1. Friendship

1023 Words
"Pagi, Ra." Sapaan demi sapaan terdengar di sepanjang koridor. Tidak sedikit anak-anak mengenal seorang Akira Khanzarumi. Sesosok perempuan tangguh yang sering mengikuti ajang perlombaan karate baik tingkat antar pelajar maupun nasional. Sebut saja dia "Dewi Perang". Jika ada yang menyebutnya dengan sebutan seperti itu pasti akan membuat Akira tertawa pelan. Bagaimana bisa teman-temannya ini menjuluki dirinya dengan sebutan menyeramkan seperti itu. Padahal dirinya hanya perempuan biasanya yang sangat mencintai karate. Namun, tidak buruk juga mendapat sebutan seperti itu. Terlebih selama ini dirinya hanya menyebutkan dirinya sebagai Dewi Tak Terkalahkan. Mungkin sebutan Dewi Perang itu tidak buruk. Akira pun melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu per satu. Pikirannya mengarah pada perlombaan tingkat nasional yang diadakan kurang beberapa minggu lagi. Yang menjadi beban dirinya adalah jika ia sibuk berlatih sendiri, bagaimana nasib muridnya di dojo. Hal tersebut membuat Akira galau setengah mati. Sudah berminggu-minggu ini memikirkan hal ini, namun belum ada solusinya sampai sekarang. Saat memasuki kelas, terlihat sudah ada segelintir anak yang bertengger manis sambil memegang ponselnya masing-masing, kebiasaan anak di kelasnya jika bel masuk belum berbunyi. Tatapan Akira mengarah pada bangku dekat jendela. Di sana sudah ada Cyra yang melambaikan tangannya sambil tersenyum senang. "Ra, gue mau cerita!" pekik Cyra antusias. Belum sempurna Akira mendudukkan dirinya, suara keantusiasan Cyra terdengar jelas. Selalu seperti ini jika Cyra ingin bercerita pasal kekasihnya yang tengah LDR. Sebenarnya bukan kekasih, mereka ini tidak pacaran, tetapi hanya komitmen. Entahlah pikiran mereka memang tidak bisa di tebak. Akira hanya diam sambil menyimak perkataan Cyra. Sepertinya perempuan modis ini benar-benar sangat bahagia. Terlihat dari celotehannya yang beberapa kali tertawa kecil. "Kak Luthfi mau pulang. Dia mau nemuin gue, katanya kangen. Rasanya baru kemarin Kak Luthfi lulus dan ninggalin gue. Dia juga sempat bilang 'kenapa gue ketemu lo harus di saat-saat gue pergi, Ra? Seperti mantan-mantan gue sebelumnya. Gue takut kalau lo seperti mereka.' Tapi gue jawab aja, 'mantan lo bukan gue, Kak. Tapi, mereka. Gue ya gue bukan mereka atau pun orang lain.' Berat enggak ya, Ra. Gue LDR begini?" Perkataan Cyra yang awalnya ceria mendadak murung. Perempuan modis itu nampak menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan kedua tangan di atas meja. Sangat khas Cyra ketika memikirkan sesuatu. "Jalanin aja, Ra. Gue kan jomlo, jadi lo jangan takut," balas Akira sedikit percaya diri. Memang setelah kandasnya hubungan Akira dengan Rifqi, kini perempuan mungil itu belum memiliki pasangan hingga tanpa sadar sudah setahun hubungan Akira berakhir dengan seorang laki-laki. Itu pun karena Rifqi disukai salah satu temannya hingga membuat Akira memilih merelakan Rifqi dengan yang lain. Ia tidak mau disangka perebut gebetan teman sendiri. Sedikit naif memang menjadi Akira. "Tapi, temen-temen gue yang lain kan pada bawa pacar, Ra, terus gue malu kalau mereka nanya kapan tanggal jadian gue," keluh Cyra menundukkan kepalanya murung. "Jawab aja komitmen. Lagi pula sekarang waktunya serius bukan main-main lagi. Buat apa bikin tanggal kalau ujung-ujungnya putus juga," sahut Akira tidak mau kalah. Obrolan panas mereka pun harus berakhir, sebab salah satu guru sudah memasuki kelas. Itu artinya bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Namun, saking asyiknya berbincang hingga tanpa sadar Akira melupakan bahwa hari ini ada PR yang harus ia kumpulkan. Melihat beberapa temannya maju ke depan membawa buku tulis, sontak saja Akira kalang kabut. Dengan tampang memelas Akira maju ke depan. Tentu saja ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya ini. Namun, ia juga membutuhkan toleransi. Sebab, sangat tidak lucu jika dirinya di hukum nanti. Tatapan Akira mengarah pada Cyra. Langsung saja ia merebut buku perempuan modis itu tanpa aba-aba. Sementara Cyra hanya diam menyaksikan Akira yang tengah menyalin bukunya. Namun, lama-kelamaan banyak anak-anak di kelasnya yang mengumpulkan buku. Dengan berat hati Cyra pun menatap Akira yang terlihat sangat serius menyalin bukunya. "Ra, anak-anak pada ngumpulin. Gue kumpulin dulu, ya?" pinta Cyra sedikit takut. Akira yang memang suasana hatinya sejak tadi sudah tidak menentu pun merasa sangat tersinggung dengan ucapan Cyra tadi. Sontak saja, Akira menyerahkan buku Cyra dengan sedikit kasar dan beranjak meninggalkan bangku miliknya sambil membawa buku tugas yang belum diselesaikan tadi. Apapun nasibnya ia akan terima, sedikit banyak dirinya menghasilkan lima baris dalam lima menit. Tidak masalah baginya, karena ini pun sudah lumayan. Langkah kaki Akira mengarah pada Bu Dias tanpa memperhatikan wajah Cyra yang menatap dirinya sedikit tidak enak. Apalagi kini Akira tengah kesusahan. Namun, masalah nilai Cyra sangatlah egois membuat Akira merasa sangat tersinggung. Padahal jika Cyra sendiri belum mengerjakan tugas dengan lapang d**a Akira menyerahkan bukunya, tetapi kali ini Akira sangat marah pada perempuan itu. "Bu, saya lupa kalau hari ini ada PR. Kemarin sehabis latihan saya pulang langsung dan tertidur. Jadi, saya tidak ada waktu untuk bertanya mengenai tugas kemarin. Tidak apa-apa kan, Bu? Kalau saya menyusul tugasnya nanti sepulang sekolah," kata Akira menatap wajah Bu Dias dengan sesedih mungkin. "Kenapa tidak mengerjakan tugas?" Tanpa menatap ke arah Akira sedikit pun Bu Dias meresponnya dengan nada yang datar. Tentu saja Akira tahu guru yang tengah hamil muda itu sangatlah sensi. Jadi, sesantai mungkin ia menjawab, "Kan saya kemarin pulang sore, Bu. Terus mau buka ponsel rasanya tidak kuat. Jadi, selepas kemarin saya bersih-bersih sebentar langsung tidur. Saya baru mengerjakan jam istirahat nanti. Tapi, Ibu tenang aja, saya udah mencatatnya sedikit kemarin, jadi hanya melanjutkan beberapa saja." Bu Dias hanya diam sambil mengoreksi beberapa buku yang ada di hadapannya tanpa mengindahkan Akira. Ia hanya diam dan membaca sekilas buku milik Akira dan menyerahkannya. Dan tanpa aba-aba, perempuan mungil itu melewati bangku miliknya sambil melempar buku tugas tadi dengan sedikit kasar dan bermuara di bangku belakang milik Devin dan Ken, salah satu teman dekatnya di kelas. Kedua laki-laki yang awalnya tengah mendadak menatap wajah Akira dengan alis berkerut bingung. Jarang sekali Akira memasang wajah marah sekaligus lesu seperti itu. Padahal Devin sempat melihat perempuan mungil itu nampak ceria. "Kalian enggak ngerjain tugas?" Akira menatap buku kosong yang ada di genggamannya. Sebuah nama Devin Pandya Andika terukir abstrak di bagian sampul depan yang berwarna coklat. "Kemarin kan gue di lab seharian," sahut Devin merampas bukunya dan menatap Akira sambil tersenyum lebar. "Tapi kok, kalian gampang banget. Sedangkan gue harus nangis-nangis dulu sama itu guru." Bibir Akira mengerucut kesal dan mendudukkan diri di tengah-tengah Devin dan Ken. Kedua laki-laki itu nampak tidak terusik dengan keberadaan Akira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD