Bab 1

1507 Words
Lahir dari keluarga yang cukup berada serta hidup dengan bergelimpangan harta. Faktanya hal itu tak sepenuhnya membuat hidupku bahagia. Banyak dari teman-temanku yang berteman denganku cuma gara-gara aku anak orang kaya. Shelania Putri Artasyah. Sebuah nama yang diberikan langsung oleh papaku. Keluarga Artasyah adalah keluarga yang cukup terkenal di kota Jakarta. Tidak heran juga sih, mengingat papaku adalah seorang pemilik perusahaan terbesar se ibukota, atau bahkan mungkin se Indonesia. Aku sekolah di sebuah SMA Negeri yang terbilang cukup terkenal di Kota Jakarta. SMA Negeri Sakti Buana namanya. Sebenarnya aku tak pernah mau bersekolah di sana. Aku ingin sekolah di sekolahan biasa saja, bukan yang favorit. Alasan kenapa aku tak mau hanyalah karena aku ingin merasakan memiliki teman yang sesungguhnya, bukan teman yang hanya memandang kasta belaka. Namun kedua orang tuaku malah bersikeras untuk menyekolahkan aku di sana. *** Pagi itu mendung hitam sedang menyelimuti langit Jakarta. Tiada secercah cahaya pun dari sang mentari yang berhasil menembus masuk menyinari semestaku. Udara juga kian semakin mendingin, seolah-olah sedang memberi tanda bahwa langit akan mengeluarkan tangisannya. Aku berlari menuju ke arah kelas dengan gaya khas seorang pelari profesional. Bukannya takut kehujanan, melainkan karena pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran si guru killer yang bernama Pak Handoko. Dari sekian banyak guru, hanya itulah satu-satunya guru yang kutakuti. Aku bingung tentang bagaimana cara menjelaskan alasan kenapa aku takut dengannya. Dulu ketika aku masih polos-polosnya, ketika aku masih menjadi gadis penakut atau tepatnya awal-awalnya aku masuk di sekolahan itu, Pak Handoko memberikan bentakan kepadaku serta hukuman yang menurutku itu sangat mengerikan. Tentang kenapa ia bisa melakukan hal itu padaku, ada baiknya jika tidak usah kuceritakan. Lariku akhirnya terhenti di ambang pintu kelasku. Dengan napas yang terengah-engah kusanderkan tanganku pada pintu. Kukira aku akan telat dan mendapat hukuman dari Pak Handoko, tapi nyatanya tidak. "Yahhh... Nih Shela cantikku kenapa pakai lari-lari segala sih?" "Iya nih. Sampai keringetan kayak gitu." "Sini! Biar Abang Dendi lapin tuh keringat." Geng usil pojokan. Begitulah aku menyebut mereka. Mereka adalah para lelaki yang tak pernah jera untuk menggoda kaum perempuan, terutama aku. Sifat yang ditakuti oleh lelaki lain dariku bahkan menjadi tidak berguna jika sudah berada di hadapan mereka. Aku tak mau menanggapi mereka. Kuanggap saja semua perkataan mereka hanyalah angin yang berlalu. Ya mungkin caraku yang seperti itu bisa jauh lebih baik daripada nantinya aku terjebak dalam kemarahan dengan emosiku yang meluap-luap. "Yah, dicuekin," ucap salah satu dari mereka. Aku hanya terdiam dan memilih untuk segera duduk di bangkuku. "Baru dateng, Shel?" tanya salah satu temanku. Sebut saja namanya Icha. "Iya nih," jawabku. Alicha Saraswati, seorang gadis blasteran Indo-Prancis yang merupakan sahabat terbaikku. Ayahnya asli dari Prancis dan ibunya adalah seorang pribumi. Dialah satu-satunya orang yang bisa kupercayai di SMA Sakti Buana. Bukan berarti aku tidak pernah mempercayai yang lain. Hanya saja sifat mereka yang gampang berubah itulah yang membuatku ragu untuk mempercayai. "Eh, PR lo sudah selesai, belum?" tanya Icha. "PR apaan?" tanyaku balik. "PR biologi, lah," jawab Icha. "Halah, bodoh amatlah. Gue males ngerjain," ucapku. "Lo yakin? Lo gak lupa kan siapa yang ngajar biologi?" Nama Pak Handoko seketika itu juga seolah-olah langsung muncul di dalam bayanganku. Aku mengutuk diriku sendiri. Bisa-bisanya aku lupa pada guru mata pelajaran biologi. Apa ini faktor dari ketidak pedulianku pada semua mata pelajaran di sekolah? Aku ini memang pantas untuk selalu mendapat peringkat lima dari bawah. "Gue nyontek, dong," pintaku pada Icha. Namun si guru pengajar biologi itu tiba-tiba masuk kelas ketika aku belum sempat untuk meminjam buku Icha. Aku memaki diriku sendiri dan berharap bahwa Pak Handoko nantinya akan lupa pada PR itu. Ya, semoga saja begitu. "PR nya silahkan dikumpulkan!" Habislah sudah. Do'aku tak dikabulkan oleh sang kuasa. Aku sudah berkeringat dingin. Bagaimana tidak? Aku tahu betul siapa sosok dengan nama Handoko itu. Dia tidak pernah main-main dalam memberi hukuman walaupun itu hanya karena tidak mengerjakan PR saja. Pernah ada yang disuruh membersihkan seluruh toilet sekolah gara-gara tidak mengerjakan PR. Padahal sebenarnya pun ia tidak mengerjakan PR bukan tanpa alasan. Lalu bagaimana dengan diriku yang bahkan hanya bermodalkan dengan alasan lupa? "Shela! Mana bukumu?" Pak Handoko mendekatiku sembari memintaku untuk mengumpulkan buku PRku. "Buku ya, Pak? Hehehe, buku saya habis, makanya saya tidak mengerjakan," jawabku. "Kenapa gak beli buku baru?" tanya Pak Handoko lagi. Kali ini nada suaranya mulai meninggi. "Lha itu, Pak. Semua buku telah habis terjual di toko manapun," jawabku bohong. "Ya pakai buku mata pelajaran lain dong, Shelania Putri Artasyah," ucap Pak Handoko. Ia menekankan nama Artasyah yang aku tak tahu maksudnya apa. "Ya gak bisa lah, Pak. Kami para pelajar menganggap sekolah itu ibarat kerja, Pak. Kerja kan harus profesional. Kalau saya menaruh catatan biologi di buku lain, itu berarti saya tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, Pak. Itu jelas sama halnya dengan tidak profesional," bantahku. Sungguh aku sendiri tak percaya bisa membantah Pak Handoko sampai segitunya. Kalau kepada guru lain, mungkin bagiku sudah biasa. Akan tetapi kalau kepada Pak Handoko rasanya baru kali ini aku berani membantahnya. Sebenarnya aku ingin sekali meralat jawabanku itu. Kalau kupikir-pikir lagi, orang seperti diriku ini tak pantas menjawab dengan kata-kata yang kuucapkan barusan. Pak Handoko bisa saja menyerangku balik dengan modal perkataan yang telah terlanjur kuucapkan. Aku mengumpati diriku sendiri akibat kebodohanku itu dan terus berharap bahwa Pak Handoko tidak akan kepikiran untuk melakukan serangan balasan. "Lalu di mana letak kesalahan saya, Pak?" Aku memutuskan untuk berkata-kata lagi demi menghindari counter attack yang kemungkinan akan dilakukan oleh Pak Handoko. "Dalam hal ini, saya ini...." "Cukup...!" Perkataanku dihentikan oleh Pak Handoko. Kali ini aku merasa seperti de javu. Bentakan itu lagi-lagi harus kudengar. Jujur aku merasa agak takut. Namun aku mencoba untuk tetap terlihat santai di depannya. "Istirahat nanti temui saya di ruang guru!" Pak Handoko menunjukku, kemudian pergi keluar kelas sembari membawa buku para murid yang sudah mengerjakan PR. Aku menghela napas lega. Biarpun nanti aku masih harus menghadapinya lagi, setidaknya untuk saat ini aku bisa terbebas darinya. Kalau soal hukuman, itu urusan nanti. Lagipula aku yakin Pak Handoko tak akan memberikan hukuman berat bagiku. Mana mungkin ia berani memberi hukuman berat pada anak seorang donatur terbesar sekolah tersebut? Boleh saja aku disebut anak brandalan. Ya biarpun aku seorang perempuan, tapi sikapku sungguh jauh dari kata perempuan. Kelembutan bahkan tak pernah dirasakan oleh orang lain kepadaku. Pemarah, dan terkadang cuek, itulah diriku. Parahnya, aku suka gayaku itu. Akan tetapi dengan satu catatan. Hal itu tidak berlaku ketika berada di depan orang-orang yang kusukai. "Buset, parah lo Shel. Masa Pak Handoko lo gituin?" ucap Nita, salah satu teman sekelasku. "Gak apa-apa Shel, gue dukung lo." "Gue juga pasti dukung lo, Shel." Berbagai ucapan datang dan menyerbu ke arahku. Baik ucapan yang keluar dari mulut kaum perempuan ataupun kaum lelaki. Aku sebenarnya tak suka berada di situasi seperti ini. Menjadi titik perhatian dan sorotan mata bagi banyak orang, itulah satu dari banyaknya hal yang kubenci. Hanya saja aku tak bisa menghindarinya. *** Di waktu istirahat itupun mau tidak mau aku harus pergi menghadap Pak Handoko di ruang guru. Aku tak begitu khawatir atas apa yang akan terjadi nantinya. Modalku untuk lolos dari jeratan Pak Handoko sudah cukup besar. Seorang anak dari donatur terbesar sekolahan itu, mana mungkin ada guru yang berani memberi sanksi berat kepadanya? Saat sampai di ruang guru aku tak menemukan tanda-tanda keberadaan Pak Handoko. Aku hanya melihat seorang guru yang biasa kupanggil dengan sebutan Pak Ratno dan juga seorang siswa yang tak kukenali. Pak Ratno sibuk mengurus siswa tersebut, sedangkan aku dibiarkan duduk sendirian tak jauh dari tempatnya setelah ia memberi tahuku bahwa aku disuruh untuk menunggu Pak Handoko di sana. "Kamu! Sudah berapa kali saya kasih peringatan, kenapa kamu masih mengulanginya lagi?" Pak Ratno mulai berbicara dengan siswa tersebut. Nampaknya baru saja ada kejadian hebat yang tidak kuketahui. "Saya nggak salah, Pak," ucap siswa tersebut melakukan pembelaan. "Nggak salah, nggak salah. Daniel! Yang bisa menentukan salah tidaknya kamu itu adalah yang melihatmu, bukan kamu," ucap Pak Ratno dengan nada tinggi. Aku melirik ke arah mereka karena saking penasarannya. Kulihat siswa yang tidak kukenal itu mulai mengepalkan tangannya dengan kuat. Dirinya nampak sedang menahan emosinya. "Apa yang bapak maksud membela diri dari pembullyan itu termasuk hal yang tidak dibenarkan dan apa bapak juga berpikir kalau membully adalah hal yang dibenarkan?" tanya siswa tersebut dengan dingin. "Saya...." "Saya tahu saya ini miskin. Saya juga tahu kalau dia itu kaya. Saya masuk ke sekolahan ini juga cuma karena beasiswa." Ia bahkan dengan beraninya memotong perkataan Pak Ratno. "Tapi, jangan karena hal itu bapak bisa semena-mena terhadap saya. Jangan karena dia anak donatur besar sekolahan ini bapak sampai bersikap tidak adil kepada para murid bapak," lanjutnya. Pak Ratno dibuat terdiam oleh siswa tersebut. Sama halnya dengan aku setelah mendengar kalimat "anak donatur besar" dari mulutnya. Jujur aku agak merasa bersalah. Aku juga telah ada niatan untuk memanfaatkan posisi itu agar aku bisa terbebas dari hukuman Pak Handoko. Secara tidak langsung, lelaki itu telah mengubah pemikiranku. Aku jadi merasa ragu untuk melanjutkan aksiku itu. "Percuma pintar kalau sikap kamu ke guru kamu kayak gini." Pak Ratno mulai berbicara lagi. "Apa ibu kamu mengajari kamu membantah guru? Ayo jawab!" gertak Pak Ratno.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD