Prolog

373 Words
Seorang anak kecil yang masih memakai seragam putih merah menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya dari balik tembok. Vanilla biasa dia disapa, lengkapnya Vanilla Fredella. Gadis kecil yang baru pulang sekolah itu menangis dalam diam, entah apa yang sedang diperdebatkan masih susah dicerna olehnya. Vanilla menggigit bibir bawahnya, air matanya menetes tanpa diperintah, tubuhnya gemetar dari balik tembok. Dia hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Permasalahan orang dewasa terlalu sulit untuk dipahami oleh anak 9 tahun. Dia tidak pernah melihat orang tuanya berantem hebat sebelumnya. "Biarkan aku menikah lagi!" ujar Andra kepada sang istri yang tengah menangis. Namun, wanita itu tetap menggeleng, lebih baik mereka berpisah daripada dimadu. Satu hal yang Vanilla bia cerna, yaitu ayahnya ingin menikah lagi, entah apa alasannya, yang jelas Vanilla pun tidak menyetujui hal itu. Tania mengusap air matanya, kemudian menarik napas. "Lebih baik kita berpisah, daripada aku dimadu." Dadanya sesak, ia ingin sekali menangis sekencang-kencangnya, namun dia tidak ingin terlihat lemah. “Kamu akan tetap jadi istriku, dan dia akan menjadi istriku. Izinin suami madu itu dapat pahala.” Tania tersenyum sinis. “Nggak, lebih baik kita berpisah.” "Baiklah, kalau itu memang keputusanmu." Bahkan Andra sama sekali tidak berniat mencegah keputusan Tania yang ingin berpisah, itu artinya dia sama sekali tidak peduli dengan kelurganya, dengan perkembangan anak-anaknya nanti. “Lalu Vanilla dan Aref gimana?” tanya Tania. “Mereka akan tetap sama aku.” Tania mengangguk. “Baiklah, aku titip mereka, buat mereka bahagia, jaga dan lindungi mereka, aku pergi.” Tania bangkit dari sofa dan menuju kamar untuk mengemasi barang-barangnya, setelah itu dia berjalan ke arah pintu utama. Namun, langkahnya terhenti saat Vanilla memanggilnya. "Mama..." Tania berbalik dan menatap putrinya, kemudian mensejajarkan tubuh mereka. Tangannya terulur menyeka air mata yang berlinangan di pipi Vanilla. "Biarkan Mama pergi, Vanilla di sini sama Papa dan Bang Aref ya." Vanilla menangis sesenggukan, lalu Tania memeluk anaknya sejenak dan mencium kening, pipi kiri dan pipi kanannya. "Jangan nangis, Vanilla harus jadi anak yang kuat." Setelahnya, Tania berdiri dan berbalik, lalu berjalan ke arah pintu tanpa mengindahkan Vanilla yang menangis dan terus mengejarnya. "Mama, Vani ikut..." Tania terus berjalan tanpa menoleh, hingga tubuhnya keluar dari pekarangan rumah dan tak terlihat lagi. Itu adalah pertemuan terakhir Vanilla dengan Mamanya, perpisahan itu mengubah segalanya.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD