PROLOG

1975 Words
Suasana di lapangan SMA Pancasila terlihat ramai. Ini karena ada pertandingan bola yang diadakan antara kelas 11 dan kelas 12. Safaa dan Dafa yang sudah selesai makan siang di kantin, langsung bergegas ke lapangan dan mencari tempat duduk yang masih kosong untuk ikut menonton pertandingan tersebut dan mendukung tim dari tingkatnya, yakni tingkat 12. Lapangan yang dipakai untuk bertanding ini adalah lapangan futsal di lantai 4, di mana lapangan ini memiliki tempat duduk untuk penonton berwarna putih dengan bentuk letter U. Safaa dan Dafa akhirnya mendapat tempat duduk di sebelah kiri. Waktu jam istirahat masih tersisa 15 menit. Setelah Dafa menanyakan score pada murid lain yang juga sedang menonton di sebelahnya, Dafa pun memberitahu Safaa bahwa kelas 11 tertinggal dua gol yang mana artinya untuk saat ini kelas 12 memimpin score. Tepat 3 menit setelah kedatangan Safaa dan Dafa untuk menonton, tim kelas 11 mencetak gol membuat para penonton yang mendukung kelas 11 bersorak gembira. Safaa merasa bersalah dan menoleh ke arah Dafa. “Gue punya hal aneh, Daf.” Ucap Safaa. “Ngga tau kenapa kayaknya gue itu pembawa badluck bagi tim yang gue dukung pas gue tonton entah secara live atau nonton dari TV. Pas piala dunia aja tim yang gue tonton malah nggak menang.” Lanjutnya. “Hah? Maksud lo?” Tanya Dafa yang masih belum mengerti maksud dari ucapan Safaa. “Maksudnya dengan gue ada di sini kayaknya membawa badluck buat tim tingkatan kita, Daf. Buktinya baru juga 3 menit, tingkatan kita udah kecolongan 1 gol. Kalo gue lebih lama di sini, bisa bisa kalah mereka.” Jelas Safaa. “Tapi ada nggak satu pertandingan yang pas lo tonton, tim yang lo dukung menang?” Safaa terdiam sebentar untuk mengingat-ingat, namun tidak ada ingatan yang muncul oleh karena itu Safaa akhirnya menggelengkan kepalanya. “Nggak inget. Entah emang karena nggak ada atau gue bener-bener nggak inget.” Jawabnya. “Yaudah lah menang kalah hal biasa. Yang penting kita nikmatin euforianya aja. Oke? Nggak usah mikirin lo pembawa kesialan atau apa. Tonton aja. Kalo tim tingkatan kita kecolongan gol, jangan merasa bersalah. Itu bukan salah lo. Merekanya aja yang kurang kompeten.” Dan ternyata pada akhirnya, tingkat 12 tetap mempertahankan score 2-1. Waktu pertandingan hanya berselang 30 menit yang artinya Safaa dan Dafa hanya menonton di 5 menit terakhir. Dengan begitu para penonton bubar secara teratur. Seiring dengan bubarnya para penonton, perhatian Safaa teralihkan pada cewek di seberang tempat duduknya. Kiana. Namun sepertinya cewek itu tidak melihatnya, ia terlihat sesekali hanya melirik ke arah Dafa lalu membuang muka. Apa kalian pernah merasa sebal pada seseorang yang bahkan padahal tidak melakukan kesalahan apapun padamu? Itu yang sedang dirasakan oleh Safaa pada Kiana. “Fa!” Seru Dafa membuat Safaa tersadar kembali setelah sebelumnya asyik menatap Kiana di seberang. Safaa pun menoleh, namun telunjuk yang sudah Dafa acungkan di sebelah pipi kiri Safaa pun berhasil mengenai hidung Safaa saat ia menoleh. “Daf!” teriak Safaa sembari mengusap hidungnya. “Kena kuku lo!” Dafa hanya tertawa sambil merangkul pundak Safaa. “Maaf hehe. Abis gue dikacangin. Lagi mikirin apa, sih?” Tanyanya. “Atau malah ternyata lagi liatin siapa?” Safaa mendecak sebal seraya sibuk mengusap ujung hidungnya. Ia menatap lagi lurus ke depan di mana Kiana tadi duduk, namun cewek itu kini sudah tidak ada di tempatnya.. ‘Kenapa juga gue harus ngerasa gelisah pas liat Kiana tadi?’ pikir Safaa. “Buset didiemin lagi gue. Woi lu liatin siapa sih?” Tanya Dafa sambil mengikuti arah pandangan mata Safaa yang menatap lurus ke depan. ”Yang kayak gitu selera lo?” Tanya Dafa. “Maksud lo?” Safaa kebingungan dengan pertanyaan Dafa. “Ya lo liatin Rafka, kan? Maksud gue… serius, Fa? Dari berapa ratus cowok ganteng di sekolah ini, lo malah ngeliatin Rafka? Banyak yang lebih ganteng, Safaa.” Ucap Dafa dengan kecepatan maksimal yang membuat Safaa makin merasa bingung. Safaa pun menangkap Rafka, teman satu ekskul dramanya duduk tepat di depan tempat duduk yang Kiana tadi tempati. Safaa memutar kedua bola matanya sebal. Pantas saja Dafa mengira Safaa memperhatikan Rafka. “kenapa emangnya kalo gue liatin Rafka? Emang ada undang-udang yang melarang gue ngeliatin dia? Bakal kena pasal gitu kalo gue ngeliatin dia?” Tanya Safaa sengit. Lebih baik jawaban Dafa memuaskan hatinya karena bila jawabannya ngawur, Safaa tidak akan segan-segan mengacak-acak rambut Dafa yang memang sudah acak-acakkan itu “Enggak apa-apa, sih, cuman kenapa harus Rafka? Kan masih banyak cogan di sekolah ini. Kaya gue, misalnya.” Kata Dafa seraya mengibas-ngibaskan rambutnya seakan-akan rambutnya panjang, padahal rambutnya tidak panjang. “Nikmat apa lagi yang lo dustakan, Fa. Menyia-nyiakan makhluk sesempurna gue.” Lanjutnya sambil menyisir rambutnya dengan jari-jarinya ke belakang. Safaa memicingkan matanya jijik seolah-olah pernyataan yang keluar dari mulut Dafa adalah pernyataan menjijikan yang bisa membuat Safaa muntah saat itu juga. Lalu karena jawaban Dafa ngawur, Safaa pun mengacak-acak rambut Dafa. Hal itu membuat Dafa protes. “Jadi lo merasa diri lo itu ganteng, hm?” Tanya Safaa. Dafa yang sedang merapihkan Kembali rambutnya pun tercengir girang saat Safaa masuk ke umpan yang Dafa lempar, Dafa memang senang sekali menggoda temannya yang satu itu. Seakan-akan sehari tanpa menggoda Safaa, hari Dafa tidak lengkap. “Oh iya, dong. Lo juga mengakuinya, kan? Gue ganteng, Fa. Jangan ngelak lo.” Kata Dafa. Safaa terkekeh mengejek, bukannya Safaa tidak setuju dengan pernyataan Dafa. Dafa memang ganteng, kok, menurut Safaa. Tapi Safaa tidak mau Dafa tau bahwa Safaa juga berpikiran demikian. Enak saja nanti dia kegeeran bila tau. Safaa merangkul Dafa dan membisikkan sesuatu, “Iya, lo ganteng karena lo cowok.” Bisiknya, “Kalo cantik ya gue dong itu mah.” Lanjut Safaa lagi agar cowok itu diam. Tapi ternyata Dafa tetap menjawab dengan pernyataan yang Safaa tidak duga-duga. “Nah, gitu dong, Fa, pede. Iya emang lu itu cantik. Mau lu lagi jutek, lu tetep cantik. Mau lu lagi ngomel-ngomel, lu tetep cantik. Mau lu lagi bengong kayak orang b**o, lu tetep cantik.” Balas Dafa dan berhasil membuat pipi Safaa memerah menahan salah tingkahnya karena malu. Namun Safaa berusaha sekuat tenaga untuk menahan salah tingkahnya. Dafa tidak boleh tau kalau pipinya memerah, Dafa tidak boleh tau kalau ucapannya tadi membuat Safaa salah tingkah. Tidak boleh! Kalau Dafa tau Safaa khawatir ia akan mengejeknya sampai satu minggu ke depan. Safaa pun akhirnya melepaskan rangkulannya pada Dafa dan meninju pelan lengan Dafa. “Apaan sih lo.” “Ciee salting, ya?” Tanya Dafa yang berhasil membuat Safaa membelalakkan matanya. “Idih apaan, sih!” Serunya lagi enggan mengakui perasaan salah tingkah yang memang sedang ia rasakan. “Tapi yang gue omongin no bulshit kok. Emang bener itu suatu kejujuran yang mutlak.” Kata Dafa. “Yok balik ke kelas.” Lanjutnya. Dengan begitu mereka berdua berdiri dan bergegas meninggalkan lapangan. ‘Dafa b**o! Pinter banget, ya, tu mulut bikin orang salah tingkah.’ Umpat Safaa dalam hati. Jadi, Dafa itu pintar atau b**o? *** Ada dua waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh para pelajar di seluruh belahan dunia. Pertama, waktu dimana bel pulang berbunyi. Dan kedua, waktu bel istirahat berbunyi. Dan jika beruntung, ada waktu dimana salah satu guru yang mengajar tidak masuk dan membuat kelas berada pada jam kosong yang biasanya dimanfaatkan oleh para pelajar untuk mengobrol, bercanda, memainkan HP, mendengarkan musik, dan bahkan ada juga murid yang memanfaatkan jam kosong untuk dijadikan ajang mengusili teman. Tapi Sayangnya, keberuntungan itu tidak sedang berpihak pada kelas Safaa, karena sekarang, di kelasnya sedang berlangsung pelajaran matematika. Pelajaran yang hampir dibenci oleh setiap murid. Walaupun mata Safaa menatap lurus ke depan, di mana Bapak Tono—selaku guru Matematika—sedang mengajar, tapi pikiran Safaa melayang ke tempat yang jauh. Susah sekali memang untuk Safaa menjaga pikiran tetap fokus ke pelajaran matematika. Safaa akhirnya menoleh ke teman sebangkunya, Citra, yang menatap lurus ke depan sembari sesekali menyatat apa yang Pak Tono catat di papan tulis, dan sesekali mengangguk-anggukan kepalanya pelan menandakan Citra memahami apa yang Pak Tono jelaskan. Saat Citra mengangguk-anggukan kepalanya, Safaa menggeleng-gelengkan kepalanya heran, heran dengan temannya yang satu ini kenapa bisa senang sekali dengan pelajaran matematika. Tapi bila dipikir-pikir, Safaa lebih heran kepada dirinya sendiri kenapa walaupun sudah satu bangku dengan Citra, kepintaran Citra perihal matematika masih juga belum menular padanya. Menurut Safaa, sebenarnya matematika menyenangkan. Namun semuanya berubah ketika alfabeth masuk dan ikut bergabung. Setelah menunggu 30 menit yang rasanya seperti 30 jam, akhirnya bel yang di tunggu-tunggu pun berbunyi juga. Dalam hati Safaa berseru kegirangan, akhirnya Safaa bisa terbebas dari belenggu pelajaran ini. Dengan sigap, ia langsung memasukan semua buku-buku dan peralatan menulisnya yang hanya menjadi pajangan di atas meja ke dalam tas ranselnya. Suasana kelas pun ikut berubah, yang tadinya gelap dan mencengkam, berubah menjadi terang benderang layaknya badai yang perlahan berhenti dan digantikan dengan datangnya pelangi dan matahari yang kembali bersinar. Safaa baru sadar bahwa ia tidak sendiri. Ternyata sebagian besar teman-teman kelasnya yang lain juga merasakan hal yang sama. Selesai memasukkan segala pelaratan sekolah miliknya, Safaa menghadapkan badannya ke samping dan menyengir ke arah Citra. “Cit. Gue pinjem catetan lu, ya?” Kata Safaa dan Citra berbarengan. Sepertinya Citra sudah khatam betul dengan apa yang akan Safaa katakan. Seusai mengucapkan kalian tersebut berbarengan, Citra menoleh dan menatap Safaa sinis, sedangkan Safaa hanya tercengir. “Apa susahnya sih nulis dan perhatiin?” Tanya Citra, “Selain lu jadi ngerti, lu juga jadi bisa leha-leha nanti di rumah, gausah nyalin-nyalin lagi. Paling lu cuma buka-buka buku dan inget-inget apa yang tadi siang dipelajarin doang.” Cibir Citra. “Iya, gue juga bingung. Kayaknya tangan gue tiba-tiba kayak lupa ingatan sama tugasnya gitu, kayak tiba-tiba nggak tau kenapa dia ada di sini.” Ucap Safaa dengan wajah sok serius seraya menggenggam pergelangan tangan kanannya. “Padahal nih, ya, otak gue udah ngasih perintah buat nulis. Tapi tangannya kayak... ‘hah? Apa itu nulis? Kamu siapa? Aku siapa? DI MANA INI?’ gitu, Cit.” Gurau Safaa. Citra tau betul teman sebangkunya itu seperti apa, jadi dia hanya mendengus sambil mengeluarkan kembali buku catatan matematikanya yang baru saja ia masukan kedalam tas. “Berubah, Fa. Bentar lagi UN. Matematika termasuk ke dalam 3 pelajaran yang akan muncul di Ujian Nasional nanti, lho.” Kata Citra lagi seraya memberikan buku catatannya ke Safaa. Nasehat yang Citra tujukan untuk Safaa, hanya Safaa balas dengan cengiran lebar, dan hal itu membuat Citra menggeleng-gelengkan kepalanya. “Enggak ngerti gue sama lo, Fa. Santai banget kaya di pantai.” Oceh Citra sambil menyelempangkan tasnya dan berdiri dari duduknya. Safaa pun melakukan hal yang sama setelah memasukkan buku milik Citra ke dalam tas miliknya. “Nyantai yah di kasur dong, Cit.” Balas Safaa tanpa menghapus cengiran lebarnya. “Safaa, kali ini gue dua ratus kali lipat serius. Jangan main-main, ah.” Kata Citra lagi. Safaa akhirnya menurunkan pundaknya, mengubah mode bercanda menjadi serius. “Iya, Citra. Gue juga sebenernya nggak ngerti kenapa gue bisa b**o banget gini sama Matematika. Padahal di pelajaran lain otak gue oke banget.” Kata Safaa. “Lo nggak b**o Matematika. Lo cuma nggak mau berusaha belajar aja. Lo pasrah banget. Mindset lo tuh kayak, yaudah, lo gak bisa Matematika. Padahal mah kalo lo serius belajarnya, lo pasti ngerti.” Ucap Citra yang Safaa Dengan itu, Safaa mengangguk-angguk, membenarkan ucapan Citra. “Yaudah, gue janji gue bakal serius. Tapi buat kali ini gue pinjem, ya, catetan lo. Nanti gue bawa lagi pas ada pelajarannya.” Citra akhirnya tersenyum dan mengacungkan jempolnya tepat di depan wajah Safaa sehingga menyentuh tulang hidung Safaa, membuat Safaa mengernyit. “Siiiippppp.” Ucap Citra kemudian, lalu tertawa seraya menurunkan kembali jempolnya. “Aish, kasian banget idung gue daritadi dinodai.” Protes Safaa sambil mengelus-elus hidungnya dengan penuh rasa sayang mengingat tadi pagi hidungnya juga Dafa jaili. “Lebay.” Cibir Citra. “Dah ah, gue balik duluan, ya.” Dan dengan begitu, Citra meninggalkan Safaa setelah melambaikan tangannya, Safaa membalas lambaian tangan Citra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD