Gadis Tanpa Rasa Cinta

1634 Words
"Ghea, maaf, ya, Sayang. Hari ini Mama nggak bisa pulang. Kamu nggak apa-apa, kan, kalau ambil raportnya sendiri?" Sudah terduga sebelumnya. Kesibukan kedua orang tua itu mengalahkan segalanya. Mengejar pundi rupiah sampai lupa anaknya di rumah. "Iya, Ghea bisa sendiri, kok." Gadis bernama lengkap Ghea Nafatia itu menghela napas. Setelah memutuskan sambungan telepon, ia berjalan keluar kamar untuk segera berangkat ke sekolahnya. Situasi seperti ini sudah sering Ghea rasakan sedari dulu. Di mana ketika para sahabatnya datang bersama kedua orang tuanya, Ghea hanya datang sendirian. Setiap ada acara sekolah yang mengharuskan menghadirkan kedua orang tua, kedua orang tuanya selalu sibuk dan tak bisa datang. Menyesakkan memang. Ghea selalu muak dengan kesibukan mereka yang bahkan sampai lupa dengan kehadirannya. "Sendiri lagi kamu?" Baru selesai menuruni anak tangga, Ghea menoleh ke asal suara. "Iya." Wanita dengan umur yang sudah hampir enam puluhan itu menghampiri Ghea. "Iya, harusnya kamu sadar diri juga. Mereka sibuk kerja juga buat biayain hidup kamu yang terlalu boros itu." Berdecak pelan. Ghea tidak mau menghiraukan ucapan wanita itu. Kembali berjalan dan meninggalkan neneknya begitu saja. Iya, wanita tadi adalah nenek kandung Ghea. Wanita bernama Mariska yang sikapnya tidak seperti nenek pada umumnya. Terlalu banyak waktu sampai rela mengulik kesalahan Ghea bahkan yang kesalahan kecil sekalipun. ----- Hal yang paling menegangkan saat pembagian raport adalah ketika guru menggantungkan ucapan untuk menyebutkan siapa yang menjadi juara kelasnya. Benar-benar membuat jantung bekerja dua kali lipat dari biasanya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi ketiga gadis yang tengah bersantai sembari menikmati makanannya di kantin. Yang satu merasa pasrah dengan nilainya, yang satu lagi merasa bosan dengan posisi peringkatnya yang tidak pernah mau bergerak maju, sedangkan yang satunya lagi merasa tenang karena tidak terlalu memusingkan masalah peringkat kelas di hidupnya. Mereka adalah tiga dari sekian banyaknya tipe pelajar santuy. "Kok, gue deg-degan, ya?" ujar salah satu dari ketiga gadis itu. Sosok gadis yang tengah sibuk memakan mie ayam menatap temannya yang baru saja berujar. "Ngintip sana, siapa tau lo dapet peringkat." "Gak mau, ah, itu cuma angan gue doang." "Bagus kalo nyadar diri." "Untung gak pake orang tua, jadi gue masih bisa aman." Satu mangkuk mie ayam telah habis, kini cewek yang membiarkan rambutnya tergerai indah itu meminum jus melonnya. "Kalau pun bawa orang tua, emang orang tua lo mau pulang?" "Mana mungkin." "Itu lo tau." Sedangkan satu sosok cewek yang sedari tadi hanya terdiam itu menghela napasnya pelan. "Sekarang kita udah gak ada santuy-santuyan. Udah semester genap di kelas akhir, artinya kita harus tobat. Gak ada bolos, gak ada gak ngerjain PR, gak ada nakal-nakalan lagi." "Ah siap, Nyonyah Ghea. Lo irit ngomong, sekalinya ngomong selalu sukses bikin orang bingung." Ghea memutar bola matanya malas. "Dari pada lo, Ren, kalo ngomong gak pernah gak bikin kuping gue panas." Cewek yang bernama lengkap Irene Leeona itu beralih menatap satu lagi temannya. "Nyonya Larisa, kali ini gue serius. Lo pilih Irene Leeona yang kalo ngomong suka bikin adem, atau pilih Ghea Nafatia yang kalo ngomong suka bikin puyeng?" Cewek yang di panggil Larisa itu menghela napas pelan menanggapi perkataan Irene barusan. "Pilih dua-duanya gak bisa?" Irene menggeleng pelan. "Gak ada, harus satu." Larisa, gadis fenomenal yang kerap di sapa Risa itu  terdiam sebentar sebelum akhirnya berbicara kembali. "Kalo gitu, sorry, ya, kayanya gue pilih Ghea, deh." Irene menatap Risa sinis. "Temen laknat lo, mulai sekarang, gue gak mau traktir lo mie ayam lagi." Risa terkekeh pelan. "Peduli amat, duit gue banyak kalo lo lupa." "Awas aja lo kalo butuh gue." Irene beralih menatap Ghea yang tengah menatapnya juga. "Ngapain lo liat-liat? Seneng dapet dukungan?" Ghea mengangkat salah satu alisnya. "Ngapain?" Irene menggeleng pelan. "Gak jadi." "Gak jelas," cibir Ghea. "Bodoh amat," balas Irene tak mau kalah. Risa yang melihat itu hanya menggeleng pelan. "Kalian udahan dulu gila nya. Btw, liburan semester ini mau ke mana?" Irene mengangkat bahu seraya menggelengkan kepalanya. "Gak tau, gak ada rencana. Maybe nyusul orang tua ke luar." Risa beralih menatap Ghea. "Lo ke mana Ghe?" "Gak tau, mungkin di rumah aja. Orang tua mau pulang soalnya," jawab Ghea. Ia berkata jujur karena liburan semester kali ini, Papa dan Mamanya akan pulang dari luar kota setelah satu bulan pergi lamanya. "Lo sendiri gimana Ris?" tanya Ghea. Risa menghela napasnya gusar. "Di rumah mungkin. Bokap gak pulang, otomatis cuma berdua sama Mama." "Gak ada niatan liburan bareng Arka?" tanya Irene. Risa menggeleng pelan. "Cuek bebek kayak gitu, jangankan liburan, ngajak ngobrol aja langka." Irene berdecak pelan. "Udahlah, lepasin dan cari yang lain aja. Cowok banyak." "Gak bisa, gue udah terlanjur bucin sama dia," jawab Risa cepat. Ghea menghela napasnya. Ia tidak habis pikir dengan Risa yang sedari dulu tidak pernah kapok dengan sikap Arka yang selalu cuek kepadanya. Dari cewek itu yang mulai menargetkan Arka sebagai cowok berikutnya, mengejar cinta Arka mati-matian, sampai sekarang ketika cewek itu sudah bisa membuat Arka jatuh cinta kepadanya. Benar, cinta dan bodoh memang selalu berjalan beriringan. Sulit dibedakan. ----- Pulang sekolah enaknya tidak pulang langsung ke rumah. Setidaknya menghabiskan waktu terlebih dahulu bareng teman-teman, apalagi mengingat besok yang sudah mulai libur sekolah di semester ganjil.  "Anjir, ya! Gue nyamperin Arka ke kelasnya, tuh cowok malah udah pulang duluan." Risa menggerutu sebal dengan sikap kekasihnya.  Irene yang mendengar itu terkekeh pelan. "Gak tau, ya, Ris, perasaan dulu lo jatuh cintanya gak gini-gini amat." Ghea menganggukki ucapan Irene. "Tau. Jangan terlalu dalem, lah, Ris, giliran disakitin kita juga yang repot." Risa memutar bola matanya malas. "Ocehan kalian gak mempan sama gue. Gue tetep cinta mati sama cowok cuek satu itu." Ghea dan Irene saling memandang sebelum akhirnya berjalan beriringan meninggalkan Risa. "Eh woy! Tungguin!" teriak Risa seraya menyusul kedua temannya. "Btw nongki di mana, nih?" ucap Irene ketika Risa sudah berhasil menyusulnya dan juga Ghea. Dengan napas yang masih terengah, Risa mencoba berpikir untuk menentukan tempat tujuan mereka kali ini. "Mall? Bosen. Kafe? Bosen juga. Rumah lo aja, Ghe, gimana?" Ghea tidak masalah kedua sahabatnya datang ke rumah, mengingat mereka yang belum pernah sama sekali singgah di rumahnya dikarenakan ia yang sering pindah rumah. Namun, jujur saja saat ini ia malas dengan rumahnya. Ada hal yang membuatnya seperti itu. "Gak, males di rumah. Di rumah Irene aja, gimana?" Ghea beralih menatap Irene. "Lagian, rumah lo free, kan?" Irene terdiam menimbang ucapan Ghea sebelum akhirnya ia mengangguk setuju. "Boleh deh, tapi gak ada makanan di rumah." Risa berdecak kemudian merangkul bahu kedua sahabatnya itu agar segera berjalan cepat menuju parkiran. "Ah elah. Delivery aja kali." Ketiganya sudah sampai di parkiran, menghampiri mobil merah cerah milik Ghea. Ketiganya baru akan masuk, namun suara Risa menghentikan gerakan kedua sahabatnya. "Wait! Itu bukannya Arka?" ucapnya seraya memperhatikan ketiga motor cowok yang baru saja keluar dari parkiran. Irene sedikit memicingkan matanya kemudian mengangguk pelan. "Lagi-lagi lo ditipu, Ris!" Ghea terkekeh pelan mendapati kenyataan bahwa sahabatnya yang bernama Larisa itu lagi-lagi dibodohkan oleh cinta.  Secinta-cintanya, tidak ada yang mau sampai dikucilkan seperti itu. Kalau selamanya mengandalkan alasan karena 'cinta butuh perjuangan', maka, akan sampai mana akhirnya? Yang ia takutkan, cowok cuek yang cukup dikenal satu sekolah itu hanya menerima Risa karena kasihan, bukan perasaan. "Kelakuan b**o, tapi otak jangan ikut b**o. Putusin! Banyak cowok yang ngantri dapetin lo, Ris." Setelahnya Ghea memasuki menyusul Irene yang sudah lebih dulu masuk sebelumnya. Risa mendengus kemudian ikut masuk menyusul kedua sahabatnya. Cewek trouble yang akhir-akhir ini sudah mengurangi tingkah gilanya itu menatap sahabatnya satu persatu. "Gue ada ide." Irene yang duduk di belakang sedikit memajukan tubuhnya. "Apa? Jangan aneh-aneh." Ghea mendengus pelan. "Gak jauh dari ngikutin tuh cowok." Risa mengangguk mantap kemudian tertawa pelan. "Neng Ghea memang top!" Tidak mau memusingkan diri dengan ocehan Risa selanjutnya, Ghea langsung menancap gas untuk mengikuti ketiga cowok itu. ------ Dalam sebuah lagu menyebutkan bahwa hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Namun, pernyataan itu tidak berlaku bagi orang yang sama sekali tidak mau mengenal cinta. Apa pun alasannya. Bukannya tidak normal. Hal seperti itu dilakukan hanya untuk menghindari kerumitan cinta, terlebih lagi dengan urusan patah hatinya. Tiga gadis yang masih mengenakan seragam sekolah tengah memantau ketiga cowok yang duduk tidak jauh dari mejanya. Sudah tiga puluh menit lebih, namun mereka seperti tidak ada niatan untuk pulang. Meskipun ketiganya sadar kalau hari sudah akan mulai malam. "Gue jadi curiga Arka gak sayang sama gue." Ghea yang tengah memainkan ponselnya, menatap Risa dengan tatapan malas. "Udah gue kasih tau plus solusi, lo tetep kekeuh sendiri." "Lagian, nih, ya, apa yang menarik, sih, dari Arka? Cuma modal ganteng, pinter, gak neko-neko, kebanggaan para guru, pinter main bola. Itu doang." Risa menatap Irene heran. "Definisi cowok menarik menurut lo apa?" "Yang bisa memperlakukan kita istimewa. Gak cuek bebek kaya doi lo gitu." Skak. Risa tidak bisa membalas lagi karena ia sudah kalah telak. Menghela napas, gadis itu beranjak dari duduknya. "Ya, udahlah, pulang aja." Ghea menatap Risa heran. "Baper lo sama perkataan Irene?" "Nggak, ngapain? Sindir halus, tapi gue tetep nyadar diri. Arka emang segila itu." Irene menggeleng pelan. "Gak mau cari yang lain?" Risa menghela napasnya. "Untuk sekarang, jawaban gue masih sama." Ghea beranjak dari duduknya. Cinta, cinta, dan cinta. Tidak ada hari tanpa cinta. Selain rumit, cinta juga banyak menyita pikiran. Apalagi ketika perlakuan dan sikap pasangan tidak sesuai apa yang kita inginkan. "Ya, udah pulang. Gak mau lo samperin dulu?" "Gak. Setiap kebohongan pasti ada alasannya." Irene ikut beranjak dari duduknya. "Kuy! Martabat kita tinggi, jangan mau pusing sama urusan laki-laki. Come on, Ris! Gue yakin, suatu saat Arka pasti bucin juga sama lo." Risa terkekeh mendengar ucapan Irene. Ia mengangguk kemudian merangkul bahu kedua sahabatnya. "Dua sahabat gue yang ini, emang paling the best." Ghea memutar bola matanya malas. "Emang lo punya sahabat lain selain gue sama Irene?" Risa menggeleng sembari terkekeh pelan. "Kagak, tapi kalo haters banyak." Irene berdeham sebentar kemudian melirik Risa dan Ghea secara bergantian. "Rang cantik mah beda." Setelah kompak tertawa, ketiganya langsung berjalan keluar. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD