SATU : Ten Percent For Question

4010 Words
“Bi, kita udah pacaran berapa lama?” Aku menoleh setelah sibuk mencari power bank di tas, tumben-tumbennya Arya menanyakan hal-hal sentimental seperti ini. Biasanya bahkan ia tidak peduli tanggal jadian kami itu jatuh di bulan apa. “Empat tahun lima bulan, tumben kamu nanya beginian.” Arya memegang erat kemudi, wajah lelahnya terlihat semakin jelas terkena lampu dari rumah makan di pinggir jalan. “Bi, nyokap udah nanyain aku mulu kapan kita mau nikah.” Aku hendak menyalakan ponsel yang mati total setelah tersambung power bank saat Arya mengatakan kalimat itu lagi. Aku terdiam sejenak, dan lantas menyalakan ponsel yang disambut logo brand kenamaan yang sudah menjadi langgananku. “Pertanyaan itu selalu bisa kamu jawab kan, Ya?” “Aku udah mikir,” ada jeda saat ia mengatakannya. Mobil yang dikemudikan Arya sudah menepi. Ia menatapku lekat seakan memang inilah waktu yang tepat untuk mengatakan kalimat terkutuk itu. Kalimat yang sudah bisa ku prediksi akan keluar suatu saat nanti, si kalimat terkutuk yang langsung membuat perasaanku campur aduk seperti sekarang ini. “Kalau kita cuma pacaran nggak jelas kayak gini tanpa punya tujuan yang pasti. Lebih baik kita jalan masing-masing dulu, Bi.” Aku diam. Ku tarik napas pelan, dan berharap jika keran air di mataku tidak terbuka. Setidaknya tidak untuk sekarang ini, tidak di depan Arya. Dadaku berdegup, dan Arya yang ada disebelahku tidak mampu menatapku lagi. “Oke, mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri. Tolong buka pintunya.” Emosiku naik. Arya yang agak panik spontan memegang lenganku, “paling nggak biarin aku anterin kamu sampe rumah, Bi.” “Biar apa?” tantangku. Egoku yang sialan muncul. “Kita selesaikan semuanya baik-baik, biar aku anterin kamu.” Aku sudah ingin marah jika tidak mengingat bahwa aku masih harus pulang sendirian dan berusaha untuk tidak membuat maskaraku luntur karena lelehan air mata. “Aryadhito Haryajid, kita udah sepakat untuk jalan masing-masing barusan aja. Biarin aku pulang sendiri kalau gitu.” “Tapi, Bi—“ “Kamu mau liat aku nangis di sini dan nyalahin diri aku yang belum siap untuk berumah tangga sama kamu, Ya?” “Maksud aku—“ Aku menekan kenop pintu, berharap Arya segera mengerti maksudku. Dan tak sampai satu menit pintu itu terbuka. “Aku cuma mau kamu tahu kalo selama empat tahun lima bulan ini aku sayang banget sama kamu, Bi. I just wanna let you know.” Tangan Arya yang menahanku ku lepas dengan lembut. “So, do I, but here we are. Sayang aja ternyata nggak cukup untuk bisa buat kamu bertahan.” Aku menutup pintu mobil dan berjalan ke belakang supaya Arya tidak bisa menahanku. Ha! Menahan, aku memang terlalu berharap. Arya yang baru dua jam lalu makan malam bersamaku karena jarang-jarang kami bisa pulang on time, masih bersikap manis dengan memesankan makanan di tempat yang sering kami kunjungi karena dekat dari kantor dan tidak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Harusnya aku tahu, tiap senyumannya tadi saat di Pho24 ada maksud yang ia sembunyikan dengan rapat. Sikap yang sangat manis dengan memberikanku tisu untuk mengelap sudut bibirku, dengan memesankan ekstra sayur yang memang sudah menjadi kebiasaanku—oke selama ini aku selalu memesan makanannku sendiri, jadi sudah sewajarnya jika aku berpikir jika sikapnya saat kami makan malam tadi sangat manis, dan itu adalah bentuk perhatian terakhirnya padaku.  Dan di antara kemacetan Tendean di jam sembilan malam, aku berharap tangisku bisa menunggu. Setidaknya sampai aku sampai ke rumah, atau tepatnya kamarku sendiri. Mobil Arya perlahan kembali jalan. Tidak ada adegan bujuk-mebujuk dengan dia yang berlutut dan mengatakan bahwa apa yang dikatakannya beberapa menit lalu hanyalah gurauan, atau mungkin kalau aku boleh berharap, adalah satu keputusan terbodoh dalam hidupnya dan kami ternyata tidak saling putus. Malah makin lengket. Ya, you wish Bian! Nyatanya sekarang aku sendirian dipinggir jalan dan berusaha untuk terihat tegar sembari memesan kendaraan online.   Dan satu hal yang hampir saja aku lupa, aku belum siap diinterogasi ibu dan Ayah.   ***   “Kenapa deh mata lo? Abis nangis?” Mila, teman satu timku yang sedang membawa laptop ke ruang rapat membuka percakapan dengan sempurna sepeti penampilannya hari ini yang dibalut dengan setelan jas powder pink serta kuncir kudanya. “Keliatan banget ya?” tanyaku pada Mila yang kini memandangku heran. “Why, Hon? Kan bonus baru turun, apa yang lebih menyedihkan dari bonus nggak turun-turun? Timbangan?” Mila duduk disebelahku, untungnya ruang meeting masih kosong. Setidaknya aku tak perlu curhat ke banyak orang apa lagi di depan Pak Budi, sang team leader. Yang ada malah bisa-bisa aku diberikan petuah sok tahu tentang sebuah hubungan--yang mana, kesukaannya. Bukan wejangan sih, tapi hanya berupa tips-tips sok tahu dari om-om yang masih suka jajan di luar sementara sang istri dengan setia menunggu di rumah. Oke, lupakan Pak Budi. I have a serious problem here. Aku mendesah, “gue putus sama Arya.” Mila melongo. “Serius?” tanyanya, “how come?” jika sedang tidak bermuram durja, sudah ku foto tampangnya yang super kaget itu. “Semalem pas balik, di tengah macetnya Tendean ke Cawang.” “Bentar, bentar! Gimana? Di mobil pas lo mau balik?” “Iya.” Wajahku langsung lesu kembali. Mataku panas, ah! Efek sedih itu lagi. Sialan! Aku tidak mau menangis dan make a scene di kantor. Terlebih, setengah jam lagi kami akan meeting dengan salah satu klien untuk membahas jenis investasi yang cocok untuk ditanam. It’ll be raw, dan tidak lucu jika ingusku meler saat sedang meeting, kan? Mila memelukku dan mengusap punggungku lembut. Air mataku sebentar lagi tak akan terbendung, rasanya sudah panas. “Have a sip tonight, ok?” Aku tertawa pada akhirnya saat air mataku mulai menetes dan membuat bekas di jas super licin dan wangi milik Mila. Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar. “two single ladies at Friday night, not bad, lah.” “Gue putus, Mils.” “Maksud gue, ya gue nemenin elo dan kejombloan lo curhat gitu.” “Elo tuh bahagia ya kayaknya liat gue putus.” aku tertawa sembari mengelap ujung mataku dengan tisu pemberian Mila. “Yah… seenggaknya lo bisa ketawa kan? Lagi pula, besok sabtu. Dua tiga malt gin bisa buat tenang sementara. Drunk talk is a good serum, no?” “Makasih, Mils.” Mila tersenyum. “Ajak Candra sekalian, nggak?” “Ajak deh, biar dia bisa milih mana laki mana yang demen laki.” “Hah?! udah mau move on lo? Secepet itu?” Aku menepuk lengan Mila, “ya nggak! Biar kita usir yang sekadar mau flirting sama yang emang mau gabung ngecengin Candra.” “Oh… bener juga. Si banci lagi jomblo juga. Ya udah, nanti gue kabarin Candra.” FYI, Candra is gay, our circle is square one. Jadi tidak akan ada acara sahabat jadi cinta. Meeting dimulai tak lama setelah Mila menyiapkan semua perangkat untuk tampilan prezi kami. Dua orang perwakilan dari Ruido Blanco, yang semua karyawannya terlihat elit namun santai dan menawan, sudah duduk di hadapan kami tapi otakku tak mengindahkan fakta itu, yang mana membuat Mila kerap melirikku ingin berkomentar. Entah tentang si pria yang rapi jali dengan rambut tertata sempurna karena gel dan bertampang oke, atau tentang si wanita yang dengan rajinnya mengibaskan rambut atau malah ingin memamerkan cincin berliannya yang besar. Ah, damn. Cincin berlian, yang tiga bulan lalu Arya tawarkan padaku saat kami lewat Frank and Co setelah friday night kami yang diisi dengan nonton dan berlanjut makan malam. Hah! Friday night yang nanti malah akan ku habiskan dengan Mila dan Candra beserta teorinya tentang drunk talk. Bodohnya, Saat itu harusnya aku paham kode berlian itu, tapi aku malah berpikir semua itu karena ceritaku tentang bonus yang baru saja cair. Harusnya aku peka, bukan malah tertawa bodoh sambil menggandeng Arya lantas pergi ke Metro. Aku mendesah, yang ternyata terdengar sampai ke seberang dan membuat klien pria yang namanya siapa tadi? Edy? Fendi? Rudi? Menatapku sembari tersenyum kecil. Sial kuadrat. “Sori.” Bisikku nyaris tidak terdengar. Dan begitulah, sampai meeting selesai untungnya aku tidak melakukan hal-hal aneh lain yang bisa membuat semua mata memandang hingga aku terlihat seperti tidak antusias dengan project mereka. Aku berusaha untuk fokus dengan susah payah, dan sedikit berhasil. Meski pikiranku melayang pada kejadian semalam.  Bukan salahku dong! Empat tahun lima bulan bukanlah waktu yang sebentar. Meski rekor terbesar masih dipegang Mila yang sudah berpacaran sepuluh tahun, dilanjut dengan tukar cincin, namun kandas di tengah jalan karena Bima menghamili wanita lain. Dan herannya Mila tidak berupaya untuk menghajar Bima atau menyewa preman Blok M, atau bahkan menyantetnya begitu. Sepuluh tahun memupuk perasaan lalu kandas di tengah jalan. No, we just turn to another road, Bi. Kata Mila, bukan aku. Oke, jadi inilah yang akhirnya ku rasakan juga, turn to another road versiku, yang mungkin bahkan sepenuhnya bukan salah Arya. Tuh! Kini aku sudah ada dalam tahap menyaahkan diri sendiri seperti teori Dunning Kruger. Confidence setinggi gunung karena memiliki Arya, keudian putus dan jadi depresi, lalu kemudian jadi bijaksana seiring berjalannya waktu? Hah bullshit! Aku bukan mamah Dedeh.       “Meeting-nya ngebosenin, ya.” Suara di depanku terdengar seperti sebuah pernyataan, bukan sebaliknya. Aku meringis. “Maaf, tadi kepikiran yang lain. Tapi meeting-nya tadi seru, semoga prospek kedepannya bagus. Leovid Management Investasi memang sebagus itu.” racauku, yang… apa sih kataku barusan?! bahkan anak TK juga tidak sebodoh itu dalam menjual dagangan! Si klien yang kata Mila oke itu hanya tertawa maklum. “Sebagus itu, ya? Oke kalau begitu. Sampai ketemu di meeting selanjutnya, dan semoga juga masih sebagus itu hasilnya.” Triple combo deluxe tertimpa tangga. The end sudah Bianca Anaya Winoto hari ini, dan jam tujuh malam masih delapan jam lagi. Oh God.   ***   Empat tahun lima bulan. Kalau di kantor sudah naik jabatan jadi manager, atau paling nggak senior apa gitu yang gajinya naik jadi dua digit. Kalau kuliah sudah lulus atau mentoknya sedang menyusun skripsi. Yang mana saja, sudah ada hasilnya. Tidak seperti hubunganku dan Arya yang kandas begitu saja. The end. “Taruhan deh dia punya cewek lain, atau lagi suka sama cewek lain. No offense, ya, Mils.” Candra menepuk pelan lengan Mila yang sedang sibuk menenggak margarita pesanannya. “I know.” Jawab Mila santai. “Gila kali!” Aku menyikut Candra senewen. “Kalo gitu alasan gue belum siap buat ke jenjang yang lebih serius itu boong, dong?” Suara Candra kini melengking ditengah riuh Blowfish dan musiknya, “Kali aja yang lain ini siap diajak merit! Arya gitu! Analis yang biasa wara-wiri di IDX Channel. Gila kali! Kalo gue cewek, ortu gue tau gue dipacarin orang macem gitu, besoknya langsung diboyong ke KUA.” “Sayangnya lo laki ya, Can.” Kali ini gantian Mila yang terbahak. “Ya gitu deh,” sungut Candra.  “Eh, nyindir gue lo? Bukannya ngibur gue malah buat gue makin galau. Tau gitu mending gue pulang tadi.” Kepalaku sudah ku sandarkan pada meja kecil yang menampung minuman kami. Mataku setengah pedih, karena omongan Candra barusan dan asap rokok diruangan ini. Dan pada akhirnya, mungkin karena efek alkohol dalam tubuh juga, aku menangis. “Tapi gue masih sayang sama Arya,” racauku ditengah tangisan. Kepalaku dielus oleh entah siapa, tapi kemudian ditoyor. “Ceu, helo! Itu artinya lo diberikan suatu insight biar tau si Arya itu tipe yang mau keep in fight atau demennya mundur kalo sedang ada badai menghadang.” Yang ini kata Candra yang barusan membuat kepalaku pusing karena ulah tangannya yang jahil. “Kalo baru level satu aja mundur, gimana lawan dewa bujana nanti? Kalah sebelum berperang is big no, darling.” “Tapi kan salah gue juga, Can! Gue belum mau nikah dan nyokapnya udah nyuruh dia buat nikahin gue mulu.” aku akhirnya duduk tegap dengan air mata yang meleleh ke mana-mana. “Trus aja nyalahin diri lo sendiri sampai gue buntingin cewek.” Aku tertawa pada akhirnya, disusul dengan tatapan Mila yang geli pada Candra. “Kadang gue iri sama lo,” kataku. “Lo nggak musingin nikah nggak nikah.” “Ya karena nikah sesama laki di Indonesia Raya itu haram, bego! Kalo bisa juga dari kemarin gue nikah sama Tria, buktinya sekarang apa? Doski nikah sama cewek pilihan orang tuanya. Dan gue dibuang ke tong sampah kayak banyaknya laki yang udah dia cobain.” “Dan lo tau akan berakhir seperti yang lain tapi lo masih aja mendewakan tuh orang.” Giliran Mila yang kini ikut berkomentar. “Namanya juga bucin, bahkan sekelas Stephen Hawking aja bisa jadi orang paling bego seantero semesta ketika dihadapkan sama Elaine Mason.” “Tul!” belaku. Ya betul, kami ini kumpulan orang-orang yang tersakiti. Mila, seperti yang sudah ku beri tahu tadi, diselingkuhi tunangannya sampai selingkuhannya hamil. Candra ditinggal begitu saja tanpa kejelasan dan pada akhirnya diketahui bahwa menikahi perempuan hasil seleksi sang ibunda, dan aku, yang… ya sudah tahu lah kenapa. Jangan tanya aku kenapa aku belum siap berumah tangga dengan Arya. Bukan karena tampangnya yang amburadul–Arya adalah pria ternecis dan terapih yang pernah ku kenal, bukan juga karena masalah prinsip hidup yang berbeda. Well, kami sama-sama suka Clint Eastwood dan Pentatonix sebelum Avi Kaplan keluar, tidak terlalu suka makanan pedas, lebih memilih DC dibanding Marvel, menyukai film horror terutama slasher, menganut Saturday wine until giting dan Sunday morning with jogging, serta sederetan hal lainnya yang kini terasa semakin jelas. Bukan hanya itu saja, kami sangat cocok dalam banyak aspek, tapi meski begitu masih ada pertanyaan bergelayut di hati. Apakah Arya adalah orang yang ku cari selama ini, yang bisa menjadi punggung untuk keluargaku kelak, yang bahkan bukan hanya punggung, namun sebuah pondasi untukku nanti? Aku masih memiliki keraguan, yang sebenarnya tak perlu kalau kata Candra. Tapi menikah bukan hanya menyatukan dua orang dalam satu rumah, kan? Tapi meniadakan keraguan untuk bisa saling percaya dan mengambil pilihan besar dengan menikah. Dan dengan Arya? Entahlah, atau mungkin aku hanya takut saja untuk berkomitmen lebih serius? Aku juga tidak tahu. Yang pasti, Friday night tanpa Arya sungguh terasa janggal. Aku jadi ingat film pertama yang kami tonton dulu saat baru jadian, Kapan Kawin. Ya, sial sekali mengingat film yang ternyata relevan dengan keadaanku sekarang ini. Bedanya mereka happy ending, dan aku sebaliknya. “Apa gue harus nyewa cowok, ya, kayak Dinda?” Candra mendelik, “Dinda siapa lagi sih? Dan kenapa harus nyewa cowok? Lo kalo mau make out sih tinggal pilih aja kali di sini, banyak yang ganteng bertebaran.” “Apa sih, Bi. Lo udah mabok nih!” “Kapan Kawin, guys. Kapan Kawin! Film Reza dan Adinia dulu. Dan belum bilang sama nyokap bokap kalo gue putus. Lo tau? ini semua karena gueeeee… dan mungkin bener kata Dion dulu, mana ada pasangan yang langgeng karena ketemunya deket toilet!” aku meraung. “Duh si bego, ngapain lo percaya sama mantan lo yang udik itu? Mau ketemu di dalem toiletnya kek, di pasar, di bantar gebang, ya kalo emang disuruh Tuhan buat saling suka, ya suka aja kali! Napsu mah nggak mengenal tempat!” Candra menghardikku seperti seorang ibu yang sedang menasehati anak gadisnya. “Makanya kan gue di-flush sama Arya!” Fix, I’m drunk. “Bi, lo udah mabok, cukup.” Mila mengambil gelas dari tanganku. “Kan elo yang ngajakiiiiinnnnn…” kataku sambil menujuk-nunjuk Mila. “Udahlah balik aja, ribet nih urusan kalo udah mabok gini. Ujung-ujungnya muntah.” Candra berdiri dan mencoba menegakkan badanku, tapi aku tak mau meski ujung-ujungnya aku di papah Candra yang tubuhnya seperti beruang madu hasil gym rutin. Jika aku tidak bisa jadi Dinda versi dunia nyata, apa aku harus seperti Leonarda Cianciulli, yang sengaja membunuh tiga wanita karena percaya bahwa dengan mengorbankan manusia sebagai tumbal adalah jalan terbaik untuk menjaga seseorang agar tetap tinggal? Dan mayatnya kemudian dijadikan sabun dan kue kering untuk dikonsumsi sendiri? Begitu? Ah, aku sudah gila.  How could I remove you from my mind, Arya? if everything I do, reminds me of you.   ***   Hari ini adalah hari di mana aku beserta beberapa orang dari divisiku mengikuti Program Pendidikan Lanjutan, yang artinya adalah, aku akan bertemu dengan Arya karena kami mendaftarkannya bersama sebulan lalu. Memikirkannya saja sudah membuat perutku mulas tak keruan. Sebenarnya aku tidak mau datang, biarkan saja uang tiga ratus lima puluh ribu itu lenyap. Tapi itu uang kantor, bukan uangku. Bisa-bisa aku diamuk Pak Budi karena sudah membuang-buang anggaran kantor. Sebenarnya aku bisa saja mengganti uang sialan itu, tapi aku sudah terlanjur menolak ajakan untuk on site ke Surabaya juga, itu artinya tetap saja aku akan kena omel. Aku belum siap untuk bertemu dengan Arya, aku belum siap melihatnya dengan kacamata baca dan serius menekuni materi PPL sembari membuka diskusi tentang Deutsche Bank yang Sekuritasnya akan mundur dari Indonesia atau SBR007 baru yang minimal return-nya 7.50%, lebih kecil dari yang sebelumnya. Dan aku dengan kagum setengah mati akan memerhatikan Arya yang mengoceh panjang lebar tentang topik apa pun yang akan dia diskusikan entah dengan siapa. Ya, salah satu alasan mengapa aku menyukai Arya adalah kecerdasannya serta pintarnya ia bergaul dengan orang baru. Tak usah dipungkiri lagi, acara semacam ini adalah salah satu jalan mencari koneksi baru untuk perjalanan karir kedepannya. Duh, hebat sekali aku sudah membahas hal praktikal seperti ini pagi-pagi. Dengan setengah hati, aku masuk ke mobil Mila yang sudah ada di lobi. Candra dan Tio sudah duduk di belakang, sibuk dengan obrolan mereka para Menteri yang terjaring OTT. Aku memilih menenggelamkan diri dengan handphone, sibuk scrolling tweet tak penting. “Leanggak ikut?” tanya Mila padaku. “Nggak, dia ikut Lisa, mau sarapan dulu katanya.” “Oh, kirain mau ikutan juga biar gue berasa kayak abang go-car yang dikacangin.” “Tenang, nanti gue ajak ngobrol. Gue cari topik dulu.” Tiba-tiba saja Candra memandangku dari kaca spion, wajahnya sudah terlihat glowing tanda sudah siap berburu gandengan baru. Pasti kemarin setelah pulang kantor ia langsung facial ditambah masker ini-itu. “Kucel banget sih muka lo, nggak ada bagus-bagusnya dikit. Nggak make up ya?” Candra, si mulut ember itu mengalihkan pembicaraan seriusnya dari Tio “Mau gue gampar pagi-pagi, nggak? Lumayan tiga minggu gue nggak boxing.” “Duh galak, jangan lo godain deh, Can.” sahut Tio yang bergidik. “Gitu tuh efek abis putus. Bawannya pengen makan orang, padahal mending makan di Fork & Screw. Eh tanggal 27 ada Tulus, yuk booking tempat biar kita bisa ber-langit abu-abu!” Candra menyodorkan kepalanya, dan tersenyum lebar. “Duh plis deh, lo mau nyindir gue apa gimana?” “Oh, lo tersinggung? Atau kita bersendu ria sambil nyanyi, maukah lagi kau mengulang ragu dan sendu yang lama…” “Diem deh suara lo sember.” Tio terbahak, “Can udah deh, nanti ngambek beneran.” “Apa lagi mau ketemu Arya.” sambar Mila sambil tertawa. “Lo semua tuh ya, temennya lagi galau patah hati, malah diledekin. Temen apaan kayak gitu!” “Kira-kira nanti dia bahas apaan ya? SBR? Apa Sukuk?” Candra melirik Mila dari spion. “Deutsche kali, SBR is so Gen Z.” Jawab Mila. “Eh gue start dua puluh mio tapi buat SBR.” Kali ini Tio yang membela diri. “Gue dua lima.” Timpal Mila. Aku hanya diam di antara diskusi tak penting tentang uang ini. Yang ada diotakku, mungkin beginilah cara orang memandang Arya, dengan opininya yang tak pernah jauh dari masalah pekerjaan dan instrumen ekonomi. Sudah ada label tersendiri untuk Arya yang ia ciptakan sedari dulu, sejak ia bercerita bahwa sejak kecil ia sudah disuruh Ayahnya untuk mencatat IHSG market berupa running text yang berseliweran di televisi karena ayahnya terlalu sibuk mengurus perusahaan batu bara miliknya. Itulah Arya yang aku kenal, dan hal itu yang membuatku menyukainya. Pandangannya luas, begitu juga dengan ilmu yang ia miliki. Aku menghela napas setelah memikirkan Arya lagi. Candra mendelik, “udah deh nggak usah pamer lo tanem berapa.” “Lo nggak kan? Julid gitu.” balas Mila. “Nggak! Puas lo semua? Oke kalo gitu gue booking buat tanggal 27 Februari ya. Lo juga, Yo. Jangan urusin tender mulu, stress trus mati lama-lama. Lo juga, Bi, refreshing dulu jangan kebanyakan kerja, udah lemah letih lesu kurang gairah keliatannya. Make up buruan, keburu nyampe. Putus itu lo harus jadi lebih baik, lebih cantik, biar dia merasa rugi mutusin lo. That’s one o one rules of broken heart, Ceu. Oke deal, booked for four.” Sebelum aku bisa buka suara, Candra sudah selesai reservasi meja untuk kami berempat. Bagus sekali. “Lo yang bayar, ya. Gue nggak ada niatan buat makan-makan hepi di malam minggu.” “Oke, deal. Buat yang sedang patah hati, gue berbaik hati.” Mila melongokkan kepala ke spion, “Kalo gue, Can?” “Patah hati lo udah kadaluwarsa, dan lo udah nikah deh, Tio, apanya yang patah hati!” Tio yang sedari tadi menyikut Tio untuk minta ditraktir juga akhirnya diam. “Curang lo.” Katanya. “Nggak usah ngomongin curang-curang kalo lo udah berhasil invest sekian mio.” Balasnya. “Udah jangan berantem, bentar lagi nyampe, tinggal muterin PP, nih! Lo pada turun di halte aja deh ya.” Mila memberikan instruksi pada kami. “Gue butuh ke toilet deh kayaknya.” Kataku yang tiba saja jadi mulas. Pasti ini efek Arya. “Oh tentu, lo belum dandan. Yang ada gue yang malu berasa bawa kabur pasien dari rumah sakit mana tau.” Tandas Candra. Aku mendengus. Sebenarnya, apa yang dikatakan Candra ada benarnya. Wajahku memang terlihat pucat tanpa sapuan lipstik dan blush on. Tampangku sudah seperti orang pesakitan dengan pandangan yang nanar. Sudah tiga minggu sejak aku putus dengan Arya, dan kesehatan mentalku menurun drastis. Jadi malas memulas make up sampai harus diteriaki orang-orang dulu, terutama Candra, malas makan kalau tidak dibelikan oleh Mila, Candra, atau Tio. Tidak lagi menyentuh teh-teh sajen versi Mila yang selalu berisi bunga-bungaan, atau pun semangat jika jam pulang sudah tiba. Aku lebih suka bekerja sampai larut, dan pulang ketika hanya tinggal satpam dan anak-anak KAP junior di satu gedung yang sama. Dan sudah semingguan ini Candra sering sekali mengajakku ke tempat-tempat yang bahkan tak ku sangka Candra tahu. Ia tidak akan membiarkanku ada di kantor sampai lebih dari jam delapan malam. Sedangkan Mila, akan menculikku di jam makan siang untuk makan di luar sembari berbelanja singkat. Sudah ada dua blazer serta sepasang sepatu Manolo baru di dalam mobilku yang terparkir di parkiran kantor. Semua karena Mila dan sifat royalnya. Semua ia yang bayar, sampai aku harus sedikit bertengkar di depan kasir Lafayette karena dengan baik hatinya Mila mau merogoh kocek dalam. Jujur saja, aku tidak mau dibilang memanfaatkan uang Mila yang memang dikenal old money. Tapi di sisi lain, aku tidak mau membuat Mila malu karena ia tengah mencoba membuatku untuk sedikit lebih ceria dengan membelikan berbagai barang yang bisa dijangkaunya. Oke, sepertinya hal ini bisa ku ceritakan lain kali, karena kami sudah berdiri di halte IDX dengan Candra di kananku dan Tio disebelah kiri sembari menenteng tas laptop biar nanti sekalian bisa sambil mengecek market. “Buruan ke toilet deh, rame gini muka lo kucel.” Candra dengan gemas berjalan disampingku. “Iya, Can.” Jawabku pasrah. “Eh… bentar, itu Arya, bukan?” tanya Tio sembari menunjuk satu sosok paling tampan yang pernah singgah di hidupku, dengan pandangan matanya. Iya, itu Arya. Dengan seorang perempuan cantik berambut ikal kecoklatan yang alas sepatunya merah seperti wajahku saat ini. Wanita itu dengan sangat casual mengobrol dengan Arya sambil menyentuh lengan pria yang selalu ada untuk menjadi sandaranku saat kami mengobrol santai di apartemennya sembari menonton Netflix. “Oh, ini. Berat keliatannya, Bi.” Candra memandang kedua orang itu berjalan setelah satpam selesai memeriksa bawaan mereka. “Cantik, sih.” Tambah Tio. “Bemper depan belakang oke banget sih.” Tambah Candra. “b******k lo semua.” Jawabku sembari jalan cepat meninggalkan dua pria yang mengapitku. “Bi, nggak gitu maksud gue!” aku bisa mendengar teriakan Candra dan Tio yang tertinggal di belakang. Arya, apa ini perempuan yang sudah buat kamu move on dari aku? -Continue-      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD