Prolog

1323 Words
"Mampus!" seru Fano memegangi kepalanya.   Kontan saja cowok itu melihat ke arah jam di atas mejanya. Matanya membeliak tidak percaya begitu mendapati jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Fano berteriak heboh, membuang bantal serta gulingnya sampai selimutnya pun dia lempar saking paniknya. g****k lo, Fan! Kenapa jam segini lo baru bangun, sih!   Fano masuk ke kamar mandi, lalu keluar lagi. Masuk lagi, keluar lagi sampai beberapa kali sambil menggaruk kulit kepalanya. Dia bingung mau mandi dulu atau langsung siap-siap saja. Fano meringis ketika mengangkat lengannya sedikit lebih tinggi, baunya... mirip kaus kakinya yang nggak dicuci berminggu-minggu lamanya sampai warnanya berubah kucel. Tapi, kalau mandi dulu... telat banget dong? Keburu Alenta tampil, terus dia telat nonton, takutnya sampai sana acaranya udah kelar!   "Nggak usah mandi!" Fano meyakini keputusannya. "Semprot minyak wangi banyak-banyak." Cowok pecinta warna merah muda itu menganggukkan kepalanya sekali penuh keyakinan. Oke. Deal, ya? Fano meyakinkan dirinya sendiri sebelum bersiap-siap. Ya udah, nggak usah mandi! Masih ganteng kok.   Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk mempertimbangkan mandi atau nggak, pilihannya jatuh ke—nggak mandi! Sekarang, yang lebih penting adalah Alenta! Ah, bukannya Alenta memang selalu penting buat Fano, ya?   Fano tersenyum lebar sampai kedua matanya memejam lucu. Cowok itu nggak mengelak kalau Alenta memang prioritasnya kok. Walaupun status mereka cuma teman, tapi apa pun yang berhubungan tentang Alenta—adalah yang utama.   Pandangan mata Fano terarah ke sebuah kotak kecil di atas meja. Itu hadiah buat Alenta... mau dia menang atau kalah, Fano nggak akan menundanya lagi. Hadiah itu bukan sekadar kado untuk Alenta. Hadiah itu... akan menjadi benda paling bersejarah untuk mereka berdua nantinya.   *** Fano bohong! Ke mana cowok itu sekarang? Bukankah Fano sudah berjanji padanya akan datang dan duduk di bangku paling depan? Kenapa sekarang tidak kelihatan batang hidungnya!   Dalam hati Alenta bersungut-sungut. Dia tidak terima dibohongi Fano. Katanya pasti datang. Katanya, nggak akan terlambat. Ini bukan terlambat namanya! Tapi memang sengaja nggak datang! Sekarang jam berapa memang? Jam sepuluh! Acaranya saja dimulai sejak jam enam tadi!   Alenta kembali ke belakang panggung setelah menyelesaikan penampilan keduanya. Bahkan, acaranya sebentar lagi selesai. Tinggal menunggu pengumuman siapa yang akan jadi pemenangnya. Alenta menarik napas panjang, mengangkat sedikit gaunnya ketika cewek itu menuruni anak tangga di belakang panggung. Ketika dia bertemu kontestan yang lainnya, cewek itu masih saja memasang wajah cemberut. Teman-temannya heran, perasaan pas awal-awal acara, Alenta kelihatan baik-baik aja kok. Kenapa sekarang memberengut begitu?   "Deg-degan pasti, ya." Anggika berbisik di samping Alenta.   "Ya." Alenta mengangguk saja.   Deg-degan ya pasti. Apa lagi ini malam terakhir mereka mengikuti kontes menyanyi mereka. Lebih dari tiga bulan Alenta dan yang lainnya di karantina. Belajar, bersenang-senang dan menangis ketika satu per satu kontestan tereliminasi dan meninggalkan asrama. Tiga bulan bersama, yang mulanya tidak mengenal satu sama lain kini sudah seperti keluarga.   "Eh, eh, sebentar lagi pengumuman!" Kontestan yang lain berseru sambil berlarian mendekati kursi Alenta dan Anggika.   "Tangan gue dingin banget, sumpah." Anggika nyaris berteriak dengan suara gemetaran. "Len, napas, Len!" Juwita, atau Wita, tampak menusukan ujung jarinya ke lengan Alenta.   Alenta, Anggika dan Wita adalah kontestan yang berhasil masuk ke babak final. Bagi ketiganya, siapa pun pemenangnya, mereka akan menerima dengan lapang d**a dan tetap berteman. "Kenapa sih?" tanya Anggika penasaran.   Wita menambahi, "Muka lo nggak santai gitu."   Alenta menggelengkan kepalanya. "Gue nggak apa-apa. Cuma deg-degan aja. Tadi penontonnya banyak banget!"   Anggika dan Wita mengangguk setuju.   Sebenarnya yang membuat Alenta tiba-tiba diam adalah Fano. Ke mana sih cowok itu?! Apa... jangan-jangan motor bebeknya mogok lagi sampai-sampai nggak bisa datang melihat penampilannya!   "Hei, hei," Wita menepuk-nepuk paha Anggika di sampingnya.   "Ayo, dipanggil buat naik panggung!" sahut Anggika. Acaranya benar-benar akan selesai. Tapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Fano muncul.   Cewek itu meraba dadanya, setengah bengong. Rasa-rasanya ada yang aneh. Perasaannya tahu-tahu berubah sedih. Alenta melihat Anggika menggandengnya, di depan mereka ada Wita. Cewek yang usianya dua tahun lebih tua dari mereka tampak berjalan terburu-buru sambil mengangkat gaunnya yang menjuntai hingga ke lantai.   Sebentar lagi, pengumuman akan dimulai....   ***   Fano melirik arloji di tangannya dengan panik. Jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam, dan dia masih di jalan. Keterlaluan! Fano tidak memikirkan perasaan Alenta, ya. Cewek itu memang pendiam, tidak banyak bicara, tapi kalau sudah dibuat kecewa, cewek itu nggak akan berhenti mengomel. Dan Fano adalah orang yang paling sering diomeli sama Alenta.   Khusus malam ini saja, Fano pergi mengendarai mobil. Bukan lagi motor bebeknya yang butut! Eh, butut gitu berharga, loh! Banyak momen di antara dia sama Alenta. Motor bebeknya yang setiap hari menemaninya mengantar jemput Alenta di mana dan ke mana pun. Ya mereka selalu sama-sama, sih. Nggak heran aja kalau ke mana-mana selalu berdua, eh, bertiga sama motor bebek Fano juga sih.   Fano sengaja menggunakan mobil karena ada bawaannya yang tidak boleh rusak. Kalau dia pergi naik motor, takut bunganya rusak. Gagal dong kejutannya buat Alenta.   Mobil hitam hasil pinjaman dari abangnya—menyeruak jalanan malam yang masih saja lumayan padat, tapi nggak sepadat saat pagi hari. Fano bersiul sesekali melirik bunga dan kotak yang dia letakan di samping kursinya. Dia penasaran sama reaksi Alenta nanti sih. Awalnya cewek itu pasti marah karena dia telat datang. Tapi yakin deh. Pas lihat dua barang ini, Alenta bakal lupa sama marahnya.   "Halo," sapa Fano ketika mengangkat panggilan dari teman-temannya. Mereka semua sejak tadi telah menerornya. Bertanya berkali-kali ke mana dirinya, kenapa belum datang padahal acarnya hampir selesai.   "Iya, ya, Dav," Fano manggut-manggut. "Sabar dong! Natla, nggak usah bacot, ya, gue denger suara lo anjir!"   Yang dimaki malah ketawa-tawa di dalam telepon.   "Bentar lagi nyampek sih."   "Dasar kau pembohong ulung kisanak!" sahut Natla lagi.   Pasti si Natla tarik-tarikan ponsel sama Davian, deh. Yakin. Dasar si kembar, suka rusuh di mana-mana, astaga.   "Suruh diem adek lo, nyet," sahut Fano.   Jalanan yang dilewati mobil Fano sedikit lebih sepi. Hanya beberapa pengandara yang lewat dari arah kanannya. Sebenarnya perjalanan masih jauh, sih, tapi Fano sengaja bohong ke teman-temannya supaya nggak diteror terus. Apa lagi bacotannya Natla, beneran bikin telinga sakit. Berada di antara banyak orang saja, suaranya masih terdengar sangat nyaring.   "Gue matiin teleponnya ya. Berisik banget, Dav," keluh Fano. "Lagian gue lagi nyetir nih. Ntar dulu ya, kita bisa ngomong sepuas lo kalau udah ketemu di sana."   "Oke," jawab Davian.   Sambungan telepon di antara keduanya berakhir. Fano berusaha fokus menyetir walaupun suara notifikasi dari ponselnya cukup mengganggu. Pasti curut-curut kurang ajar, nih. Kalau bukan Natla, ya, Tasya. Selain dua orang itu nggak ada lagi yang laknatnya kebangetan.   Dukkk!   Fano tersentak kaget. Tahu-tahu mobilnya ditabrak oleh pengendara lain dari arah belakang. Fano memerhatikan dari spion yang menggantung. Fano mendesah pelan, nyaris mengumpat karena terkejut.   Aduh, mobil Abang nih. Mampus kalau penyok ntar.   Fano berniat membiarkannya, waktunya sudah sangat mepet. Kalau dia berhenti mengemudi dan menghampiri orang yang sudah menabrak mobilnya, Fano semakin telat, bisa-bisa sampai di sana, acarnya benar-benar selesai, dan orang-orang sudah pulang.   "Aduh... kenapa pake turun, sih," keluh Fano sambil menepuk keningnya.   Mau tidak mau Fano pun berhenti mengemudikan mobilnya. Masalahnya, orang yang punya mobil tadi menghadang mobilnya di depan.   Fano melihat seorang cowok menghampirinya. Badannya sedikit kekar, mengenakan jaket berwarna hijau tua dan topi hitam agak diturunkan. Kok, ngeri ya.   Fano membuka pintu mobilnya, cowok itu tepat ada di depannya. Ketika Fano akan membuka suaranya, sesuatu menyentuh perutnya. Benda tajam itu menusuk sangat dalam, kemudian ditarik, dan ditusukannya lagi hingga beberapa kali.   Semua kata-kata yang akan dia keluarkan tertelan kembali ke dalam tenggorokan. Sepasang mata Fano membeliak, pelan-pelan kelima jarinya bergerak menyentuh tangan cowok itu, orang yang sedang menusuk-nusuk perutnya. Fano berusaha menarik benda tajam itu, tapi yang dilakukan oleh orang di depannya malah menenggelamkan benda itu kian dalam lalu memutarnya.   "Akh," pekik Fano dengan suara paling pelan.   Ketika benda tajam itu ditarik dengan paksa dan kasar dari perutnya, tubuh Fano limbung, lantas jatuh tepat di samping pintu mobil yang terbuka. Fano menggerakkan tangannya, berusaha meraih tangan orang itu... namun, tangannya ditepis. Perutnya ditendang sangat kasar.   "Setelah lo, giliran dia...," Matanya nyaris terpejam, Fano tidak kuat menahan luka di perutnya. "Alenta... tunggu giliran dia."    To be continue--- 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD