1. Hari Pertama

1247 Words
Aku tak tahu kemana takdir akan membawaku. Layaknya lautan, setiap kapal yang berlabuh di dermaga menawarkan perjalanan dengan banyak kisah yang menakjubkan bagai kesempatan dengan relativitas fifty-fifty. Sulit untuk memutuskan, namun tak akan ada kesempatan yang datang dua kali. Sejak duduk di bangku sekolah tak pernah sedikit pun menyangka untuk kuliah di jurusan pendidikan dan menjadi seorang guru. Guru adalah profesi yang sangat mulia namun rasanya aku masih mempertanyakan diriku sendiri. Mampukan aku melakoninya? Jangankan menjadi guru yang notabene menjadi pusat perhatian semua mata di kelas, diminta berdiri di depan kelas untuk menjawab soal saja sudah bergetar hebat tubuhku ini. Rasanya seperti orang sedang meriang dengan keringat dingin bercucuran tak jelas. Tapi, sungguh hidup ini sudah ada yang mengatur. Dengan segala ketakutan dan kekhawatiranku, Tuhan menakdirkanku menjadi seorang guru. Dan kisahku menjadi guru pun dimulai pada hari ini, dimana seorang teman lama mengajakku bergabung di sebuah sekolah internasional di Bandung. Kriiing..Kriiinggg..telepon rumahku berbunyi. ”Halo” ucapku dengan santai. “Hai, ini dengan Mia?” sapa suara diujung telepon. “Betul. Ini dengan siapa?” “Ini dengan Redha, teman kuliahmu. Lupa ya?”. Sejenak aku termenung mengingat seorang teman kuliah bernama Redha. Oh, akhirnya aku bisa mengingatnya. Redha sang Ketua Himpunan Mahasiswa. “Ooh, Redha. Ada apa ya?” tanyaku agak sedikit heran. “Mia, kamu sudah bekerja?” “Aku? Oh, a..aku belum kirim surat lamaran kemanapun. Aku lagi istirahat dulu.” jawabku agak gugup. “Mia, apakah kamu mau bergabung di sekolah tempat aku bekerja? Kebetulan kami sedang memerlukan beberapa guru untuk mengajar bahasa Inggris. Kamu bisa? “Hmm..gimana ya.. Boleh deh.” jawabku sambil masih bingung haruskah kuputuskan sekarang. “Oke kalau begitu, besok kamu datang ke sekolah ya?” “Baiklah. Terimakasih banyak ya, Redha” Tut..tut..tut..Selepas nada putus telepon, dadaku berdegup kencang dan tidak karuan. Jelas saja, apakah memang takdirku menjadi seorang guru akan dimulai sekarang? Lalu bagaimana dengan semua angan dan mimpiku yang lain? Menjadi pegawai Bank, bekerja di perusahaan besar, membuka toko roti dan masih banyak lagi harus kuhapus sekarang? Hmm, tapi kesempatan ini layak dicoba. Meski sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan pilihan ini. Tapi tawaran pekerjaan yang langsung mendatangiku tidak boleh dilewatkan begitu saja. Baiklah, besok aku akan datang ke sekolah itu, tempat Redha bekerja. *** Keesokan harinya, tepat pukul 8 pagi, aku sudah sampai di sebuah sekolah dasar Internasional yang mungkin akan menjadi tempatku mengajar. Di bagian gerbang sekolah terpampang sebuah billboard bertuliskan “SD Global Champion”. Sedikit agak gugup, kutarik nafas dalam dan perlahan kuhembuskan. Langkah kaki pertamaku menuju gerbang sekolah dihentikan oleh sapaan suara seorang teman perempuan yang tak asing. “Mia!” sapa seseorang yang sontak membuatku menoleh ke arahnya. “Arin. Lho, ko kamu di sini?” “Iya, aku yang merekomendasikan kamu ke Redha” “Oooh ya? Wah, berarti kamu juga bekerja di sini?” “Iya, aku dan Redha sudah sejak sebulan bekerja di sini. Hanya saja kalo Redha sudah langsung ditawari jabatan menjadi wakil kepala sekolah juga selain mengajar.” “Ooh begitu ya!” jawabku sambil melongo. Sambil mengobrol tiba-tiba seorang ibu berjubah panjang dan mengenakan kerudung lebar serba hitam dengan wajah kearab-araban menyapa kami dengan senyumannya. “Salam, ms. Arin.” Sapa ibu itu dengan ramah lalu melirik ke arahku. “Salam, Ms. Are you new teacher here?” “Oh, well, I’m.. actually about having my interview today.” “Are you applying for English teacher? “Yes, I am.” “Glad to hear it. I wish you a good luck, Ms. I know you’ll make it, trust me!” “Thank you, Ma’am”. Dan ia pun berlalu menuju sebuah mobil sedan tua berwarna hitam. Selanjutnya, Arin mengajakku ke ruang tata usaha. Ia meninggalkanku di sana karena harus segera mengajar. Di ruangan tersebut, ada dua orang staff yang nampak agak sedikit sinis. Dengan wajah kaku mereka asyik bekerja tanpa menyapaku bahkan melayangkan senyuman sama sekali. Tak lama kemudian datang seorang pria berpenampilan modis dengan kacamata, kemeja, dasi dan celana panjang slim fit khas gaya anak muda milenial. Pria itu tak lain adalah teman kuliahku. Ya, dia adalah Redha, seorang teman yang mungkin bisa dihitung dengan jari frekuensi interaksi kami di kampus dulu. Dulu dia adalah ketua himpunan mahasiswa bahasa Inggris. Terang saja kesempatan berinteraksi kami sangat langka karena dunia kami sangat jauh berbeda. Redha yang sangat aktif dengan segala kegiatan himpunan dan aku yang paling menghindari hal tersebut. Kami sangat bertolak belakang. “Hai, Mia! Great to see you here. How are you? “Hi. I’m good thank you. Hope you too.” “Well, sekarang ikuti aku!” ajak Redha sambil segera berbalik dan berjalan menuju sebuah ruangan. Aku pun lalu membuntutinya hingga masuk dan duduk di sebuah ruangan yang terletak paling ujung bertuliskan Ruang Wakil Kepala Sekolah. Di sana dia menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris. Lalu Redha memulai dengan pertanyaan pertama. “What do you think about children?”. Wah, pertanyaan konvensional yang biasa aku baca di textbook tentang pendidikan anak usia dini. Untunglah pita memoriku masih mengingat beberapa poin yang sempat k****a meski hanya sepintas. Kemudian aku pun mencoba menjawabnya dengan hati-hati. “Well, children is a unique learner. They are learning through their five senses since they can’t think in an abstract way as adult did. Children will learn through what they see, hear and act.” Redha tersenyum dan kuharap dia puas. Ia pun melanjutkan dengan pertanyaan kedua, ketiga dan seterusnya. Setelah sekitar 30 menit semua soal interview itu akhirnya selesai. Redha kembali dengan senyum ramahnya dan memberitahu bahwa kepala sekolah sudah datang dan ingin bertemu denganku. Kuturuni tangga dengan keringat dingin bercucuran. Sampai diujung tangga Redha berhenti dan berbalik. “Miss Mia, sudah siap?” Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hanya bisa tersenyum miris berharap ini segera berakhir. Redha memintaku masuk ke ruangan yang kini berada di hadapanku. Kulihat seorang wanita berkulit putih, berjilbab dan berkacamata tersenyum padaku. Ia menyapaku ramah. “Hi, you must be very tired after the whole test today? Come in and have a sit”, sapa wanita yang tidak lain adalah sang Kepala Sekolah tersebut. “Thank you, Ms.” jawabku dengan agak sedikit ragu. Aku pun duduk masih dengan tangan dingin dan berkeringat. “So, are you nervous?” “Well, yes. A little bit but I enjoy it.” jawabku sedikit berbohong. “So, what do you think about this school?” “I..uh.. well, from the first time I came this morning. It’s very homy. I think the students will enjoy studying here.” “So you were Redha’s classmate, right?” “Yes, Ms.” “Hmm, at first I believe Redha will bring me a qualified teacher. But then, after I meet you just now…” Ia berhenti sejenak dan dengan antusias melanjutkan kalimatnya, “ You’are more than that. You are the one! Congratulation, please come again tomorrow to teach in our school!” “Wow, isn’t it too fast, Ms?” jawabku agak kaget dan kebingungan. “No, I’ve decided. You are the one.” “I feel a great honor hearing this. Thank you so much, Ms.” ucapku dengan perasaan takjub. “You’re welcome, Ms Mia. “ Wawancara dengan kepala sekolah pun selesai. Dan kupikir semua tes hari itu telah berakhir. Namun, rupanya Redha kembali menyuruhku melakukan microteaching di kelas 4B. Oh tidak! Aku belum siap, keluhku dalam hati. Tapi apa daya, aku harus menyelesaikan hari ini meski terasa sangat panjang dan melelahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD