1

1024 Words
Keributan kembali terjadi pagi ini, seolah hal ini merupakan aktifitas rutin setiap harinya. Eliza menghela napas kasar, ia bosan, sangat-sangat bosan. Kenapa tidak pernah ada kedamaian dalam hidupnya? Kenapa keluarganya selalu bertengkar? Mama dan papanya yang selalu bertengkar mengungkit sifat buruk masing-masing, dan salah satu kakaknya yang sering menimbulkan masalah. Brakk! Eliza menolehkan kepalanya ketika mendengar suara gebrakan meja yang kuat. Elyaz, anak sulung dari keluarga ini tampak berang dan muak dengan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Keributan berhenti dan Elyaz menjadi pusat perhatian keluarganya sekarang. Sedangkan Eliza? Gadis itu hanya duduk diam dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang hanya memainkan sarapannya tanpa berniat sedikitpun untuk memakannya. Nafsu makannya lenyap begitu saja walaupun saat ini ia sangat lapar. "Tidak tahu malu!" cibir Elyaz yang tak lama segera menarik Eliza, sang adik untuk ikut pergi bersamanya. Eliza pasrah saja saat Elyaz terus membawanya hingga masuk ke dalam mobil dan melesat pergi dari kediaman rumah mereka. Rumah yang seharusnya menjadi surga untuk sang pemiliknya, namun bagi Elyaz dan Eliza rumah itu bagaikan neraka. Sepanjang perjalanan baik Elyaz maupun Eliza sama-sama diam, tak ada percakapan yang menemani mereka berdua. Setelah berkendara hampir lebih tiga puluh menit, Elyaz memberhentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah berukuran sedang tak terlalu luas namun cukup mewah. Elyaz membuka sabuk pengamannya seraya berujar pada Eliza, "Mbak ambil Elara dulu ya." pamitnya yang diangguki Eliza. "Kamu mau ikut masuk ke dalam?" Eliza tampak berpikir sejenak lalu menggelengkan kepalanya, "tidak Mbak, aku nunggu disini aja." "Baiklah, Mbak juga tidak akan lama. Ya kamu tau sendirilah," Elyaz mengedipkan sebelah matanya sebelum beranjak turun dari mobilnya. Eliza memperhatikan kakaknya yang perlahan masuk ke dalam rumah tersebut. Sepuluh menit kemudian Elyaz keluar dari rumah itu bersama anak perempuan yang berada dalam gendongannya. Elyaz meletakkan tubuh putrinya di jok kursi mobil belakang. "Hai," sapa Eliza pada Elara yang tampak mengantuk sehingga hanya tersenyum saja membalas sapaannya. Kedua sudut bibir Eliza melengkung membentuk sebuah senyuman melihat wajah lucu Elara yang ngantuk dan tak lama tertidur. "Sepertinya Ara sangat mengantuk, Mbak." Elyaz mengangguk. "Ya, tadi Ara memang masih tidur. Tapi aku tetap ingin mengambilnya dari si berengsek itu. Ini sudah seminggu dari jatah dia bersama Ara, dan seminggu ini giliranku untuk bersama putriku." Elyaz tampak berbinar bahagia di akhir kalimatnya. Eliza tersenyum meringis mendengarnya, pasti tidaklah enak dan tak mudah untuk si kecil Ara yang sudah menjalani hidupnya sebagai anak broken home. Ya, Elyaz dan mantan suaminya, Zico. Memutuskan bercerai saat Ara berusia tiga tahun. Sudah lima tahun berlalu dan kini usia Ara sudah menginjak angka delapan tahun. Awalnya mungkin sulit untuk Ara tapi seiring berjalannya waktu Ara sudah terbiasa dengan hidupnya dan mulai mengerti apa yang terjadi pada orangtuanya meskipun belum mengerti sepenuhnya. Eliza memberi sedikit pengertian pada keponakannya itu, bahwa kedua orangtuanya sudah berpisah karena suatu alasan. Ara yang polos tentu saja belum mengerti akan arti dari kata pisah itu. Eliza menjelaskan seadanya dan semampunya saja pada Elara, setidaknya agar gadis kecil itu tak kebingungan dan terus bertanya-tanya mengapa kedua orang tuanya tak lagi tinggal bersama. "Dek," panggil Elyaz menyadarkan Eliza yang larut dalam lamunannya. "Ya Mbak?" "Hari ini gak usah masuk kerja aja ya." "Gak bisa Mbak, jadwal siaranku kan pagi dan malam." "Yah, sekali aja. Mau ya?" bujuk Elyaz, "sekali-kalinya dek bolos kerja, lagian juga gaji kerja disana gak seberapa." "Yang penting halal Mbak." "Lah iya. Makanya jangan kayak Elinna yang kerjaannya cuma menggatalin para lelaki." "Husss, Mbak, gak boleh gitu. Walau gimanapun Mbak Elinna itu adik Mbak, dan Mbaknya aku." Elyaz diam dengan raut wajah manyun. "Aku nggak suka loh dek tiap kali kamu belain dia." "Aku nggak ada belain siapapun, aku hanya mengingatkan saja bahwa seburuk apapun Mbak Elinna. Dia tetaplah saudara kita, anak Papa dan Mama juga." "Tapi tetap saja, aku tidak menyukainya. Aku tidak suka sifatnya yang seperti jalang itu, tidak tahu malu sekali." akui Elyaz marah, "aku jadi merasa ragu, apakah kita bertiga ini benaran saudara kandung?" Pertanyaan Elyaz membuat kepala Eliza pening, ini bukan satu atau yang kedua kalinya Elyaz bertanya seperti itu. Pertanyaan yang selalu saja sama dilontarkan Elyaz, meragu akan hubungan persaudaraan antara mereka bertiga. Dari segi wajah memang Elinna sendiri yang berbeda. Memiliki paras yang sangat cantik dari mereka serta hidung yang mancung. Kecantikan Elinna bahkan memang membuat iri kedua saudaranya ini. "Dia itu rubah, Dek. Licik dan mematikan." kata Elyaz, "dia menutupi segala sikap busuknya lewat wajah polosnya, yang sebenarnya itu hanyalah topeng!" "Mbak, udah dong." "Gak! Aku gak akan udah sebelum kamu sadar, aku gak mau kamu terus-terusan belain dia." "Aku gak ada belain siapapun Mbak!" sahut Eliza mengelak, karena nyatanya ia memang tidak bermaksud untuk membela Elinna. Disini Eliza hanya berusaha untuk tidak membuat persaudaraan mereka pecah berai, walau sebenci apapun mereka pada Elinna. "Aku gak ngerti lagi Dek sama kamu. Kamu itu udah disakitin Elinna tapi masih aja baik dan belain dia, kamu sadar gak sih kalau cowok yang kamu suka udah di rebut sama dia." Deg. Ingatan Eliza berputar kembali pada waktu itu, saat dimana Elinna terang-terangan jalan bersama dengan pria yang Eliza suka. Tak hanya sampai disitu, bahkan Elinna mengajak pria itu ke rumah dan memperkenalkannya pada seluruh keluarga. "Jangan dibahas lagi," pinta Eliza merasa terluka kala mengingat itu. Elyaz tahu jika adiknya ini merasa sakit hati dan kecewa, tapi ia tidak bisa berhenti untuk terus memancing amarah yang terpendam dalam diri Eliza. "Kenapa? Kamu kecewa sama Elinna kan? Masih ingin terus membelanya, hmm?" Eliza diam, lidahnya keluh dan tak mampu untuk menjawab perkataan Elyaz. Sejujurnya ia memang terluka dan kecewa akan hal itu, Elinna jelas tahu bahwa Evanz Marvelino adalah pria yang ia sukai. Tapi, dengan teganya sang kakak tetap mengincar serta menggaet pria itu menjadi kekasihnya. Betapa hancurnya hati Eliza kala mengetahui fakta itu. Ia yang pemalu dan tak memiliki keberanian untuk berdekatan dengan lawan jenis, jelas saja membuatnya tetap masih menjomblo. Apalagi dengan pria yang di sukainya, semakin gugup dan kucurlah Eliza walau hanya untuk bertegur sapa sekalipun. Padahal pria yang bernama Evanz Marvelino itu tinggal di daerah yang sama dengan mereka. Andai Eliza memiliki sedikit saja keberanian untuk mendekati Evanz, maka kemungkinan pria itu akan melihatnya lebih dulu dan bukannya Elinna. Tbc....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD