#01 - Kucing Hitam di Tikungan Jalan

1051 Words
Cowok itu menatap lurus ke arah rumah bercat putih di depannya. Sambil membenarkan letak kacamata, ia memperhatikan kesibukan yang sedang berlangsung di seberang rumahnya. Beberapa orang pria dengan seragam jasa pindahan tampak sibuk di sana-sini sambil mengangkat beberapa barang. Sepasang lelaki dan wanita yang berusia sekitar 40-an juga tampak membenahi barang-barang yang berserakkan di depan rumah itu. "Kok bengong, Ben? Nggak berangkat?" Suara lembut seorang wanita berbisik tepat di telinga cowok bernama Ben itu, dan membuatnya sedikit berjengit terkejut karena tegurannya. "Eh, Mama. Ini Ben mau berangkat, Ma." Beno beranjak dari duduknya, lalu mencium tangan wanita yang dipanggilnya dengan sebutan mama itu. "Itu tetangga baru ya, Ma?" tanya Beno saat ia sudah duduk di sepeda sambil menunjuk rumah bercat putih tepat di seberang rumah mereka. "Iya, tetangga baru. Mama dengar mereka punya anak cewek yang seumuran sama kamu, loh," jawab Anita—mama Beno—sambil mengerlingkan mata seperti berniat menggoda anak semata wayangnya. Beno yang melihat tingkah mamanya hanya menanggapi dengan senyum kecut. Beno tahu benar hobi mamanya yang suka menjodoh-jodohkannya, padahal ia baru mau lulus SMA. "Ben berangkat dulu, Ma," pamit Beno sambil menjalankan sepedanya yang disambut dengan lambaian tangan mamanya. Beno berbelok di tikungan jalan tak jauh dari rumahnya. Cowok itu menghentikan laju sepedanya secara tiba-tiba, tepat beberapa meter setelah berbelok. Ia menatap heran ke sudut bak sampah yang ada di depannya saat ini. Terbesit beberapa pertanyaan di otaknya. Bagaimana bisa? 'kan tempat sampahnya penuh, kenapa kakinya bisa terjepit? Dan beberapa pertanyaan lainnya yang hanya mampu melintas tanpa sempat terucap. Bukan karena tak bisa, hanya saja tubuhnya sudah lebih dulu bertindak untuk menolong makhluk yang tampak kesakitan di depannya saat ini. "Cup … cup … cup, Manis. Bagaimana kamu bisa ada di sini?" Beno menarik kaki kanan kucing berbulu hitam itu perlahan dari bak sampah yang menghimpitnya. Beberapa percik darah dari kaki kucing itu mengotori bulu hitamnya. Tak ada jawaban lain dari Sang Kucing selain mengeong, lalu menatap Beno penuh terima kasih. Beno membalasnya dengan senyuman, "Sekarang sudah lepas. Perkenalkan namaku Beno, kamu kupanggil Manis saja, boleh?" Beno bertanya pada makhluk mungil itu sambil mengulurkan tangan seolah mengajak berkenalan. Jika saja saat ini ada orang yang lewat di jalan itu, mungkin mereka akan beranggapan bahwa Beno aneh dan sedikit kurang waras. Tapi Beno tidak peduli, ia sudah telanjur jatuh cinta dengan mata indah Si Manis. Beno lalu meletakkan Si Manis di tempat yang bebas dari tumpukan sampah, sambil merogoh sakunya. Dengan tiba-tiba Beno mengeluarkan sesuatu yang kemudian membuat Si Manis berjengit karena terkejut. Beno terkekeh pelan. Cowok itu mengulurkan sebungkus sosis yang memang selalu dibawa di sakunya, "Untungnya kamu kucing pertama yang kutemui pagi ini. Nih, buat kamu." Beno menyodorkan sosis itu ke mulut Si Manis yang langsung disambut dengan lahap oleh kucing hitam itu. "Sudah, ya. Aku mau ke sekolah dulu. Sebentar lagi ada simulasi UN," pamit Beno pada Si Manis yang kini sedang asik memakan sosis pemberian cowok itu. Beno kemudian melambaikan tangannya dan berlalu. *** "Beno!" Sebuah suara membuat langkah Beno menuju tempat parkir sepeda terhenti. Ia lalu menoleh sambil menatap malas ke arah sumber suara. "Apa? Aku sibuk." "Ah, elah lu. Bentar doang, temenin gue ke toko buku. Ya? mau ya?" mohon cewek yang memanggil Beno tadi dengan wajah pura-pura memelas. "Ogah! Mending aku pulang, biar bisa belajar buat besok," tolak Beno terang-terangan. Beno terlalu malas harus menemani cewek itu berbelanja buku, sebab pasti akan memakan waktu yang lama. Beno melanjutkan langkah menuju sepedanya dengan cuek. Ia tidak akan memedulikan rengekan sahabatnya—Anis—yang terus mengekorinya. "Udah deh, Nis! Kamu minta Bagas aja buat nemenin kamu ke took buku. Lagian Bagas pasti mau kok, nemenin kamu," putus Beno sambil meninggalkan Anis yang kini menatap sebal ke arahnya. "Ah elu! Gue sumpahin lu ketemu nenek gila di jalan. Terus dikejar sampai ke depan rumah. Mampus lu!" Anis berteriak kesal ke arah Beno sambil mengacungkan telunjuknya. Beno hanya terkekeh geli tak menanggapi ucapan Anis yang menurutnya hanya omong kosong. Cowok itu semakin melajukan sepedanya menjauh sambil melambaikan tangan mengejek Anis. *** Beno sengaja memilih jalan yang sedikit berbeda. Ia ingin sampai ke rumahnya secepat mungkin. Di pikirannya hanya ada kata belajar, belajar dan belajar. Ia harus melakukan hal itu jika ingin menjadi peraih UN tertinggi se-kabupaten. Beno harus mendapatkan gelar itu untuk memenuhi janji pada mamanya. Sebab jika ia gagal menepati janji itu, maka Beno harus mau mengikuti keinginan mamanya untuk masuk jurusan Kedokteran. Padahal jurusan yang dipilihkan mamanya jelas bertentangan dengan jurusan impiannya, Teknik Sipil. Beno sedikit melambatkan laju sepedanya. Di ujung jalan yang sedikit rimbun karena tertutup pepohonan, ia melihat sesosok berjubah hitam. Sosok itu tampak sedikit menyeramkan karena bayang-bayang pohon ditambah dengan suasana yang sedikit remang menjelang senja. Karena minimnya pencahayaan membuat Beno tak dapat melihat dengan jelas baik wajah dari sosok itu. Beno menimbang sejenak. Apakah ia akan tetap melewati sosok itu, ataukah memilih putar balik melewati jalan lain? Setelah merasa cukup menimbang, Beno memutuskan untuk tetap melewati jalan itu. Dengan sedikit keraguan Beno mendekat ke sosok itu. Dari jarak beberapa meter saat ini, Beno dapat melihat wajah sosok itu dengan jelas. Rambut panjang berwarna putih yang sedikit berantakan dan ditutupi dengan hoodie jubah hitamnya. Tangannya yang keriput dengan kulit kecoklatan terpapar semburat jingga senja. Tangan sebelah kanannya memegang sebuah tongkat kayu yang tampak mulai lapuk. Sementara di tangan sebelah kirinya tampak seperti benda berbentuk persegi berwarna kecokelatan seperti kulit kayu. Rupanya sosok itu adalah seorang nenek-nenek ringkih dibalut jubah hitam yang sedikit kucel. Sekilas Beno melihat nenek itu menatapnya dingin. Beno sempat tertegun karena tatapan itu. Apa mungkin ucapan Anis yang mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan nenek gila menjadi kenyataan? Bagaimana jika nenek di depannya ini adalah nenek gila itu yang kemungkinan akan mengejarnya dan memukulnya? Beno sedikit was-was, jantungnya berdegup tak karuan. Bulir-bulir keringat dingin bercucuran di keningnya. Ia harus memutar otak untuk mengatur strategi menghindari nenek itu. Namun tiba-tiba saja nenek itu menunjukkan giginya yang sedikit ompong karena tersenyum—lebih tepatnya menyengir—jantung Beno semakin berpacu dengan cepat. Benar dugaanku, ternyata dia nenek gila, batin Beno. Cowok itu mengambil ancang-ancang dengan sepedanya. Bersiap jika nenek itu bergerak satu langkah saja, maka Beno akan mengayuh sepedanya sekuat tenaga. "Tunggu!" ucap Nenek itu sayup-sayup—bahkan mungkin hampir tidak terdengar—disertai dengan desiran kecil angin yang entah dari mana datangnya. Bukannya lari, Beno malah seperti beku di tempat. Beno tak mampu menggerakkan kakinya, seperti ada yang mengunci. Dengan takut-takut Beno menatap wajah nenek itu. Wajah nenek itu tampak memelas. “Bagaimana bisa wajah yang tadi menyengir sekarang memelas? Apakah dia Benar-benar gila?” Beno berkata dalam hati. --Bersambung--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD