PROLOG

1524 Words
Tokyo, 1915. Gema kesemarakan musik memenuhi sebuah gedung teater bertingkat tiga yang terbuat dari kayu di jantung kota Tokyo, tampak para pelakon melakukan tarian michiyuki di atas panggung mengiringi alunan musik tersebut. Pementasan Yoshitsune Senbon Zakura (Yoshitsune dan Seribu Pohon Sakura) menghiasi malam itu dengan disaksikan oleh para hadirin yang berasal dari berbagai kalangan; drama musikal khas Jepang ini seakan-akan memiliki sebuah kekuatan magis yang mampu menundukkan setiap penontonnya dalam pesona yang misterius. Di antara orang-orang yang menyaksikan penampilan itu, di sebuah tempat yang dikhususkan bagi kalangan terhormat, tampak seorang pria dengan perawakan tegap dan pembawaan yang tenang. Ichikawa Katsuya, seorang politikus Jepang yang sedang ramai diperbincangkan, menghadiri pementasan bersama Miku, istrinya. Sepasang insan ini tengah merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ke-10 tahun yang jatuh tepat pada 21 Januari malam itu. Katsuya mengalungkan sebuah untaian perhiasan yang indah pada leher istrinya, wanita tersebut pun mengembangkan senyumnya seraya mendekap lengan suaminya. Pertunjukan berakhir pukul 8 malam, Tuan dan Nyonya Ichikawa keluar bersama dengan hadirin lainnya. Sang suami memberikan sebuah isyarat kepada mobil yang sedang terparkir di pinggir jalan tidak jauh dari pintu utama gedung tersebut. Namun ketika Miku sedang berjalan menghampiri suaminya, seseorang merampas tas tangan dari genggamannya dan berlari menuju kerumunan orang banyak. Wanita itu berteriak dan membuat kumpulan orang itu terperangah sementara Katsuya yang menyadari hal tersebut segera berlari mengejar si pencopet. Tiba-tiba saja pria itu terjerembap karena tungkainya menjegal sesuatu, di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mantel lusuh dan topi fedora lebar; tangannya menggenggam sebuah pistol dengan laras yang mengacung pada Katsuya. Suara tembakan pun membahana memecah udara musim dingin. Bagaikan segerombolan semut yang terusik, orang-orang tersebut berhamburan menyelamatkan diri dari tempat itu. Kini terlihat Katsuya yang terkapar, cairan merah kental membasahi aspal jalan yang tertutup oleh tubuhnya. Melihat kejadian itu Miku pun turut histeris tetapi pria bermantel itu kembali membidikkan senjatanya. Telunjuknya menarik pelatuk beberapa kali disertai dengan suara dentuman mesiu dan dentingan selongsong yang berjatuhan; wanita itu pun roboh. Dua minggu setelah peristiwa penembakan tersebut, penyelidikan yang dilakukan kepolisian Jepang berhasil membawa mereka kepada pelaku penembakan itu dan menyergapnya ketika sedang bersembunyi di sebuah permukiman di sudut kota Tokyo. Diketahui bahwa sang pelaku adalah seorang warga Joseon bernama Song Il-Hwan. Ia diadili dan dijatuhi hukuman mati serta keluarganya terancam dieksekusi bersamanya. Namun seorang tokoh patriotik dari Joseon turun tangan untuk berunjuk suara dan memprotes keputusan tersebut. Setelah melalui perdebatan politik dan persaingan pengaruh yang sengit, keluarga Il-Hwan akhirnya diberikan pengampunan dan dikirimkan kembali ke Korea. Hal tersebut mengundang berbagai pujian dan simpati yang luar biasa dari kalangan Joseon baik yang berada di Jepang maupun di Korea; para warga Joseon di kala itu menganggapnya sebagai pahlawan dan nasionalis sejati. Sang penyelamat itu bernama Choi Jung-Jae. Berkat keberaniannya itu beberapa gerakan separatis dan nasionalis mulai bangkit serta memberikan dukungannya kepada Jung-Jae, kendati demikian hanya sebagian kecil orang yang menyadari seberapa jauh jangkauan tangan “sang pahlawan” dalam dunia gelap yang diduduki oleh para penguasa dan elite negara. Untuk beberapa lama Il-Hwan dan keluarganya menjadi sorotan publik dan masyarakat sebangsanya, kendati demikian mereka bukan satu-satunya sosok yang terlibat erat dengan peristiwa penembakan tersebut. Beberapa hari setelah upacara pemakaman Katsuya dan Miku, seorang wanita separuh baya pun tiba di Tokyo. Wanita berkebangsaan Joseon itu langsung menempuh perjalanan panjang dari kota Gyeongseong (Seoul) menuju ibu kota Jepang itu setelah menerima kabar kematian Katsuya dan Miku, sebab Miku sesungguhnya berasal dari keluarga Joseon yang terpandang dan bernama asli Lee Seon-Hui. Maksud kedatangan wanita itu adalah untuk mengambil hak asuh atas cucunya yang kini yatim piatu, dan segera setelah menyelesaikan berbagai administrasi serta birokrasi yang merepotkan wanita tersebut pun membawa cucunya kembali ke Gyeongseong.   Gyeongseong, 1915. Suasana yang terasa sangat asing menyambut bocah laki-laki itu begitu Ia menginjakkan kaki di tanah air kelahiran ibunya. Kaki-kaki mungil itu berayun-ayun di antara hembusan angin musim dingin, ditumpukannya beban tubuh pada kedua tangannya yang agak gembul. Tidak jauh dari situ seorang wanita yang agak berumur menghampirinya dengan membawa sekotak makanan hangat, bocah itu pun melompat dari tumpukan peti kemas kecil yang didudukinya tadi lalu berjalan menuju wanita tersebut. Perjalanan panjang hari itu cukup menguras tenaga mereka sehingga keduanya memutuskan untuk mengisi perut begitu tiba di kota itu. Begitu selesai, sang nenek menggenggam tangan bocah itu dan menuntunnya menuju sebuah jalanan ramai di luar kawasan Stasiun  Keijō, di sana seorang pria bertubuh kurus dan jangkung tampak memperhatikan kedatangan mereka. Pria itu memberi hormat kemudian membukakan pintu mobil berwarna cokelat yang diparkirkan di sebelah tempatnya berdiri, kedua calon penumpang itu pun segera menyamankan tubuh mereka pada bantalan kursi yang hangat. “Selamat datang kembali, madam. Langsung menuju rumah?” sapa sang supir, tampak kepulan uap dingin berhembus mengiringi kata-kata yang terlontar dari mulutnya. “Langsung saja, aku lelah sekali. Musim dingin kali ini tidak kenal ampun, nyalakan pemanasnya!” sang wanita menyahut sembari menunjuk sebuah pemanas kecil yang terbuat dari perunggu. “Saya pun sangat berduka ketika menerima kabar tentang Nona Seon-Hui dan suaminya, memang pergolakan politik belakangan ini sangat mengerikan. Jadi, ini tuan muda dari Jepang?” “Ssst!” si wanita memberi isyarat dengan telunjuknya, “Dia langsung ketiduran begitu masuk ke dalam mobil, pasti ini pertama kalinya menempuh perjalanan jauh. Meskipun begitu Ia hampir tidak pernah mengeluh kepadaku; entah karena sungkan, tidak bisa bahasa Joseon, atau memang benar-benar tangguh,” ucapnya setengah berbisik. “Apakah madam akan benar-benar mengasuhnya?” supir itu kembali bertanya. “Maksudmu?” “Bukankah dia keturunan orang Jepang?” “Dan keturunan Joseon, bagaimana pun dia tetap anak Seon-Hui dan aku akan membesarkannya sebagai seorang Joseon sejati.” Si supir menatap kaca spion yang bertengger di langit-langit mobil, terlihat wajah serius nyonya itu ketika menjawab pertanyaannya tadi. Ia pun kembali bertanya, “Siapa nama tuan muda ini, madam?” “Namanya...” Tiba-tiba perkataan itu terpotong karena sebuah manuver yang terserempak ketika si supir berusaha menghindari sebuah kendaraan di depannya, tubuh kedua penumpang itu tersentak akibat gaya yang ditimbulkan dan membangunkan si bocah yang tadi terlelap. “Sedang apa kau!? Perhatikan jalannya, jangan meleng!” tegur sang nyonya dengan nada kesal, “Nak, kau tidak apa-apa? Kembalilah tidur kalau masih mengantuk,” ujarnya kemudian seraya membelai rambut bocah laki-laki itu. Anak kecil tersebut menganggukkan kepalanya seolah-olah mengerti dengan perkataan neneknya, Ia pun kembali membenamkan tubuhnya di kursi dan mengatupkan kelopak matanya. Setelah menempuh perjalanan kira-kira 20 menit, mereka tiba di sebuah rumah dengan pekarangan luas yang berada di pinggiran kota. Kedatangan itu disambut oleh beberapa orang pelayan yang sudah menanti di depan pintu utama. Sang nenek menuntun cucunya keluar dari mobil, mereka memasuki bangunan utama yang berbentuk rumah tradisional Korea yang terbuat dari kayu serta campuran tanah dan batu. Para pelayan pun membantu nyonya rumah menuntun bocah laki-laki itu. Seorang pelayan yang bertugas sebagai pengasuh membantunya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian. Malam harinya, si pelayan kembali dan membawa anak itu menuju sebuah ruang keluarga yang luas dan hangat. Di sana sudah tersedia berbagai hidangan malam yang seketika membuat selera makannya bangkit. Terlihat pula sang nenek sedang duduk, di sebelahnya tampak seorang pria dengan setelan formal. Sang nyonya rumah kemudian mengatakan sesuatu dalam bahasa Joseon, pria tersebut lalu memandang kepada si cucu yang sudah duduk rapi di hadapan mereka dan memberi isyarat bahwa Ia boleh menikmati hidangan tersebut. Makan malam berlangsung dengan sangat senyap, sebab tiga orang itu tetap membisu seraya menikmati aneka suguhan yang mampu menghangatkan tubuh pada amukan udara musim dingin. Namun kelihatan jelas perasaan kurang nyaman dari gerak-gerik si cucu yang berkali-kali melirik kepada dua orang di hadapannya, kendati demikian Ia berusaha tenang dan menikmati makanannya. Setengah jam kemudian mereka pun selesai, berbagai perlengkapan makan dibereskan, dan kini hanya terdapat hamparan meja kayu kosong berwarna cokelat tua yang memisahkan mereka. Seorang pelayan datang dan menuangkan segelas teh hangat bagi masing-masing orang di ruangan itu. Sambil masih mencuri-curi pandang, bocah tersebut mengikuti gerakan dua orang itu ketika mereka meminum teh karena menyangka bahwa itu sebuah tata krama yang wajib dilakukan. Nyonya rumah lalu mempersilakan pria itu untuk menyampaikan sesuatu kepada cucunya. “Perkenalkan, nama saya Dong-Yul. Mulai hari ini saya bertugas sebagai guru dan pendamping tuan muda. Saya akan mengajarkan bahasa Joseon, tata krama, pelajaran, dan berbagai hal tentang keluarga baru tuan,” sapa pria itu dalam bahasa Jepang. Inilah kali pertama bocah itu mendengar bahasa yang Ia mengerti sejak tiba di Korea, dan Ia pun mulai membuka mulutnya, “Salam Dongguyuru-sensei. Mohon bantuannya.” Tubuhnya membungkuk seraya memberi hormat. “Dong. Yul. Dong-Yul. Mulai sekarang silakan tuan berlatih pelafalan yang benar. Pelajaran akan dimulai besok pagi, dan saya harap tuan sudah bisa melafalkan nama saya dengan tepat. Silakan kembali ke kamar dan beristirahat, Tuan Haka...” “Beom-Seok,” sela neneknya ketika mendengar potongan nama tersebut. Hal itu membuat Dong-Yul dan si bocah sejenak terpana sambil memberikan tatapan bingung. “Nama cucuku ini adalah LEE Beom-Seok,” ucapnya lagi mantap sebelum kembali menyesap tehnya. “B... Baik, nyonya,” sahut Dong-Yul agak tergagap. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya kepada anak laki-laki itu, “Nyonya sudah memutuskan, bahwa secara resmi mulai saat ini nama tuan muda adalah Lee Beom-Seok. Sekarang Tuan Beom-Seok, silakan kembali dan beristirahat.” Tangan pria itu terjulur sopan sembari memberi isyarat agar meninggalkan ruangan tersebut. Untuk beberapa saat si cucu menatap wajah kedua orang itu dengan terheran-heran, tetapi seakan mengetahui lingkungan dan keadaannya saat ini Ia pun membungkuk dengan patuh lalu meninggalkan ruangan itu bersama pelayan yang sudah menunggunya. Beom-Seok berjalan seraya menatap lantai kayu rumah itu. Mulai hari ini, pikirnya, diawali dengan sebuah nama baru, maka Ia pun menyadari kalau setiap langkah ini pun sedang membawanya menuju sebuah kehidupan baru yang akan mengubah masa depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD