K a r m a n e l o | SATU

1518 Words
K a r m a n e l o | SATU J E V I L O “JEVILO, buka nggak pintunya! Setan lo emang! Buka nggak, Monyet! Anjirlah!" Jevilo bersandar di pintu toilet sambil tertawa terbahak-bahak. Saat mendengar cowok-cowok yang dikuncinya di dalam sana berteriak sambil menggedor-gedor pintu, tawanya makin menjadi. "MONYET! Buka nggak?!" "Buka nggak yaaa?" Jevilo balik teriak lalu kemudian tertawa. Macam-macam nama binatang lolos dari mulut cowok-cowok itu dan ia hanya cekikikan mendengarnya. "Hai, maniiis? Entar malam jalan, yuk!” sapanya saat ada tiga cewek melewatinya. “Gue bilangin Bintang lo entar! Dasar genit!” kata salah satu di antaranya dengan muka sewot. Jevilo hanya tergelak lalu kembali menyandarkan kepalanya ke pintu. “Woi, setan! Buka nggak pintunya! Bentar lagi bel ini!” Jevilo membeo sambil memainkan kunci toilet dengan tangan kanannya. Dasar emang, kalau nggak ngunci anak-anak cowok di toilet, dia bakal ngurung diri di toilet cewek. Jevilo kan, emang setan. Suka banget bikin orang emosi. Kalau nggak bikin rusuh toilet cewek setiap pagi, ya bikin heboh toilet cowok. “Kak… num-num….” Seorang cowok berkacamata tebal menghampirinya sambil memegang resleting. Jevilo mengamatinya dengan satu alis terangkat. Cowok itu sepertinya sedang kebelet. “Apaan?” tanya Jevilo galak. “Num-numpang pipis do-dong!” jawab cowok cupu itu gelagapan. “APA? Lo mau numpang pipis di mana? Di depan gue?” Jevilo melotot. “Bu-bukan! Mak-maksud saya… di toilet…,” kata si cupu mulai gemetar sambil menunjuk pintu toilet di belakang Jevilo. Gawat nih, kalau kelamaan berdiri di depan seniornya yang satu ini bisa kebablasan. Mana udah di ujung lagi. Jevilo bersiul sambil memainkan kunci toilet. Benar-benar nggak peka dan masa bodo.“Pipis sana  di toilet cewek!” kata Jevilo santai. “Hah? Ta-tapi kan...” Cowok itu melirik ke toilet sebelah, cewek-cewek pada antre di sana. “Kalau nggak pipis noh di toilet ujung.” Jevilo menunjuk ke arah lorong paling ujung. “Ta-tapi kan, katanya di sana ada se-setannya….” “Siapa yang bilang? Gue aja sering kok, pipis di sana. Makanya sebelum pipis tuh permisi dulu, jangan asal nyemprot aja lo pe'ak!" Pasti gara-gara sering pipis di sana, setannya pindah nih ke tubuhnya nih cowok, yakin gue. Makanya kelakuannya kayak setan! Batin si cupu sambil menekan kacamatanya, memperhatikan Jevilo dengan seksama. “Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” “Woi, buka, woi! Malah ngobrol lagi nih setan! Jevilo, buka nggak!” “Jevi, buka dong elah! Parah banget sih lo?! Bentar lagi bel, monyeeet!” “Bang Jeee, buka pintunyaa, Bang!” Dag dug dag dug. Brak bruk brak bruk, bunyi pintu digedor. Cowok-cowok di dalam itu—ada lima orang— kembali berteriak. s**l banget emang, harusnya mereka keburu keluar waktu tahu Jevilo nongol sambil senyum-senyum gaje. Gini nih akhirnya, entah udah berapa kali cowok itu mengunci mereka di toilet. “Bang… bu-buka aja, Bang! Saya ju-juga kebelet!” Si cowok cupu tadi ikutan nimbrung dengan suara gemetar. Jevilo mendesah panjang, sok frustasi. “Iya, iya, udah di ujung banget emang, ya?” “Udah di ujung, Bang! Nggak tahan lagi gue, Bang!” jawab si cupu cepat. Keringat sebesar biji jagung mengalir di dahi lalu hilang di lekukan leher. Kakinya yang gemetar merapat. Mengapit sesuatu yang ia pegang dari tadi. “Pasti rasanya geli-geli gimanaaa gitu, ye nggak?” “Itu najis banget, Bang! Tapi, iya sih agak-agak gimanaa gitu!” “Lo tuh yang najis! t***l!” Jevilo kemudian berlalu setelah melempar kunci ke si cupu. Jevilo merapikan seragamnya saat melewati kantor guru, menyapa guru-guru cantik dengan sopan dan buang muka  pada guru-guru cowok yang masuk dalam daftar hitamnya. Hal itu bukan  tanpa alasan, itu karena Jevilo nggak suka dengan semua aturan yang mereka buat. "Gue benci peraturan. Terlalu banyak peraturan." A R J U N A “Amel, pasti pake yang merah hari ini!” Arjuna nongol dari balik meja seorang cewek berambut pendek sebahu. Amel yang kaget melihat kemunculan Arjuna dengan cengiran mesumnya buru-buru tegak sambil bertolak pinggang. “Ngapain lo? Ngintipin kolor gue lagi lo?!” bentak Amel yang langsung sukses mencuri perhatian seisi kelas ke arahnya. Mereka menggeleng melihat lawan bicara Amel adalah Arjuna. "Setan gitu diladenin," kata satu di antara mereka. Arjuna cemberut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal. Biasalah, itu cara Arjuna menebar pesona. Sok keren dan sok kharismatik. “Mau jawaban jujur apa boong?!” “IIiih! Arjuna keterlaluan banget, sih! Coba tebak, kalau gue warna apa?” Vinka, yang duduk di sebelah Amel bertanya dengan wajah polos. “Warna hitam, kan?” “Ih, Arjuna hebat! Kok, tau siiiih?!” “Vinkaaaa! Dia itu ngintipin kolor kita dari tadi, Dodol!” teriak Amel tepat di telinga teman sebangkunya itu. “Apaaaa? Masa siiiih? Iiih, Arjuna gitu banget, siiih?!” Barulah Vinka mencak-mencak sambil memukul-mukul kepala Arjuna dengan buku tebal di tangannya. “Makanya, jadi cewek itu duduknya yang manis. Kakinya jangan dibuka lebar-lebar!” “Arjuna setan! Ayok, ke toilet! Biar gue kasih liat semuanya sama lo! Biar lo puas!” Amel murka, digebraknya meja sambil melotot. “Mauuuu bangeeeet!” Arjuna memegang pipi sok dramatis. Tak lupa ia mengedip-ngedip sambil senyum m***m. “Najis lo!” bentak Amel lalu pergi ke belakang, tempat teman-teman ceweknya ngerumpi. “Lah, marah! Dia yang ngajakin,” kata Arjuna sambil lalu. Ia keluar kelas sambil bersiul-siul kecil. Di pertengahan koridor, ia berpapasan dengan seorang cowok berambut cokelat berantakan. Sorot matanya begitu tajam dan tak bersahabat. Arjuna membalas dengan tatapan yang tak kalah tajam. Keduanya mengunci pandangan. Hingga saat jarak keduanya begitu dekat dan wangi tubuh mereka menjadi satu, Arjuna lebih dulu membuang muka baru Jevilo melakukan hal yang sama. Garis merah itu bukan hanya terlihat di sekolah, tapi juga di rumah. Nagita sedang duduk di sofa ruang tamu saat melihat kakak laki-lakinya pulang. Arjuna. Cowok berambut hitam pekat itu melihatnya sekilas. Baru saja ia mau berbelok menuju ruangan lain, langkahnya ditahan oleh suara Nagita. "Kak, ajarin Nagita main piano, dong?" Arjuna tertegun sesaat. Ia memutar tubuh untuk menghadap Nagita. "Kakak capek, kapan-kapan aja." "Kapan-kapan ajanya itu kapan? Masa setiap hari jawabnya gitu mulu, sih?" Arjuna mendesah. "Kakak capek, udah ah!" Nagita cemberut. Ia kembali duduk dengan wajah menunduk dalam. Arjuna yang sempat menghilang dibalik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruangan lainnya, diam-diam mengintip anak perempuan itu dengan perasaan asing. Dipandanginya gadis yang sedang mengenakan  kupluk merah jambu itu dengan perasaan campur aduk. Antara kesal dan iba. "Kak Jevi!" Serta merta Arjuna menarik kepalanya dan bersandar di tembok saat mendengar nama itu disebut. Bisa didengarnya langkah kaki seseorang menghampiri Nagita. "Hai, Sayang! Ngapain kamu di sini?" tanya Jevilo setelah berjongkok di depan adiknya yang masih berumur delapan tahun itu. "Jevilo nunggu Kakak pulang! Ajarin Nagita main piano dong, Kak?" jawab Nagita dengan tatapan penuh harap. Jevilo tersenyum lalu mencubit pipi adik kandungnya itu dengan gemas. "Hmmm... oke! Sekarang aja gimana?" "Siap, Bos!" kata Nagita semangat. Lalu, mereka berdua pergi ke kamar Nagita. Tanpa mereka tahu, Arjuna mengikuti dengan langkah pelan, nyaris tanpa suara. Ia berdiri di samping pintu dan bersandar, menunggu. Lantunan melodi nan lembut mulai terdengar. Suara tawa Nagita yang serak membuatnya menoleh. Wajah pucat Nagita membuat perasaan itu kembali muncul dan mengaduk-aduk perasaannya. "Kak... kenapa sih, Kak Arjuna nggak mau ngajarin Nagita main piano?" Pertanyaan itu membuat Arjuna dan Jevilo tertegun. Lama Jevilo menjawab, jari-jarinya berhenti menekan tuts piano. "Apa karena Nagita bukan adik kandung Kak Arjuna? Apa karena Nagita... sakit? Penyakit Nagita kan, nggak menular, Kak...." Nagita menunjukkan kerapuhannya. Matanya berkaca-kaca saat Jevilo memandangnya. "Kak Arjuna nggak pernah mau dekat-dekat Nagita...." Ada sesuatu yang menghantam keras d**a Arjuna detik itu. "Kan ada Kak Jevi. Mungkin Kak Juna lagi capek, males, atau dia nggak bisa main piano," jelas Jevilo sambil membuka kupluk yang dikenakan Nagita. Tak ada satu pun rambut di sana. "Tapi, Nagita sering dengar suara piano dari kamar Kak Arjuna." "Itu Kakak yang mainin, Dek," kata Jevilo seraya mengusap kepala Nagita lalu menciumnya lembut. "Penyakit kamu nggak menular, kok. Nih, Kak Jevi aja nyium kamu selama ini nggak apa-apa, kan?" kata Jevilo sambil tersenyum. Dipeluknya tubuh kurus Nagita dengan penuh sayang. ☀☀☀ "Kenapa lo bilang sama Nagita kalau gue nggak bisa main piano?" seru Arjuna saat berpapasan dengan Jevilo di anak tangga. Jevilo mendecak lalu menatap sinis Arjuna. "Emangnya kenapa? Apa lo mau gue jawab yang sejujurnya kalo lo emang nggak mau ngajarin dia main piano dan nggak mau dekat-dekat dia. Bukan cuma karena dia adek tiri lo, tapi juga karena dia penyakitan gitu?" cecar Jevilo, tangannya mengepal saat mengatakan itu. Arjuna bungkam. Ia kemudian mengedikkan bahu. "Ya, tapi lo nggak boleh bohong sama anak kecil. Gue lebih jago main piano daripada lo...." "Jangan pamer ke gue. Buktiin kalo emang iya." Arjuna tergelak lalu melanjutkan langkah menuruni tangga. Bertengkar sama Jevilo memang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Bisa saja tangan ini melayang ke wajah saudara tirinya itu kapan pun dia mau. Tapi, kalau sampai ia melakukan itu, bisa-bisa Ayahnya mengusirnya dari rumah ini. Ayah benci pemberontak. Ayah benci k*******n. Arjuna nggak mungkin pergi dari rumah ini, ia nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. ☀☀☀
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD