Prolog

949 Words
Adyatama adalah Manager Alister Corporation, sebuah tugas ke luar kota mengharuskan dirinya harus selalu meninggalkan putrinya seorang diri bersama orang-orang kepercayaannya, Felisya adalah istri Adyatama yang juga seorang pegawai. “Nayara sayang, kau harus selalu belajar dan juga menjaga diri. Ayah dan ibu akan bekerja dengan baik jadi kau harus selalu belajar, buktikan kepada ibu jika kau selalu mampu mendapatkan juara di sekolah.” Nayara menatap kedua mata ibunya dengan lekat, dirinya melihat ayah dan ibunya harus bekerja keluar kota. “Apakah aku boleh mengajak bermain teman-temanku? Bersama Castor, Mira dan juga Latisha untuk selalu bermain bersamaku,” ucapnya dengan tatapan teduh. “Boleh, kau boleh mengajak bermain teman-temanmu ke rumah. Asalkan kalian tidak boleh berantem dan juga selalu aktif belajar dan bermain,” ucapnya dengan kedua pupil mata yang menangis. Lagi-lagi ia harus meninggalkan putri kesayangannya untuk bekerja. “Bulan depan ibu akan selalu bekerja dari rumah untukmu Nayara, jadi jangan pernah merasa sendiri lagi.” Nayara tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan yang terbaik untuk dirinya. Suara langkah kaki menuju mobil pun tergerak, Felisha tahu ada sesuatu hal yang harus ia sembunyikan dari putrinya. “Bulan depan aku akan bekerja dari rumah untuk Felisha.” “Kau tahu kan kita sudah berpisah, lebih baik seperti itu. Kau bekerja juga untuk anakmu, aku memiliki aktifitasku,” ucap Adyatama kepada Felisha. “Kita berpisah dengan cara yang baik, memang sudah keputusannya seperti ini jadi ya jalani saja.” Pukul 13.00 Wib. Felisha menerima tawaran perpisahan dari suaminya sendiri. “Adyatama, aku senang pernah bertemu denganmu. Aku akan menjaga Nayara dengan baik.” Wanita manapun pasti enggan menerima perceraian dari pria yang ia kasihi, bahkan perceraian sudah terjadi. “Aku akan menjaga Nayara dengan baik, pergilah bekerja dan cintai wanitamu,” ucap Felisha dengan rasa sesak yang harus ia tahan. Tak pernah terpikir oleh Felisha bahwa pernikahannya harus berakhir di hari ini. Jauh lebih memilih bersama putri kesayangannya. Tatapan dari seorang pria kepada istrinya yang awalnya manis menjadi penuh kemarahan. Felisha tak menyangka bahwa suaminya akan menceraikannya seperti ini. Detik dan menit terus bergulir, bukan pergi untuk bekerja melainkan menyelesaikan perceraian. Tangisan Felisha semakin harus ia tahan, rasanya tak hanya sesak bahkan separuh dunianya harus menghilang. Tak hanya dunia dirinya sendiri tetapi juga Nayara putri semata wayangnya. “Untuk apa ada pertemuan jika ada perpisahan,” ucap Felisha dengan tatapan mata melihat ke arah Adyatama. Felisha menerima perceraian karena keterpaksaan. “Aku akan kembali pulang ke rumah,” ucap Felisha dengan suara getir. Melihat suaminya kini kembali pergi bekerja sedangkan dirinya harus pulang membawa map berisikan kertas-kertas perceraian. Felisha menatap kosong jalanan di sekitarnya, apa jadinya jika anaknya menanyakan ayahnya. Bukankah Felisha akan terus berbohong kepada anaknya jika ayahnya selalu bekerja. Siang ini Jakarta sangat terik, banyak pohon menari-nari dengan angin yang menghampiri. Dirinya pun pulang dengan menaiki jojek, hanya tiga jam menuju rumah. Helaan napas sesak Felisha kini kembali terulang. Putrinya sedang bermain bersama teman-temannya. “Ibu kenapa sudah pulang? Tak seperti biasanya pulang siang. Memangnya ada apa?” Tanya Nayara dengan kebingungan. Dirinya melihat ibunya dengan tatapan sendu, ada yang aneh dengan ibunya saat ini. Kedua matanya agak sembab seperti habis menangis dengan wajah yang agak memucat, tak seperti biasanya Nayara melihat ibunya memasang rona wajah seperti ini. “Tidak apa-apa, hanya sedikit kelilipan tadi di jalan. Apa Nayara sudah makan?” Tanyanya dengan senyum terpaksa. Melihat putrinya semangat belajar membuat Felisha merasa bersemangat kembali. “A-aku sudah makan, tapi hanya makan snack ringan,” jawab Nayara dengan tingkah lucu dan genit dengan anak seusianya. Gadis periang yang selalu membuat Felisha bahagia. Entah apakah ia akan bahagia esok jika Nayara mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah berpisah. “Ibu akan membelikanmu beberapa makanan, Nayara mau makan apa?” Tanya Felisha dengan memasukkan telapak tangannya ke dalam tas untuk mencari ponsel. Memesan beberapa makanan instan untuk dirinya dan juga putrinya. Suara tertawa dari ruang keluarga terdengar, ada beberapa teman Nayara di sini. Tidak mungkin jika Felisha harus memperlihatkan wajah sedihnya saat ini. Langkah kakinya berjalan menuju ruangan kamar, melepas kedua sepatu miliknya dan juga tas sling bag yang ia kenakan untuk berangkat bekerja. Felisha Merebahkan diri di atas ranjang kasur miliknya, menyandarkan bahu di antara bantalan, 'Nayara, seandainya Nayara tahu bahwa ayah dan ibu sudah berpisah. Entah Nayara akan marah pada ibumu atau tidak.' Lagi-lagi tangisan Felisha terjatuh kembali, hanya mengingat Nayara dirinya harus tegar. Menjadi seorang ibu yang harus berjuang seorang diri. Tok … tok … Ketukan pintu terdengar, Felisha menghentikan tangisannya dengan beberapa usapan tangan. Mendengar ketukan pintu membuat dirinya harus terbangun saat ini juga. “Ibu, apa aku mengganggumu? Pesanan makanan yang ibu pesan sudah datang,” ucap Nayara ketika dirinya melihat tatapan ibunya kosong. Felisha berbalik tubuh dengan berjalan menuju ranjang kasur miliknya, mengambil tas yang ia taruh di bawah ranjang. “Apa teman-temanmu sudah pada pulang? Jika sudah kembalilah ke kamarmu, atau menonton televisi atau kembali belajar. Ibu ingin sendiri malam ini. Lagipula tadi ada sesuatu di perjalanan makanya ibu kembali pulang kepadamu Nayara, ayahmu mungkin tidak akan pulang beberapa bulan. Jadi jangan merindukannya.” Nayara hanya kebingungan saat ini melihat ibunya berbicara seperti ini, pulang ke rumah dengan kedua mata yang sembab. Padahal ibu yang ia kenali tidak seperti ini, “memangnya ibu dan ayah kenapa? Apakah kalian bertengkar?” Tanya Nayara dengan polos. “Bukankah ayah sedang bekerja? Lalu kenapa ibu menangis? Kalian tidak pulang bersama, lalu ibu menangis seperti ini. Apakah ayah menyakiti ibu?” “Ibu bilang tidak apa-apa, ayahmu lagi bekerja. Jadi jangan diganggu, jangan menghubunginya. Ibu tidak ingin ayahmu khawatir,” jawab Felisha dengan nada pelan menyuruh anaknya untuk kembali menemui teman-temannya. Melihat anaknya menanyakan ayahnya membuatnya kembali harus menahan luka. Terlebih melihat wajah Nayara yang polos seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD