dari ciri khasnya, walau sebenarnya Bambang tidak membuka hati untuk gadis mana pun kecuali Bella. Dahulu ketika Bambang masih menginjak bangku sekolah menengah pertama, dia pernah menolong seorang siswi yang sedang dipalak oleh beberapa senior. Bambang membela gadis itu walau dirinya harus terkena bogem mentah para senior. Peristiwa itu diketahui oleh salah seorang guru. Sehingga Bambang dan para senior itu disidang di ruang kepala sekolah. Walhasil senior yang memalak terkena hukuman dan Bambang dipersilakan pulang karena tidak bersalah. Gadis yang ditolong Bambang tersebut adalah seorang siswi baru di sekolah Bambang. Siswi itu bernama Arabella Kinara Doutzen. Gadis blasteran Jawa Belanda ini berhasil menggetarkan hati Bambang untuk pertama kalinya yang sering disebut sebagai cinta monyet. Arabella Kinara Doutzen adalah gadis pemilik bola mata cokelat keabu-abuan dengan rambut hitam kecokelatan dan kulitnya putih bersih. Gadis bule yang pertama kali Bambang lihat. Bambang sempat berkenalan dengan gadis itu. Dia menyebut namanya Bella. Sejak saat itu Bambang semakin penasaran dengan gadis bernama Bella. Namun belum sempat Bambang mengenalnya lebih dekat, Bella sudah berpindah sekolah ke Jakarta. Hanya dua bulan, Bella satu sekolahan dengan Bambang. Namun selama dua bulan ini, Bambang belum pernah melihat siswi baru itu. Kebetulan hari pertama Bambang bertemu Bella adalah hari terakhir Bella bersekolah di sana. Sejak saat itu, Bambang memiliki cita-cita untuk kuliah dan mencari pekerjaan di Jakarta setelah dirinya lulus SMA. Sekaligus menjalankan misinya mencari keberadaan Bella. Bambang adalah anak semata wayang dari pasangan Samini dan Samino yang bekerja sebagai buruh tani di suatu desa. Mereka bekerja keras demi menyekolahkan Bambang hingga perguruan tinggi. Benar saja, ketika Bambang dinyatakan lulus sekolah menengah atas, Bambang meminta pada kedua orang tuanya untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Awalnya Samini keberatan karena Bambang adalah anak semata wayang mereka. Jika Bambang kuliah di luar kota, maka Samini akan merasa kesepian. Namun setelah mendengar penjelasan Bambang tentang jurusan kuliah yang akan ia ambil adalah Teknik Informatika yang memiliki prospek masa depan cerah, kedua orang tua Bambang setuju, asalkan Bambang bertanggung jawab atas dirinya sendiri ketika jauh dari kedua orang tuanya. *** Selepas subuh, Bambang Syam Romadhon sibuk mempersiapkan hari pertama ospek. Ospek adalah masa orientasi yang biasanya menjadi suatu rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru agar berkesan. Bambang mengenakan kemeja berwarna putih dan celana kain hitam. Tak lupa mengenakan dasi berwarna hitam. Rambutnya cepak ala 321. Kartu identitas yang berukuran A4 menggantung di dadanya, dengan latar berwarna biru gelap dan tulisan berwarna putih. Kartu identitas itu berisi nama, nomor mahasiswa, nama fakultas, nama jurusan, dan pas foto berwarna berukuran 4x6. Ia juga mengenakan topi yang terbuat dari setengah lingkaran bola, dengan hiasan rumbai-rumbai berwarna merah, kuning, hijau yang terbuat dari tali rafia yang disisir. Tak lupa atribut pelengkap seperti kalung yang terbuat dari delapan siung bawang merah, delapan siung bawang putih, di tengahnya diberi bandul berupa cabai merah besar. Sepatu berwarna hitam, dengan kaos kaki berwarna cerah dan membawa tas yang terbuat dari kantong terigu, dengan tali tas terbuat dari tali rafia tiga warna. Sebelum meninggalkan kamar kosnya, Bambang melenggak lenggok di depan cermin. “Tampang udah gagah, baju udah rapi, udah wangi, senyum udah oke.” Bambang menampilkan senyum dari bibirnya yang menawan di depan cermin, sembari mengangkat kedua alisnya. “Tapi... tetap kelihatan kayak orang sableng! Lihat aja! Topi udah kayak kepala jin, bulat plontos pakai rumbai-rumbai... kalung udah kayak buat penolak bala, ada bawang merah, bawang putih, cabai pula... tinggal dikasih garam sama gula... duh! Perasaane aku ora enak?kartu identitas udah kayak papan talenan, dan yang paling nyeleneh bin aneh... celana hitam panjang ini lho... ngapain harus ditekuk? yang kanan ditekuk sampai lutut dengan kaos kaki cerah selutut... celana yang kiri ditekuk sampai betis, dengan kaos kaki cerah di bawah betis... Uwis kayak wong sableng! Tapi no problem, ora apa-apa, biar masa ospek jadi berkesan.” Bambang tersenyum di depan cermin. “Sekali ganteng tetap ganteng... Hidup ganteng!” Bambang tertawa geli dengan tingkahnya yang penuh percaya diri. Sekali lagi ia berbisik sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas. “Hidup ganteng.” Ia terkekeh lirih melihat penampilannya. “Kalau orang Jakarta bilang, emang gue pikirin....” Bambang meringis geli dan kembali memeriksa perlengkapan yang harus ia bawa. “Biodata, lirik lagu yang tulisannya hanya bisa dibaca di depan cermin, puisi cinta, kaca mata hitam, buku kosong, sendok, air mineral cap s**u, kue raja dangdut 5 biji, roti sundel bolong, hahahha.... Aneh-aneh banget persyaratannya! Buah pisang satu sisir... peralatan Shalat, dan sandal jepit warna biru... Beres! Sip... Langsung mangkat! Bismillah....” Bambang bergegas ke luar dari kamar kosnya. Bambang berjalan dengan penuh semangat. Ia terkejut ketika sudah berada di luar kos. Ternyata banyak mahasiswa baru yang juga mengikuti ospek. Bambang menahan tawa melihat banyak mahasiswa baru dari berbagai fakultas mengenakan perlengkapan ospek dengan keunikan masing-masing. “Waduh Jebule akeh sing pada-pada sableng kayak inyong... Hihihi.” (“Waduh ternyata banyak yang sama-sama sableng kayak aku.”) Bambang menertawakan diri sendiri. Ia terkekeh hingga wajahnya memerah. Bambang sangat menikmati masa ospek yang sangat berkesan. *** Bambang berlari menuju kampusnya. Sebab semua peserta ospek diwajibkan untuk tidak membawa kendaraan bermotor atau pun sepeda. Mereka harus berjalan kaki sepanjang 500 meter sebelum kampus. Tak lupa para anggota senior komisi disiplin berteriak-teriak agar peserta ospek segera berlari menuju lapangan kampus. Suara mereka membuat jantung Bambang berdebar. Seketika Bambang menoleh pada sosok perempuan yang terlihat mengenakan kemeja hitam dan celana panjang hitam. Terlihat pula kartu identitas yang menggantung di lehernya. Perempuan itu melipat kedua tangannya di bawah d**a. Wajahnya terlihat manis di balik ekspresi dinginnya. Dia terlihat seperti seorang senior yang menjadi panitia komisi disiplin. “Pagi, Mbak!” Bambang tersenyum manis dan berusaha menyapa salah satu senior perempuan yang menatapnya itu. “Enggak usah sok akrab! Lari!” Senior perempuan itu bersikap tegas dan memerintahkan Bambang untuk berlari menuju lapangan kampus. “Iy—Iya ... Mbak!” Bambang terkejut, nyalinya langsung ciut dan berlari menghindari suara teriakan lantang senior itu. “Cantik-cantik galak bener! Enggak mempan jurus tebar pesonaku!” Bambang menggerutu, ia berlari sambil menoleh ke belakang menatap senior perempuan itu. Braaakkk!!! “Waduuuhhh.” Ketika Bambang berlari, ia menabrak salah satu peserta ospek lainnya, hingga mereka berdua terjatuh. “Alamak!!! Cemana kau ni? Bisa-bisanya menabrak aku!” Seorang peserta ospek terjatuh karena bertabrakan dengan Bambang. Tubuhnya gempal, tingginya sekitar 170 sentimeter, rambut cepak, kulit sawo matang, garis wajahnya terlihat tegas. “Ealah dalah... Maaf, Mas! Asli saya enggak sengaja, Mas! Maaf ya Mas!” Bambang mencoba berdiri dan menolong pemuda itu untuk berdiri. “Cemana kau ni Bang? Tak hati-hati?” Pemuda itu masih cemberut sambil menepuk-nepuk baju dan celananya yang terkena debu jalanan. “Maaf ya, Mas! Yakin lah Mas ora sengaja, eh enggak sengaja! Saya disuruh lari sama senior galak, eh tahunya malah nabrak Mase! Maaf ya Mas!” Bambang mencoba tersenyum saat hatinya panik. “Oh iya... Kenalin! Saya Bambang.” Bambang menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan pemuda itu. “Jangan lagi-lagi kek gitu! Pegal-pegal aku jadinya! Ya sudah aku maafkan! Aku Samosir, panggil saja aku Sam!” Sam bersalaman dengan Bambang. “Kayaknya kita satu jurusan, ya? Atributnya sama.” Bambang mengamati atribut yang dipakai Sam. “Benar juga, Kau! Ya sudah kita lanjutkan berlari ke lapangan! Sebelum kita dibentak-bentak lagi sama senior itu!” Sam mengajak Bambang segera berlari menuju lapangan. “Ayok!” Mereka melanjutkan perjalanan menuju lapangan kampus dengan berlari. *** Komisi disiplin sudah membariskan seluruh peserta ospek yang sudah tiba di lapangan kampus. Tak terkecuali Bambang dan Sam. Ketua komisi disiplin memberikan arahan pada seluruh peserta ospek. Sebelum mereka sarapan pagi, para senior mengabsen mereka. Salah satu senior perempuan yang tadi membentak Bambang, saat Bambang menyapanya di jalan menuju lapangan kampus, mulai berjalan mengitari peserta ospek. Satu-persatu mereka diminta untuk menyebutkan nomor mahasiswa, nama panjang, dan nama panggilan. Kini senior perempuan itu mendekat ke arah Bambang. Tak lama kemudian ia menepuk bahu Bambang. “Sebutkan nomor mahasiswa, nama panjang, dan nama panggilan kamu!” Senior perempuan itu terlihat sangar dan mendominasi. Nomor mahasiswa Bambang yng tertera pada papan nama, dengan tali yang melingkar di lehernya yaitu IT020212. Bambang melirik perempuan itu dan menghirup napas panjang sebelum menyebutkan nomor mahasiswanya. “Ai... Ti... zero... two... zero...." Plakk!!! "Aw!" Suara Bambang terhenti seketika senior perempuan tadi, yang menjadi komisi disiplin memukul bahunya dengan kipas yang sering ia bawa. "Ai ti... Ai ti... Jangan sok keminggris Lu! Baca biasa aja! Pakai bahasa Indonesia!” “Lha tadi ... yang lain pada pakai bahasa inggris, Kak!” Bambang berusaha menjelaskan. “Tidak usah kebanyakan alasan! Gue kan enggak nyuruh Lu buat pakai bahasa inggris! Nurut aja! Atau gue hukum?” jelas senior komisi disiplin tadi. Senior perempuan itu berwajah manis, berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu yang selalu ia kucir, tubuhnya tinggi dan proporsional, wajahnya sangar, dan terlihat tomboy. Suaranya sangat lantang ketika membentak Bambang. Senior perempuan itu bernama Saraswati, kakak tingkat satu angkatan lebih tua dari angkatan Bambang. Teman-temannya biasa menjuluki gadis itu dengan nama Medusa. Alasannya karena Saraswati memang terkenal judes, galak, tomboy, dan tatapan Saraswati sangat tajam seakan mematikan debaran hati siapa saja yang menatapnya. "Oh... Iya, Mbak maaf!" Bambang terlihat sangat terkejut. "Cantik-cantik kok judes!" Bambang menggerutu. "Apa Lu bilang barusan?" Senior perempuan itu seakan mendengar suara lirih Bambang. "Eh... Enggak, Mbak... Anu... Itu... Saya lagi ngapalin nomor mahasiswa saya, Mbak!" Bambang mencari alasan dan kembali sigap sempurna, dengan pandangan lurus ke depan setelah senior itu meliriknya dengan ketus. "I... Te... nol... dua... nol... Dua... Satu... Dua." Suara Bambang membuat seluruh peserta Ospek dan Senior komisi disiplin menahan tawa. "Perasaan enggak asing sama nomor itu?" Bambang berbisik dalam hati, pandangannya menatap lurus ke depan, dahinya mulai berkerut dan sesekali ia melirik teman sebelahnya yang terlihat menahan tawa. "Nama saya Bambang Syam Romadhon... Biasa dipanggil...." "Wiro Sableng!" Senior perempuan tadi menyela pembicaraan Bambang. Sontak keheningan pecah seketika oleh suara gelak tawa peserta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD