PROLOG

860 Words
           Hidup Anna berubah semenjak memergoki perselingkuhan ayahnya dengan seorang wanita yang selama ini ia kenal sebagai sahabat dekat sang ibu. Anna kira kunjungan sang ayah ke rumah wanita tersebut adalah hal biasa sampai ia menemukan sebuah video laknat yang seharusnya belum boleh ia saksikan.            Detik tubuhnya mematung memandangi layar telepon genggam itu, detik itu juga rasa cintanya terhadap sang ayah hilang tanpa sisa. Sosok ayah yang selama ini menjadi kebanggannya mendadak menjadi monster mengerikan di mata Anna. Tidak ada lagi lelaki yang ia puja, hanya raga bernyawa yang tidak berharga. Anna tidak bisa berbicara dengan sang ayah tanpa keinginan untuk memaki, ia tidak bisa melihat sang ayah lima detik lebih lama tanpa sungkan melemparkan tatapan jijik.         Anna tidak bisa berada di ruangan yang sama dengan ayahnya tanpa harus teringat akan dosa yang memaksanya mengerti tentang kehidupan orang dewasa bahkan disaat ia masih berusia sepuluh tahun. Karena perubahan yang begitu signifikan, membuat sang ibu seringkali bertanya kepadanya. Dan yang bisa ia lakukan hanya diam dan menggeleng. Rasanya tidak tega untuk berterus terang, tapi disisi lain ia juga setengah mati menahan kesal. Betapa sang ibu yang setia sangat bodoh di mata Anna.         Kemudian benci yang ia pupuk setiap hari itu menemukan puncaknya kala menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya. Keputusan ayahnya yang meninggalkan mereka membuat Anna bahagia, meskipun ia harus terpisah dengan adik-adiknya karena sang ayah mengajak serta ketiga adiknya yang saat itu masih kecil. Namun, hanya beberapa bulan semenjak kejadian itu, lelaki penyumbang kehidupan kepada Anna itu balik lagi dan diterima dengan tangan terbuka oleh ibunya.         Anna marah besar, tetapi maaf ibunya jauh lebih besar. Oleh karena kedodohan ibunya itulah Anna selalu memikirkan dua hal ini. Pergi dan menghilang.   *           Anna menatap datar kepada Natasha yang duduk di depannya. Kemiripan wajah Natasha dengan lelaki jahat itu membuat Anna harus menahan jijik ketika menyeruput minumnya. Setelah sekian tahun tidak bertemu, Anna kira Natasha akan tumbuh dengan paras yang akan menyerupai ibu mereka. Tetapi sepertinya semesta sedang tidak berbaik hati terhadapnya, karena wajah yang ia kubur paksa dalam memorinya harus terlihat lagi dalam wujud makhluk cantik di depannya ini.         “Kapan kakak balik ke Indonesia?” Natasha bertanya lembut tanpa mengalihkan tatapannya dari Anna.         “Dari mana kamu tahu tempat kerja kakak?”         “Eumh, itu ….” Natasha terlihat ragu, nyaris takut. Mungkin karena nada dingin yang Anna gunakan. “Aku selalu melihat berita dan artikel tentang kesehatan.”         “Untuk apa kamu melihat itu semua? Jarum suntik, insulin dan kanker tidak berguna untuk kuliahmu.” Anna tidak perlu repot-repot untuk menghilangkan nada dingin dari suaranya. Karena sejak hari itu, awal mula kecurangan itu terpampang di hadapannya, Anna sudah membiarkan es membekukan hatinya.         “Supaya aku bisa menemukan kakak.” Anna kembali melemparkan tatapan datar, nyaris dingin kalau ia tidak ingat bahwa Natasha adalah adik kandungnya.         “Setelah sekian lama, apa kakak nggak mau pulang?”         “Setelah sekian lama, pertanyaan kamu tidak bisa berubah?” Anna mendengus, “Seharusnya kamu bisa lebih pintar, Natasha.”         “Sampai kapan kakak seperti ini?” Rupanya meskipun sempat gemetar, Natasha sudah jauh lebih berani daripada dulu saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. “Lari dari keluarga sendiri? Papa sudah berubah, Kak. Dulu mungkin papa salah, tapi setiap hari ia memperbaiki dirinya. Nggak seharusnya kakak menghukum papa kayak gitu.”         “Sudah bicaranya?” tanya Anna dengan suara yang jauh lebih dingin dari sebelumnya. “Silahkan pergi kalau semua yang ingin kamu katakan sudah selesai.”         “Kalau kakak mati pun, kakak nggak akan pernah bisa lepas dari kita? Kakak tau itu, kan?” Anna bergeming.         “Kak.”         “Lain kali kalau pembicaraan kamu tidak berguna seperti ini, kamu tidak perlu menemuiku.” Setelah mengatakan kalimat itu tanpa memperdulikan perasaan Natasha, Anna pergi begitu saja. *           “Dari mana?” Anna berhenti ketika tangannya sudah meraih handle pintu kamar. Ia berbalik menatap Kate yang baru keluar dari kamarnya. “Kamu pulang cepat, kupikir sudah di rumah.”         “Ada urusan.”         Selain tidak percaya dengan cinta, menumbuhkan benci untuk setiap lelaki, Anna juga tidak bisa berteman. Rasa percayanya benar-benar terkikis, semua mansia itu busuk tidak terkecuali dirinya.         Namun, entah bagaimana ceritanya sejak kuliah dan hidup di negeri orang, Anna bisa hidup satu atap dengan manusia lainnya. Meskipun interaksi yang diberikannya selalu lebih minim dari kuku kelingking.         “Aku akan minimarket di bawah, kamu mau menitip sesuatu?”         Anna menggeleng. “Terima kasih, Kate.”         Setelah memastikan kalau Kate sudah pergi dan tidak akan bisa mengintip ke kamarnya, Anna langsung masuk, lalu mengunci pintu. Kelam yang pekat langsung membungkusnya begitu ia meluruhkan diri dan bersandar ke pintu.         Pertemuannya dengan Natasha terlalu menguras energi. Seharusnya, ketika beberapa bulan yang lalu begitu ia dinyatakan lulus dengan predikat tertinggi di salah satu universitas terbaik Jerman, Anna langsung menolak rekomendasi Profesornya untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di tanah air. Karena dengan kemampuannya, Anna bisa bekerja di rumah sakit mana pun di Eropa. Tetapi Anna tidak bisa menolak karena profesornya begitu gigih menyuruhnya, ditambah lagi dengan ketiga temannya yang juga ikut serta.         Sekarang setelah beberapa bulan akhirnya penyesalan itu semakin bertumpuk. Karena Anna yakin, setelah hari ini, Natasha tidak akan berhenti menemuinya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD