Prolog

229 Words
“Bisa nggak, nggak pakai nangis!!!” teriak Ziddan Jerry Fabiano kepada istri yang baru dinikahinya sebulan yang lalu, Angelissa Calura Debbian. Ziddan duduk di kursi makan sambil menegak minuman kaleng di genggaman. Matanya menatap Caca—nama panggilan istrinya itu dengan tajam. Sang istri hanya terisak, tangannya menuntup mulut agar suara isakan itu tidak terdengar oleh sang suami. Caca berbalik, dia mengambil sup yang tadi dimasak khusus untuk suaminya itu lalu dia sodorkan kepada Ziddan. Tangan Caca gemetar saat menyodorkan sup, takut sang suami kembali marah. Ziddan melihat tangan istrinya yang gemetar itu dengan tersenyum sinis. Ia menarik mangkuk lalu menyendok sup itu. Ziddan mengernyit merasakan sup di mulutnya, lalu dia menyemburkan sup itu ke lantai lantas menggebrak meja cukup keras. Brak!!! “Dasar istri nggak berguna!!” ucap Ziddan kemudian pergi tanpa melihat Caca yang berurai air mata. Caca menunduk dengan bahu bergetar. Isak tangis yang sempat ditahannya tadi kini tidak ia hiraukan. Kenapa kehidupan rumah tangganya menjadi seperti ini? Kekasih yang amat sangat dia cintai menjadi pribadi yang berbeda semenjak mereka memutuskan menikah. Caca laly mendekati mangkuk sup yang masih penuh itu, dan menyendokkan ke mulut. Saat memasak tadi dia mencicipinya, dan rasanya cukup enak. Tapi kenapa sang suami malah marah-marah? “Masakan kamu enak sekali, makasih, Sayang,” gumamnya. Ia ingin sekali mendengar ucapan itu dari suaminya, bukan ucapan pedas yang selalu membuatnya sedih dan menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD