Prolog

920 Words
Ada rahasia di balik pintu. Dia yang membawa kisah kerinduan. *** Nenek Asti, menyusuri anak tangga pelan-pelan menuju ke bawah. Tangan kanannya memegangi pinggiran tangga, sedang tangan kirinya memegang rantang makanan. Napasnya sudah mulai terengah-engah, padahal masih setengah jalan. Usia tak membuatnya terus-menerus kuat. Riki, remaja tanggung, muncul dari bawah tangga. Ia bergerak cepat naik mendekati si wanita tua. "Nek, saya yang bawa," tawarnya yang segera mengambil rantang makanan. Dia kemudian memegangi tangan  kiri sang Nenek, hanya agar neneknya punya tumpuan ganda. Sampai di bawah, Nenek Asti, duduk di sofa. Menenangkan napas dan mencoba meredakan nyeri di bagian lututnya dengan memberikan pijatan ringan. Sering ia tergoda untuk menyampaikan ke tuannya perihal pengalihan tugas ke cucu lelakinya. Tapi, setiap mengingat ekspresi marah tuannya, Nenek Asti mundur. "Nek." "Mmm...," jawab Nenek Asti. "Orang di dalam sana nanyain Mbak...." "Udah! Bilang aja gak tau," sahut Nenek Asti. Nadanya terdengar gusar. "Kasihan tapinya, Nek. Orangnya nangis melulu." Riki kemudian menoleh ke arah pintu yang berada di belakangnya. Begitu juga Nenek Asti. Wanita renta itu menarik memorinya mundur. Teringat dia bagaimana kondisi orang di dalam begitu mengenaskan saat pertama kali dibawa. Dia terus menangis, meraung, dan memaki. Tidak lama, setelah tuannnya datang, masuk ke dalam, orang itu diam, tersisa tangis, dan jeritan. "Antarkan makanan dan minuman itu ke dia. Kalau dia tanya lagi, jawab saja.... Mungkin sebentar lagi datang." Nenek Asti melemah hati. Sebuah janji, mungkin bisa menjadi pemanis dari hidup orang itu yang menderita dalam kesepian dan terkurung. "Kapan, Nek?" buru Riki. "Sebentar lagi," ulang Nenek Asti lemah. Usianya suah sangat tua. Mungkin, memberikan janji manis adalah satu-satunya kebaikan yang bisa diberikannya pada orang di dalam. Riki mengangguk dan mulai memegang rantang serta kantong plastik besar berisi tiga botol besar air mineral. Riki tidak pernah tahu bagaimana wujud orang di dalam ruangan, tetapi dia suka mendengarkan orang itu menyanyi. Saat pertama kali Nenek Asti membawanya ke ruang bawah tanah, Riki berusia lima tahun. Ada perasaan takut kala itu, apalagi sakelar lampu di ujung tangga atas, ternyata hanya untuk menyalakan lampu di bawah. Praktis jalan tangga masih setengah redup dan itu membuatnya gemetar. Namun, saat sampai, ia mendengar lantunan lagu yang sangat lembut. Sejak itu dia tak pernah takut. Bahkan sepertinya orang itu tahu kapan Riki dan neneknya datang, karena bahkan sebelum lampu dinyalakan, orang itu sudah bernyanyi. Orang di dalam itu juga sangat pandai berhitung dan ilmu pengetahuan lainnya. Riki selalu membawa tugas sekolah dan orang itu selalu membantunya menjelaskan berikut jawabannya. Orang di dalam selalu minta imbalan, buku gambar dan pensil warna yang dengan sukarela Riki siapkan. Kali ini, Riki tak mendengar lantunan lagu. Dari pertama membuka pintu, Riki hanya mendapati kesunyian, membuatnya mengernyit. Ini sangat tidak biasa setelah selama sepuluh tahun Riki mengenal orang itu. Riki berdiri di depan pintu yang di desain khusus. Ada dua lubang. Satu di bawah, setinggi lutut dan ada semacam pintu geser. Lubang itu biasa digunakan untuk memasukkan makanan dan botol minuman. Pernah Riki kecil mencoba memasukkan kepalanya, tetapi kepalanya ditahan dari dalam, dan orang itu bicara lembut. "Jangan, Nak. Jangan mencoba melihat masuk. Jangan bahayakan dirimu. Tidak ada yang bagus di dalam sini." Perlahan orang itu mendorong keluar kepala kecil Riki dan sejak itu selalu menutup pintu geser. Hanya dibuka jika Riki kecil sudah mengetuk. Kini, sebelum berjongkok untuk memasukkan makanan dan minuman melalui lubang geser di bawah, Riki yang sudah bertumbuh tinggi, akan selalu menyapa dulu melalui lubang pintu bagian atas yang diberi jeruji besi. Biasanya, setiap selesai menyapa, orang itu akan bertanya, "Mimpi apa kamu semalam, Riki?" Tapi, kali ini tidak. Tak ada sahutan. Riki memajukan tubuhnya dan menajamkan penglihatan. Ruangan orang itu selalu temaram, selalu ada sudut gelap di mana orang itu bersembunyi. Riki melihat sesuatu tergeletak. Ia menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas. Tiba-tiba Matanya membelalak, jantungnya berdegup. Ada yang salah. Yang tergeletak di lantai adalah tubuh orang itu. "Nek! Nenek! Cepat ke sini! Cepat, Nek!" teriak Riki tanpa mengalihkan perhatiannya pada orang di dalam. Nenek Asti menegakkan duduknya. "Ada apa!" "Cepat ke sini! Bawa kuncinya! Orang di dalam jatuh!" Nenek Asti pun bergegas menghampiri cucunya. Wajahnya pucat, jantungnya berdegup kencang. Ada kekhawatiran juga ketakutan. Khawatir jika orang di dalam benar-benar sakit dan itu parah, atau yang lebih mengerikan, orang itu meninggal. Karena tuannya mengingatkan agar orang di dalam tidak boleh benar-benar sakit apalagi terluka. Jika orang itu sakit, Nenek Asti akan serius merawat. Ia bahkan terpaksa menginap dan tidur di depan ruangan orang itu, hanya agar dia bisa memenuhi keinginan orang sakit, memastikan orang di dalam benar-benar sembuh. Semalam, ia sangat yakin jika orang di dalam baik-baik saja. Tak ada keluhan sakit. Masih didengarnya orang itu berdialog dengan Riki. "Bagaimana?" tanya Nenek Asty yang ikut melihat ke dalam ruangan. Mata tuanya benar-benar sulit melihat di keremangan cahaya. "Ayo, Nek. Mana kuncinya." Riki tidak sabar. Matanya kembali menatap tubuh orang di dalam. "Hei! Kamu tidak apa-apa?" tanya Asti. Tak ada jawaban. "Sudah, Nek. Buka pintunya," desak Riki. Nenek Asti bimbang, ketakutan tak bisa disembunyikan dari wajah rentanya. Ia memang memegang kuncinya, tapi larangan keras baginya membuka pintu ruangan orang itu jika belum diperintah. Bahkan saat orang itu mengeluh sakit, Nenek Asti tidak membuka pintuya. "Nek! Buka, Nek." "Nanti Tuan marah sama kita, Rik," erang Nenek Asty putus asa. "Nek, bagaimana kalau orang itu kenapa-kenapa? Bukankah Tuan akan semakin marah?" Ketakutan dan keraguan menjadi satu. Tak terkendali menguasai Nenek Asty, membuat tangan rentanya bergetar gelisah. "Nek, orang itu kalau sakit kan selalu di tempat tidur. Tapi, lihat, Nek. Orang itu tergeletak di lantai. Sesuatu buruk pasti terjadi," ujar Riki. Akhirnya Nenek Asti tak kuasa akan nalurinya atas belas kasih. Dia mengenal baik bagaimana keras dan mengerikannya sang tuan. Tetapi nuraninya menuntut dirinya melakukan hal benar. Nenek Asti berkutat dengan kunci, hatinya sibuk berdoa untuk kebaikan orang di dalam juga kebaikan untuk dirinya dan cucunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD