Prolog

744 Words
Tidak ada yang namanya kebetulan. Pertemuan kita bukan kebetulan, namun takdir. Semesta berkonspirasi menyatukan kita. ***     Sepasang kaki jenjang memasuki area kafe di pinggir jalan di tengah kota Semarang. Surainya hitam legam berterbangan ketika ia berjalan. Bulu matanya memanjang dan lentik. Matanya yang cokelat sejernih air di anak sungai yang tidak tercemar polusi. Kulitnya seputih salju yang jatuh di musim dingin. Bibirnya kecil nan mungil. Olesan lipblam membuat bibirnya semakin menawan.     Semua atensi pengunjung kafe terpusat pada seorang gadis berumur 15 tahun. Bak bidadari yang jatuh dari surga, gadis itu sangat sempurna. Lekukan wajahnya yang terpahat tanpa cela membuat barisan lelaki siap mengantri untuk berkenalan. Sebagian dari mereka menyusun rencana agar dapat berbicara dengan sang Gadis. Sebagian lagi, melongo dengan air ludah yang hampir keluar dari mulut mereka.     “Mollyza Adiba, kenapa gue ditinggalin, sih?” Teriakan seorang gadis membuat lamunan para lelaki di kafe ini buyar. Mereka buru-buru mengalihkan pandangan—takut ketahuan memperhatikan gadis cantik berumur 15 tahun.     “Lo kelamaan.” Molly Adib berbicara dengan waja datar.     “Ish! Kebiasaan banget, sih.”     Mollyza Adiba adalah gadis cantik yang wajahnya bagaikan tuan putri kerajaan ternama. Meskipun umurnya baru menginjak 15 tahun, kecantikannya tidak terelakkan lagi. Mollyza Adiba yang akrab disapa Olly itu memiliki kecerdasan otak yang di atas rata-rata. Ia adalah kebanggaan guru-guru di sekolahnya. Murid teladan dengan segala bakat yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya. Namun, di antara kesempurnaan Olly, gadis itu memiliki kekurangan. Olly adalah gadis yang sangat dingin. Ia tidak ingin berbicara pada orang menurutnya asing. Di sekolah, Olly hanya mau berbicara pada Alena—gadis yang sekarang menemaninya di kafe ini. Bahkan, gadis itu berbicara singkat pada guru yang mengajarnya di kelas.     “Len, di sana aja.” Olly menunjuk meja nomor 12 di pojok kafe, dekat jendela yang menampilkan jalanan besar.     Alena mengangguk mengiakan permintaan sahabatnya.     Mereka berjalan menuju meja nomor 12. Mata-mata lelaki buaya mengikuti langkah Olly. Meskipun beberapa menit berlalu, mata para lelaki tidak bosan mengamati ciptaan Tuhan yang teramat sempurna itu. Olly mengabaikan tatapan yang menatapnya seperti santapan lezat. Jika ia meladeni satu persatu lelaki di kafe ini, waktunya terbuang sia-sia.     Seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka. Olly memesan s**u cokelat panas dan nasi goreng pedas, sedangkan Alena memesan orange juice dan kwetiu goreng. Sebelum pelayan itu pergi, ia sempat meminta nomor ponsel Olly dengan alasan anniversary kafe, padahal, di dalam hatinya, ia berniat modus dengan gadis berparas cantik ini. Jadi, untuk merayakan anniversary kafe, akan diadakan doorprize dengan hadiah yang lumayan mengiurkan. Mendengar ulasan pelayan itu, Olly menarik napas dalam-dalam. Ia tidak sebodoh yang pelayan itu pikirkan. Jika memang doorprize itu memang ada, kafe ini tidak mungkin meminta nomor ponsel pelanggan karena itu sangat menyulitkan. Biasanya, doorprize diberikan dengan nomor undian bukan meminta nomor ponsel.     “Maaf, Mas, kalau mau nipu orang tau tempat.” Olly menjawab ulasan pelayan yang menjelaskan panjang lebar mengenai acara anniversary dan doorprize.     “Maksudnya apa, Mbak? Saya enggak nipu, Mbak.”     Bibir Olly berdecak kesal. “Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Mas mau saya laporin polisi karena mencoba menipu saya dengan acara yang sebenarnya tidak pernah ada?”     “Eh .. “ Pelayan itu gugup setengah mati. Peluhnya menetes dari ujung pelipis. Wajahnya berubah pias karena ketakutan. “Ma-maaf, Mbak. Sa-saya minta maaf. Jangan laporin saya ke polisi, Mbak.”     “Oke.”     Olly mengangguk sebagai tanda tidak ingin memperpanjang masalah. Pelayan itu memacu kecepatan kakinya. Dengan rasa malu yang menggunung, pelayan itu bersumpah tidak akan bermain-main dalam pekerjaanya. Alena yang sedari tadi memperhatikan, tertawa geli. Ia tidak asing lagi dengan kejadian yang menimpa sahabatnya. Setiap hari Olly dipusingkan dengan sederetan laki-laki yang menerornya. Jadi, kejadian tadi tidak ada apa-apanya.     Setelah kepergian pelayan caper dan tidak tahu diri, Olly sibuk mengeluarkan buku biologi kelas tiga SMP. Hari ini, ia ingin mengerjakan tugas biologi. Bu Leni—guru biologi—memberinya tugas untuk menggambar mitokondria dan dikumpulkan minggu depan. Olly membuka buku gambarnya yang menunjukkan goresan pensil. Gambar mitokondria gadis itu terlalu sempurna untuk ukuran anak SMP. Hanya bermodalkan pensil, Olly dapat menciptakan gambar tiga dimensi.     “Gila! Gambar lo bagus banget, Ly.” Alena menggelengkan kepalanya. “Heran gue, apa sih yang lo gak bisa, Ly? Nyanyi? suara lo bagus. Gambar? gambaran lo juga bagus. Pinter? Gak usah ditanya lagi, lo itu kebanggaan guru-guru. Jadi, iri gue!”     “Iri tanda orang tidak mampu.” Bibir Olly bergerak mengucapkan kata yang sangat dingin dan menusuk. Alena—yang setiap hari bersama Olly—tidak memasukkan kata-kata perempuan itu ke dalam hati. Sahabatnya memang memiliki watak yang ketus dan dingin, namun, ia yakin, Olly mempunyai hati yang baik.     “Aish, lo gak bisa bicara santuy dikit apa? Ngegas mulu kayak motor baru.” cibir Alena.     “Hmm.”     “Lama-lama gue stress nanggepin lo, Ly.”     “Ya udah, stress aja. Mau gue anterin ke dokter jiwa?”     “Wah, ngajak gelut ini orang.”     “Hmm.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD