Predator

2623 Words
    Waktu makan malam adalah waktu yang cukup sibuk bagi para pekerja warung makan yang terkenal akan nasi gorengnya. Hal itu terjadi karena banyak orang yang sengaja mengunjungi warung untuk makan di sana, atau membungkus makanan untuk di bawa pulang selepas pulang kerja. Warung tersebut terletak dideretan ruko yang berada di tepi jalan raya kota Jakarta. Karena itulah banyak orang yang tahu warung tersebut.     Karena banyaknya pelanggan yang datang, warung tersebut terlihat penuh sesak. Baik koki maupun pelayan warung, terlihat sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Tentu saja mereka semua sibuk karena harus melayani pesanan yang masuk sekaligus. Beberapa pelayan juga ada yang bertugas menyambut pelanggan yang baru saja datang dan membereskan meja ketika pelanggan yang lama pergi.     Di antara para pelayan yang tengah sibuk tersebut, ada seorang gadis bernetra hitam yang sibuk menyambut tamu serta mencatat pesanan. Rambut hitam panjangnya yang diikat tinggi-tinggi, tampak bergoyang seiring pergerakannya yang lincah. Gadis itu bernama Alea Dewi, orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Lea.     Lea adalah gadis manis berusia dua puluh tahun. Tahun ini, Lea baru saja mengkuti ujian paket C yang setara dengan sekolah menengah atas. Ya, Lea memang putus sekolah karena beberapa alasan. Tapi Lea puas karena dirinya masih bisa belajar dan mendapatkan ijazah sekolah menengah atas. Ya, kepuasan yang terasa sederhana bagi seorang gadis yang tumbuh besar di panti asuhan.     Lea tersenyum manis saat melihat seorang pelanggan yang baru saja memasuki warung. Pelanggan tampan yang sering menjadi pusat perhatian pelanggan lainnya. Mungkin selain karena ingin makan, para pelanggan wanita datang karena ingin melihat pelanggan tampan ini. Lea melambaikan tangan pada pelanggan tersebut. Tentu saja Lea mengenal siapa orang itu, siapa lagi jika bukan Dante, seorang dokter keturunan orang asing, yang telah menjadi pelanggan tetap di warung tempatnya bekerja.     “Dokter, masih ada kursi kosong di sini!” Lea melambaikan tangannya dan menunjuk sebuah meja kecil yang hanya bisa memuat dua orang. Lea memang sengaja untuk menyisakan tempat tersebut untuk Dante. Lea memang seakan-akan sudah tahu jadwal kapan Dante akan datang ke warung.     Dokter tampan itu tersenyum dan menatap Lea dengan manik biru lautnya yang indah. Manik indah yang selalu lebih dari mampu untuk mencuri perhatian Lea. Benar, Lea memang sangat menyukai netra indah Dante. Lebih dari itu, sebenarnya Lea sangat iri dengan netra itu. Jika saja, Lea juga memiliki netra seindah itu.     “Sudah berulang kali kukatakan untuk memanggil namaku saja,” ucap Dante sembari duduk di tempat yang ditunjuk oleh Lea.     “Itu sangat tidak sopan, Dokter. Aku sangat menghormati Dokter. Jadi, aku tidak akan bersikap tidak sopan pada Dokter yang kuhormati ini. Ngomong-ngomong hari ini Dokter ingin makan apa?” tanya Lea dengan senyum manisnya yang belum luntur.     “Aku ingin nasi putih dan cumi asam manis. Untuk minumnya aku ingin teh tawar,” jawab Dante singkat setelah berpikir mengenai menu apa yang akan makan malam ini.     Lea mengangguk dan mencatat pesanan Dante dengan cepat. Lea memang sudah sangat terampil untuk mencatat dengan sangat cepat. Ini pengalaman selama dua tahun penuh. Ya, Lea memang sudah bekerja di warung makan ini selama dua tahun. Lebih tepatnya tepat setelah Lea dirinya ke luar dari panti asuhan. “Baik, tunggu sebentar ya, Dok!” Dante hanya mengangguk ringan dan tersenyum saat mengamati Lea yang sibuk dengan pekerjaannya.     Sedangkan Dante sendiri, telah menjadi pusat perhatian sejak dirinya memasuki warung sederhana itu. Bagaimana tidak, Dante hadir dengan membawa aura yang segar dan berbeda daripada orang-orang di sekitarnya. Apalagi wajahnya yang tampan membawa ciri khas orang asing, dan kulit putih pucat yang lembut membuat para kaum hawa menelan ludah berulang kali.     Terlebih ketika mereka secara tidak sengaja bersitatap dengan netra biru Dante yang bening, mereka akan tenggelam dalam imajinasi yang tak berujung. Berharap jika netra indah tersebut selalu menatap mereka. Berharap jika setiap pagi, selepas bangun tidur netra biru tersebutlah yang pertama kali mereka lihat. Ah membayangkannya saja, sudah membuat semua para wanita merasa begitu bahagia.     Sayangnya, Dante tak memiliki waktu untuk memedulikan tatapan memuja dan penuh nafsu itu. Karena perhatian Dante hanya dikhususkan untuk Lea. Gadis yang selama tiga tahun ini menguasai hati serta pikirannya. Setiap harinya, otak serta hati Dante seperti telah diatur untuk kembali mengingat sosok Lea.     Dante tidak bisa berbohong jika setiap paginya, dirinya tidak bisa menahan diri untuk segera melihat Lea. Sosok mungil yang selalu berhasil membuatnya lupa akan lelah dan masalah yang menderanya. Ya, Lea terasa seperti obat baginya, pengobat lelah atas semua masalah yang menderanya tiap hari.     “Dokter ini pesanannya, selamat menikmati,” ucap Lea sembari meletakkan piring-piring di atas meja yang ditempati Dante.     “Terima kasih Lea. Oh iya, aku pesan mi goreng spesial dan teh manis dingin lagi ya,” ucap Dante dengan sebuah senyum manisnya.     Lea tersenyum jail. “Dokter pasti sangat lapar, ya? Tapi bukankah makan terlalu banyak itu tidak baik? Hm, meskipun begitu, aku tidak mungkin membiarkan Dokter kelaparan setelah seharian menghabiskan waktu yang melelahkan. Baik akan aku pesankan lagi, tapi selagi menunggu silakan nikmati yang ada terlebih dahulu ya.”     Dante hanya menggeleng pelan saat melihat Lea telah berbalik pergi sembari meloncat-loncat, bak kelinci kecil di tengah hamparan salju. Dante mulai memakan pesanannya, sembari mengamati gerak-gerik Lea yang lincah.     Tanpa terasa, malam semakin larut dan seiring berjalannya waktu para pelanggan berangsur berkurang. Warung makan tersebut akhirnya sudah mulai sepi. Tak lama, Lea datang dengan membawa piring berisi mie goreng. “Ini pesanannya, silakan dinikmati.”     Begitu selesai berkata, Lea ditarik oleh Dante dan dibuat duduk di seberangnya. Tentu saja Lea terkejut, bahkan kini Lea masih bisa merasakan jantungnya yang berdetak gila-gilaan. Dante segera berteriak, “Bos aku pinjam Lea sebentar!”     Bos yang dimaksud oleh Dante, adalah pria yang duduk di balik meja kasir. Lea menoleh dan melihat sang bos mengacungkan jempol, tanda persetujuannya. Lea hanya mendesah dan kembali menatap manik biru milik Dante yang berkilau di bawah lampu. Tampak indah jika diamati dengan seksama. Lea sendiri adalah orang yang senang menatap netra indah milik Dante tersebut.     “Memangnya ada apa Dokter?” tanya Lea.     “Tidak ada hal yang khusus. Hanya saja, aku ingin memastikan kondisimu. Ini sudah dua bulan, sejak sesi terakhir terapi rehabilitasimu. Apa selama dua bulan ini rasa sakit di kakimu kembali menyerang? Apa mimpi buruk itu masih datang mengganggu tidurmu?” tanya Dante serius.     Dante merupakan dokter ortopedi, dokter khusus yang memiliki fokus menangani cedera dan penyakit pada sistem musculoskeletal tubuh. Itu mencakup tulang, sendi, tendon, otot, dan saraf. Tiga tahun yang lalu, Lea dibawa ke rumah sakit dengan cedera parah di kaki kirinya. Cedera tersebut disebabkan kecelakaan mobil yang menimpa seluruh keluarganya.     Saat itu, keluarga Lea tengah dalam perjalan pulang setelah piknik di pantai. Dan dalam kecelakaan itu hanya Lea yang selamat, walaupun kondisi Lea sama sekali tidak baik. Saat itu, kaki kirinya yang cedera parah. Tulang kakinya patah menjadi beberapa bagian, serta otot-ototnya mengalami perpindahan tempat serta sobek.     Karena kondisi mengerikan itulah, Dante sebagai pemimpin tim medis harus mengambil tindakan operasi besar untuk memperbaiki struktur tulang dan otot Lea. Selain mengalami cedera kaki, ternyata Lea mengalami gangguan psikis karena kecelakaan tersebut.     Trauma itu secara tidak langsung membuat alam bawah sadar Lea menyalahkan dirinya sendiri atas tragedi yang terjadi tersebut. Setiap malamnya, Lea terus diganggu oleh mimpi buruk yang menghampiri tidurnya. Lea juga tidak bisa berkativitas seperti orang normal kebanyakan karena traumatis yang ia derita tersebut. Jujur saja, bukan hal yang mudah bagi Dante untuk membuat Lea kembali hidup dengan normal. Selama dua tahun penuh, Dante mengawasi serta turut membantu dalam proses terapi Lea dan bekerja sama dengan psikiater yang menangani Lea.     Hasilnya, kini Lea telah kembali hidup seperti remaja yang lainnya. Kondisi psikis Lea telah stabil, Lea sudah bisa naik bus atau kendaraan bermotor lainnya yang semula selalu membuatnya takut. Tapi hingga saat ini pun, Dante harus merasa was-was karena efek cedera kaki Lea yang masih tersisa. Dante tahu dengan jelas bagaimana kondisi kaki Lea dan seberapa besar peluang untuknya sembuh secara sempurna.     Lea tersenyum dan menggeleng. “Berkat Dokter dan Bunda, aku tidak lagi mendapatkan mimpi buruk atau sakit di kakiku.”     Dante mengamati ekspresi Lea untuk beberapa saat, dan dirinya tahu jika Lea tidak berbohong. Diam-diam dirinya mendesah lega. “Syukurlah. Lalu bagaimana dengan rumah susun yang kau tempati? Aku benar-benar khawatir saat mendengar dari Bunda bahwa kaumemutuskan untuk ke luar dari panti, dan memilih bekerja untuk membantu beliau.”     Setelah kehilangan keluarganya dalam kecelakaan itu, Lea tak memiliki tempat berlindung atau sanak saudara yang tersisa. Pada akhirnya departemen sosial memutuskan untuk mengirimnya kesebuah panti asuhan. Penanggung jawab panti tersebut adalah Yuli dan dikenal dengan panggilan bunda.     “Cukup nyaman, walaupun tak senyaman kamar di panti. Aku tidak menyesal ke luar dari panti, tiga tahun aku sudah merepotkan Bunda dengan kondisi kaki dan psikisku yang tak stabil. Jadi, sekarang waktunya aku membalas kebaikan Bunda. Bekerja dan membantu keuangan panti.”     Dante tersenyum. Gadis di hadapannya ini memang baik hati. Dante menepuk tangannya dan berkata, “Oke kalau begitu, kau harus makan dengan benar agar tetap kuat saat berusaha membalas budi. Ayo makan, ini salah satu makanan kesukaanmu, bukan?” Dante menyodorkan piring mi goreng pada Lea. Dante benar-benar memaksa Lea untuk segera menghabiskan makanan yang telah ia pesan.     “Tapi—”     “Tidak ada tapi-tapian. Makan, atau akan kubuat Bunda menyeretmu kembali ke panti. Aku akan mengatakan jika rumah susun itu sama sekali tidak aman. Lalu aku juga akan mengatakan jika selama ini kamu sering kelelahan karena bekerja hingga larut malam. Sekarang pilih, mau makan, atau pulang bersama Bunda?”     Dante terkekeh saat melihat Lea mengerucutkan bibirnya dan mulai makan. Ketika mulai makan, saat itu pula Lea akan lupa diri. Ia makan dengan begitu lahap dan melupakan penolakannya beberapa saat yang lalu. Lea terlihat menikmati saat-saat lidah dan mulutnya dimanjakan oleh kelezatan makanan yang ia kunyah. Terlalu antusias, Lea membuang tata krama dan makan dengan begitu cepat.     Dante yang asyik menonton acara makan Lea, bisa melihat dengan jelas noda-noda yang tersisa di sudut bibir serta pipi Lea. Dengan gerakan yang terampil, Dante menyeka semua noda tersebut dengan tisu. Setelah semua sikap manis tersebut, Lea hanya mengucapkan terima kasih tanpa menampilkan ekspresi yang menandakan bahwa ia merasakan gugup atas perlakuan intim Dante. Bahkan pipi Lea saja tidak memerah. Tidak ada tanda sedikit pun jika Lea merasakan hal yang sama dengan hal yang dirasakan oleh Dante.     Lagi-lagi Dante hanya mendesah dalam hati. Sebenarnya, apa Lea tidak menganggapnya sebagai seorang lelaki? Ah, Dante harus tenang. Ia harus bersabar dan melangkah secara perlahan. Lea pasti tak bisa menangkap sinyal-sinyal yang ia berikan, karena Lea menghabiskan masa pubertas tak seperti remaja yang lainnya.     “Hari ini pulang jam berapa?” tanya Dante setelah membuang tisu kotor ke tempat sampah.     “Mungkin sekitar jam sebelas. Memang kenapa Dok?” jawab Lea setelah menelan makan yang telah ia kunyah.     Dante mengerutkan kening. Jelas terlihat jika dirinya tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius. “Saat ini situasi cukup berbahaya. Aku mendengar kabar bahwa saat ini penculikan mulai kembali marak. Jangan pulang terlalu malam. Ah tidak, lebih baik aku mengantarmu pulang. Itu lebih aman,” ucap Dante tak menyembunyikan kecemasan yang ia pikirkan.     “Tidak perlu, Dokter pasti memiliki kesibukan yang lain. Lagi pula, rumah susunku berada tak jauh dari  sini. Aku juga tahu jalan tikus yang aman. Dokter tidak perlu cemas.” Lea mencoba menenangkan Dante. Tentu saja Lea tidak mau membuat Dante kembali merasa cemas karena dirinya. Sudah cukup dirinya membuat Dante repot karena masalahnya.     “Tapi—” ucapan Dante terpotong saat ponselnya berdering. Ekspresi Dante terlihat berubah dalam satu detik, tapi Lea tak bisa menangkap perubahan tersebut. Dante segera mengangkat telepon tersebut.     “Ya?” Dante mendengarkan jawaban dari orang di ujung sambungan telepon dengan ekspresi yang berangsur-ansur serius. Manik matanya yang semula terlihat biru bening, tampak menggelap dalam waktu yang cepat.     Setelah beberapa saat Dante mengangguk dan berkata, “Kondisinya terlalu rumit. Sepertinya aku harus turun langsung menanganinya.”     Dante memutuskan sambungan telepon lalu menyimpan ponselnay kembali. Kini Dante kembali menatap Lea. “Maafkan aku, aku tidak bisa megantarmu pulang. Ada pasien kecelakaan dengan kondisi yang sangat parah, dan aku harus kembali untuk menanganinya. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain mengambil alih, atau semuanya akan kacau,” ucap Dante dengan nada menyesal.     Lea mengangguk dan tersenyum. “Iya Dok, semoga Dokter sukses. Dokter jangan khawatir, aku akan pulang dan tiba dengan aman di rumah susun.”     Dante tersenyum. Ia mengangguk dengan pasti. “Aku pastikan kali ini akan sukses besar. Ingatlah untuk hati-hati saat pulang! Ini uang untuk makanannya. Lain kali, kamu yang harus mentraktirku. Aku pergi!” Dante segera melangkah pergi setelah mengusap pucuk kepala Lea dengan lembut.     Lea mengerucutkan bibirnya. Dante selalu bersikap seakan-akan Lea adalah anak kecil yang patut diingatkan dalam segala hal. Tapi jujur saja, Lea merasa cukup senang dengan perhatian Dante ini. Lea merasa diperhatikan oleh seorang kakak. Lea lalu mengembangkan sebuah senyum yang terlihat begitu manis menghiasi wajah cantiknya.     Tapi sebelum benar-benar pergi, Dante menghentikan langkahnya dan berbalik untuk berteriak pada Lea, “Oh iya, akhir bulan ini, aku sudah membuat jadwal khusus untuk memeriksa kondisi kaki dan psikismu. Aku tidak akan menerima penolakan. Jika tidak datang, aku akan benar-benar membawa Bunda ke rumah susunmu dan membuat beliau menarikmu pulang saat itu juga.”     Lea terlihat tak percaya. Ia bangkit dari duduknya dan balas berteriak, “Kenapa Dokter selalu mengancamku dengan Bunda? Menyebalkan! Tapi tolong hati-hati di jalan!” Lea pada akhirnya hanya bisa melambaikan tangan mengantar kepergian Dante. Setelah memastikan jika mobil yang dikendarai Dante tak lagi terlihat, Lea  segera berbalik untuk membantu membereskan dan menutup warung.     Setelah semua pekerjaanya selesai, Lea dan pekerja lainnya diperbolehkan untuk pulang. Karena arah rumah susun Lea dan rumah teman-temannya berbeda arah, alhasil kini Lea melangkah seorang diri menyusuri trotoar yang cukup sepi. Hal ini wajar, karena ternyata sekarang lewat tengah malam. Lea salah perkiraan, ia kira akan pulang jam sebelas, tapi ternyata banyak hal yang harus dibenahi di warung, dan membuat semua pekerja tertahan dalam waktu yang cukup lama.     Lea mempercepat langkah kakinya saat memasuki gang di antara dua dinding gedung yang bersisian. Inilah jalan tikus yang ia maksud tadi. Ini adalah jalan tercepat menuju rumah susun yang uang sewanya telah ia bayar untuk tiga bulan ke depan. Langkah kaki Lea memelan saat menyadari jika lampu di antara sisi gedung  perkantoran dan bangunan rusun telah meredup. Padahal Lea sering merasa takut jika melewati bagian gang yang itu. Ah Lea harus ingat untuk mengatakan pada penjaga rumah susun untuk segera mengganti lampu tersebut. Lea tidak mau jika suatu saat lampu tersebut tiba-tiba mati saat Lea lewat sendiri di tengah malam. Pasti itu akan terasa sangat menakutkan.     Alhasil Lea memilih untuk menghidupkan senter pada ponselnya untuk menjadi penerangan lebih selama melewati gang. Lea melangkah cepat melewati celah antar bangunan tersebut. saat melewati tersebut, Lea tidak merasakan apa-apa, tapi begitu dirinya tiba di area pelataran rumah susun, Lea merasa jika ada yang tengah mengawasinya.     Dengan takut-takut, Lea menoleh ke belakang. Tapi dirinya sama sekali tidak melihat apa pun. Yang ia lihat hanya area gelap yang diterangi lampu radup. Lea merasa bulu kuduknya berdiri saat ini. Entah kenapa, Lea merasa jika sekarang ada seseorang yang tengah berdiri di celah gelap antar gedung. Memang tidak terlihat siapa pun di sana, hanya saja ada firasat yang menyebutkan jika ada seseorang di sana. Sayangnya, Lea tidak memiliki keberanian lebih untuk menghampiri celah dan memastikan secara langsung.     Lea hanya bisa mengumpulkan keberaniannya untuk mengeluarkan suaranya yang terdegar bergetar, “Siapa di sana?”     Tapi tidak ada sahutan yang terdengar. Lea malah semakin ketakutan saat angin malam yang dingin berembus dan membelai kulitnya dengan gerakan yang menakutkan. Tanpa pikir panjang Lea berbalik dan berlari menuju gedung rumah susun. Hal yang tak Lea sadari adalah, apa yang ia rasakan memang benar.     Di celah gelap antar gedung, berdiri sosok yang memang tengah mengamati pergerakan Lea dengan seksama. Tatapannya tajam, seperti seorang predator yang menghitung waktu sebelum menerkam mangsanya dan mencabik-cabiknya dengan kejam, memuaskan nafsu berburunya yang menggelegak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD