Satu

1084 Words
Pada sebuah kisah, jangan berharap terlalu banyak. Sejatinya, menempatkan suatu harapan selain pada Tuhan bukan tidak mungkin berujung kekecewaan. Raja tidak menyukai gagasan pernikahan—pada awalnya. Baginya, cukup melihat kemesraan papi maminya di umurnya yang matang dan masa tua orangtuanya terjamin bahagia. Tapi sesaat ijab kabul dengan rentetan nama yang lancar keluar dari mulutnya mendadak merubah segala pandangannya. Bahwasannya kita manusia makhluk sosial tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Pun sama halnya dengan menjalin suatu hubungan di mana di landaskan pada pasangan yang satu sama lain saling terikat. Sebelum ini dan bahkan setelah ini, Raja akan tetap menjadi sosok gelap tak tersentuh. Tidak untuk istri atau pun keluarga barunya. Hanya kepada keluarga aslinya saja sikap hangat itu terlihat. Selebihnya, tertinggal kekejaman yang akan Raja ciptakan. Kenapa? Sebelum sorot kecewa terpancar. Sebelum luka tertabur. Sebelum kristal bening meleleh. Gema peringatan sudah Raja kumandangkan. Tapi arti dari sebuah keras kepala adalah membebalkan segalanya. Manusia terlalu angkuh untuk bertahan dengan kalimat ‘baik-baik saja’ yang bermakna ‘tidak sedang baik-baik saja.’ Lantas, bukankah itu artinya sebuah kemunafikan sedang di perankan? Bibir yang merekahkan senyum namun menutupi sejuta luka. Mata yang menyipit ke atas sedang borok sedang di kesampingkan. Kenapa Raja menjadi sangat egois dan lemah secara bersamaan? Jelasnya, perempuan yang sudah dirinya sahkan—agama dan hukum—masih utuh seperti beberapa tahun yang lalu. Darah yang pernah Raja kucurkan untuk perempuan ini—istrinya, begitu saja d**a Raja berdenyut sakit—mau menerima dirinya dengan tangan terbuka. Entah apa yang ada di otaknya. Pastinya, Raja semakin acuh. Leora membuat Raja semakin membenci dirinya sendiri. Mengumpati kehadiran dirinya di dunia ini 30 tahun yang lalu. Karena melahirkan seorang b******n di muka bumi bukan doa setiap orangtua. Bukankah Raja sudah mencoreng nama keluarga Anggoro? Pastilah Radit Anggoro kecewa mengetahui ini. Dan maminya Senja Anggoro bisa terserang jantung dadakan. Namun, setiap kejadian membawa ‘alasan’ pada si pemilik musibah. Perkara enggan menikah bagi Raja mudah saja. Karena sudah lelah dengan tanggungjawab seorang sulung, di sisi lain Raja enggan menunjukkan seberapa sakit dirinya. Layaknya kegelapan yang tertelan, Raja tak ingin orang lain menyentuhnya. Sekali pun orangtuanya sendiri, upaya Raja untuk bersembunyi, sejauh 30 tahun ini terbilang aman. Sampai keputusan papinya—janji lampau, katanya—yang membawa Leora masuk mengusik tatanan hidupnya. Raja benci, tentu saja. Menjadi dingin tidak tersentuh menyeret sejuta kasus tidak adanya daftar perempuan di hidupnya. Katanya, “Abang harus nyoba. Jangan kerja aja.” Papinya yang membuatkan pilihan. Mendadak kebebasan hidupnya terenggut. Dan diantara itu semua, Raja tidak menggeleng atau pun mengangguk. Tepat sekali. Kebaktian seorang anak sedang di uji. Lewat perjodohan Siti Nurbaya. “Mami udah makin tua.” Yang ini maminya ikut menimpali. Tahu seberapa cantik seorang Senja Anggoro? Tanpa perlu Raja jelaskan, ibunya yang sudah berumur di pertengahan abad, memiliki tiga anak, siapa yang ingin menyangka bahwa wajah eloknya masih terawatt? Saudara kembarnya—Ratu—sering kali merasa tersaingi. “Abang harus mikirin pendamping. Buat ngurusin abang—bukan papi sama mami keberatan, tapi Bang, tiap orangtua punya doa terbaik buat anak-anaknya, melihat anak-anaknya tumbuh dengan pilihannya. Sedang Abang masih ‘nganggur’—” Omongan papinya sungguh sesuatu sekali. Secara otomatis Raja terklaim tidak laku. “Papi kepaksa lakuin ini. Itung-itung memenuhi janji masa lalu.” Ketika menerima perjodohan ini, bukan artinya Raja ingin menjadi pahlawan atau sok menunjukkan seberapa berbaktinya ia kepada orangtuanya. Tapi ia pikir, ia memerlukan. Setidaknya, borok 10 tahun silam tidak terusik oleh apapun. Leora Yudantha menjadi tamengnya. Dan Raja tidak tahu harus memperlakukan perempuan berstatus istrinya seperti apa. “Kita boboknya nggak bareng?” Perempuan itu polos. Raja tahu. Jauh sebelum ia bertemu dengan Leora, eksistensi perempuan ini sangat dirinya tinjau. Memantau segala aktivitas, keseharian dan bahkan ketidaksukaan perempuan ini Raja hafal. Dia putri sulung keluarga Yudantha yang berjarak dua tahun dengannya. Dan menurut cerita yang maminya sampaikan—Senja lho ya, karena Raja pun harus memanggil ibu mertuanya mami—pemicu kehamilan mami Barella adalah melihat dirinya dan Ratu. Seakan-akan sudah di takdirkan saja. Sayangnya … Embusan napas Raja terdengar. Gusar. Gelisah. Gundah. Berharap cemas saat matanya bersirobok dengan manik pekat milik Leora. Dia masih sama cantiknya. Wajah mungilnya imut. Terhias dengan bola mata yang besar, alis tebal, hidung mancung sempurna, bibir tipis kemerahan natural, dagunya yang runcing—sangat ingin Raja usapi. Rambut panjang hitamnya tersanggul rapi. Pinggangnya ramping. Perutnya rata. Semua yang terpasang di tubuh Leora tak menampilkan cacat sedikit pun. Tapi Raja … “Aku nggak suka ngulang omongan dua kali. Ini wilayahmu. Atas milikku. Nggak perlu masak atau nyiapin apapun.” Panjang ucapannya. Meninggalkan sederit sakit tepat di d**a Leora. Entahlah, tapi ini seperti pernah terjadi. *** Akan Leora kisahkan sedikit masa lalu. Dulu … jauh sebelum dirinya menikah dengan lelaki bernama Raja, masa kecilnya sangat bahagia. Masa remajanya hingga beranjak dewasa juga bahagia. Semuanya terlalui dengan apik tanpa sebuah kesakitan. Yang sedang dirinya ratapi. Yang sedang dirinya jalani. Yang sedang menyambangi hidupnya. Ini awal yang baru. Leora akan akui itu benar. Akan dirinya jalankan dengan baik amanatnya. Sesakit apapun ke depannya nanti, karena berbakti kepada orangtua sebuah keharusan, Leora rela menahan sakitnya. Tidak masalah bagi dirinya melepas masa di mana kebebasannya terbatasi. Lebih beruntung lagi karena Raja bukan lekai rewel. Itu terbukti lewat titahnya yang tegas. Pembagian wilayah yang sudah di tentukan, jadwal dirinya yang tidak perlu memasak atau pun menyiapkan apapun selayaknya tugas seorang istri. Leora terima dengan senang hati. Namun begitu, remasan sakit di dadanya jelas terasa. Ada luka menganga yang belum Leora tutup sepenuhnya. Raja … teman masa kecilnya telah berubah. Berbeda dari yang dirinya kenal. Karena apa? Pernikahan ini atau matinya seseorang yang sangat Raja cintai dulu? Haruskah Leora yang menjadi korbannya? Bukankah Leora juga kehilangan? Bolehkah Leora katakan ini tidak adil? Tapi tolak ukur adil dalam pandangan Raja ialah melihatnya menderita. Tersiksa dalam sebuah ikatan pernikahan yang di atas kertas saja. Tidak! Leora tidak selemah itu untuk tetap bertahan. Ini untuk mami dan papinya. Ini untuk hidupnya dalam membuktikan kepada Raja jika dirinya kuat. Dulu itu … Leora tahu sumber bahagia yang di miliki Raja. Sebelum kecelakaan itu merenggut satu-satunya hidup yang membuatnya berharga. Dulu itu … Leora hanyalah bayangan di antara kegelapan yang selalu berjalan di belakang Raja. Bergerak paling gesit ketika lelaki itu limbung. Tapi selalu kalah cepat karena ada tangan lain yang menjadi penopangnya. Dulu itu … menjadi pemerhati adalah pekerjaan Leora. Asal Raja-nya tertawa lepas. Leora bahagia. Asal Raja-nya menyenangi apa yang menjadi kesukaannya. Leora bahagia. Kini Leora sadar, mengharapkan sesuatu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena kesakitan mengiringi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD