Alamanda yang Melebihi Terompet Keemasan

1133 Words
Namanya Alamanda, orang-orang dekatnya memlesetkannya Almond, karena warna kulitnya senada dengan kacang badam itu. Rambutnya merah kecoklatan serupa warna mawar kering. Wajahnya mungil dan ia memiliki kelopak mata ganda yang persisi dengan bola matanya yang lebar. Ia mewarisi sebuah gerai bunga milik orang tuanya di daerah wisata Bedugul: Devayana Florist. Setiap hari ia bersanding dengan bunga jenis apa pun, dari yang merambat sampai yang berduri, dari yang wangi sampai yang memikat tanpa wangi, dari yang primitif hingga baru netas. Namun kecantikan bunga-bunga itu tetap tak sebanding dengan kecantikan Alamanda. Ia lebih dari sekadar bunga terompet keemasan. Sepertinya ia diciptakan saat semua makhluk sedang bersuka cita. Ia memiliki ceruk sabun di kedua bahunya, dan ia mengupayakannya dengan meminum jus sayuran dan bubuk protein selama bertahun-tahun. Ia makan nasi dua kali seminggu dan menjauhi makanan yang proses memasaknya direndam minyak panas, yang tinggi kalori tapi rendah nutrisi--yang ia niatkan sepanjang hayat. Dan semua model baju dari segala jenis kain tampaknya menyukai bentuk tubuhnya. Ia selalu pantas dan menawan. Alamanda dilimpahi keberkahan oleh bunga-bunga yang cantik dan cinta dari kekasihnya sejak duduk di bangku SMA. Nama kekasih sekaligus pengusaha muda itu Bobi, usianya dua puluh sembilan tahun. Ia melakukan kunjungan rutin ke toko bunga Alamanda seperti resep obat. Bahkan saat ini, di usia cinta mereka yang genap sepuluh tahun. * Saat itu pukul setengah dua siang. Alamanda sedang memilah-milih biji bunga sweet pea yang telah ia rendam semalaman ketika aroma teh hijau dan cengkeh menyergap indera penciumannya. Ia buru-buru menoleh ke arah pintu masuk dan benar saja, seorang pemuda sedang mendorong pintu kaca dengan bahu kokohnya. Bulir-bulir gerimis menempel pada rambut dan rahangnya yang ditumbuhi cambang tipis. Ada tulisan ‘tutup sementara’ pada pintu itu—empat orang pegawainya sedang menikmati jam istirahat siang dan kembali pada pukul tiga sore. Alamanda tak bisa menyembunyikan senyumnya, namun ia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan biji-biji bunga sweet pea di dalam baskom. Ia meraup segenggam bebijian itu lalu membuang biji-biji yang pipih dan dan tak memiliki tanda-tanda akan bertunas. Lelaki itu makin dekat dan aroma tubuhnya yang menyatu dengan parfumnya membuat jantung Alamanda meloncat-loncat. Mereka sudah sejauh dan selama ini, namun getaran itu tak berubah sama sekali. “Kau telat makan lagi?” sapa lelaki itu, seraya meletakkan kantung makanan di atas meja, tempat Alamanda meletakkan baskom benih-benih bunganya. Ia mengelus ubun-ubun gadis itu lalu mencium dahinya dengan lembut. “Makanlah, Almond.” kata lelaki itu. “Aku bawakan makanan kesukaanmu dan jus lemon yang buahnya kupetik pagi tadi di pekarangan." Bobi membuka kotak makan. Ia mengeluarkan ayam panggang, brokoli kukus, dan sambal kecombrang. “Ya, tinggal sedikit lagi,” sahut Alamanda. “Tidak,” balas Bobi. Ia mengambil tangan Alamanda lalu mengelapnya dengan tisu. “Nanti maag-mu kambuh.” “Sedikit lagi, Bob,” Alamanda berusaha menarik tangannya, namun Bobi malah merengkuhnya ke dalam pelukan. Kepalanya jatuh di d**a Bobi. Gadis itu kehabisan napas karena lelaki itu menekannya amat kuat. “Aku akan melepasmu kalau kau berjanji untuk makan sekarang,” kata Bobi. “Bob." Suara Alamanda tertelan oleh d**a Bobi. “Aku akan mati sekarang.” Namun Bobi mengeratkan pelukannya, “Makan sekarang atau tidak?” “Baiklah, Bobi Mahendrata. Aku akan makan.” Bobi melepaskan Alamanda, ia memandangi gadis itu dengan seulas senyum jenaka. Alamanda pura-pura jengkel dengan mengerucutkan bibir. Namun Bobi meremas bibir itu. “Aku akan melakukan sesuatu pada bibir itu.” “Lakukan saja!” tantang Alamanda. “Satu, dua, tiga…” Bobi menarik kepala itu, ia membungkuk lalu mencium bibir Alamanda. Ada banyak keajaiban di dunia ini bagi orang-orang yang memercayainya. Alamanda termasuk satu di antara orang-orang itu. Dan keajaiban itu datang saat ini—Bobi mencium lembut bibirnya—membuat waktu di dalam ruangan itu berhenti sama sekali. Ia memejamkan matanya dan menyerahkan berat tubuhnya pada Bobi. Lelaki itu menopangnya sembari duduk di atas meja. Tangannya melingkari pinggang Alamanda. Waktu berhenti sekan-akan ia tak pernah diciptakan sama sekali Dan semerbak mawar menyemaraki zat panas yang menyatu dalam sebuah ruang maha luas, seakan akan jarak hanyalah ilusi optik di luar, gerimis penghujung November mengintip dari pangkal kelopak Bugenvil merah muda; dan lebah-lebah mendengungkan lagu semesta; dan angin meningkahi daun- daun pohon akasia. Alamanda membuka mata dan Bobi menyambut mata itu dengan hangat. Kemudian ia menjitak kepalanya, membuat gadis itu mengaduh. “Makan sekarang!” Pukul tiga lewat lima menit, tiga pegawai tokonya datang melalui pintu belakang. Di dalam sana adalah ruang bersantai yang bersebelahan dengan gudang dan kamar mandi karyawan yang terletak di ujung. Ketika jam makan siang, para pekerja akan bercengkrama di dalam sana. Bahkan Ade menginap beberapa kali di sana setiap tiba libur panjang sebab pengunjung akan membludak saat itu. Gadis itu dan Bobi baru saja selesai makan. Alamanda menegur keterlambatan mereka, ia berkata: “Jangan diulangi lagi. Lima menit itu bernilai emas 0,0 5 gram!” Bobi tertawa mendengar kata-kata kekasihnya. “Melunaklah sedikit atau mereka akan meninggalkanmu.” “Mereka terikat kontrak kerja tiga tahun dan akan dikenai denda jika berani meninggalkanku, benar begitu Ade?" Seseorang yang baru saja menanggalkan masa remajanya itu mengangguk malu-malu lalu berlalu. Bobi mengangkat bahunya, “Kau memang gemar berganti-ganti karyawan.” “Tidak juga. Bu Ami betah menemaniku selama ini, bahkan jauh hari sebelum Ayah meninggal,” sahut Alamanda. Ia kemudian terdiam, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. “Kenapa Bu Ami belum datang?” seru gadis itu pada tiga karyawannya yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Mereka, Sari dan Ratna, dua orang remaja tamatan SMA tahun ini, usianya berkisar sembilan belas tahun. Dan seorang lagi, pemuda dengan usia dua puluh tahun; satu-satunya pegawai lelaki di toko itu yang kebagian tugas mengangkat-angkat pot dan benda berat lainnya. Ia sedang menempuh pendidikan guru di salah satu universitas swasta di Tabanan dengan bantuan Alamanda. Si karyawan lelaki mendatanginya tergopoh-gopoh. Ia memegang gunting rumput di tangan kanannya. “Maaf, Nona. Sepertinya Bu Ami kurang enak badan.” “Benarkah? Kenapa tidak ijin saja hari ini?” “Beliau takut Nona marah. Katanya tugas membibit mawar holland masih menumpuk.” “Di mana beliau sekarang?” tanya Alamanda. “Sepertinya Bu Ami akan segera meninggalkanmu,” kata Bobi. Seketika gadis itu mendelik ke arahnya yang disambut Bobi dengan gelak tawa. Ade mengantar Alamanda ke bilik santai Bu Ami, meninggalkan Bobi yang membantu salah satu karyawan merapikan tangkai mawar rambat rokoko yang merimbun di pintu pagar. Gadis itu sampai di kamar sang wanita paruh baya dan melihatnya sedang terbaring menghadap dinding bercat putih. Punggungnya yang tambun bergerak naik turun seirama dengan tarikan napasnya. Ia yang selama ini menjaga Alamanda. Ia telah bekerja untuk keluarganya selama puluhan tahun. Ia juga saksi perceraian kedua orang tuanya. Ibunya lari dengan seorang wisatawan asing dan membuat ayah Alamanda terpuruk lalu jatuh sakit. Saat ayahnya meninggal enam tahun lalu, Bu Ami memantaunya dengan cinta kasih seorang ibu—sampai saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD