1

960 Words
Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Rachel. Gadis itu baru saja terbangun dari tidurnya, setelah mengalami mimpi yang sama untuk ketiga kali di dalam seminggu ini. Rachel meneguk habis segelas air putih yang ia letakkan di atas nakas, seraya mengelap keringat yang bercucuran dari pelipisnya.   Untuk sejenak, Rachel menghela napas lega saat menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa bunga tidur itu suatu saat akan berubah jadi nyata. Ya, bisa saja suatu saat ia akan benar-benar putus dengan lelaki yang sekitar tiga bulan ini tenga mengisi hari-harinya.   Rachel melirik ke arah jam yang menggantung di atas pintu kamarnya, pukul lima lewat dua puluh menit. Sebentar lagi, ia harus segera bersiap untuk berangkat sekolah. Jarak rumah dan sekolahnya sangat jauh, Rachel perlu berjalan dulu ke luar komplek rumahnya, baru kemudian ia bisa mencari bus yang tujuannya ke arah sekolahnya.   Dijemput? Bahkan itu bisa dihitung dengan jari. Jangan kira status Rachel yang memiliki pacar, dapat membuat hidupnya sedikit lebih ringan. Tetap saja, setiap paginya Rachel harus bergegas menuju halte jika tidak ingin ketinggalan bus.   Sangat berbeda dengan cerita di novel fiksi yang Rachel baca, di mana degan romantisnya si cowok selalu menemani, menjemput, dan melakukan hal-hal romantis lainnya pada si cewek. Mengharapkan Darren bersikap seperti itu? Sama saja Rachel berharap sebuah hujan uang.   Darren terlalu cuek. Hal itu semakin menjadi-jadi, saat Darren menjabat sebagai ketua GASTRA. Kalau kalian bertanya apa itu GASTRA, maka Rachel akan menjawab perkumpulan anak lelaki dari kelas sebelas sampai dua belas, dan hanya terdiri dari jurusan IPS.    Hanya sebatas itu, selebihnya? Yang Rachel tahu, mereka hoby nongkrong di sebuah warung kecil yang terletak tepat di depan sekolah. Rachel juga pernah mendengar, mereka punya sebuah basecamp, entah di mana letaknya, Rachel tidak ingin tau.   Gadis berambut panjang itu, segera berjalan ke arah kamar mandi. Waktunya tinggal empat puluh menit, mulai dari sekarang. Sepuluh menit kemudian, Rachel keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk kimono, serta sebuah handuk lagi yang terlilit di atas kepalanya.   Rachel meraih seragam putih abu-abunya yang sudah ia setrika rapi, dan mengenakannya dengan cepat. Setelahnya gadis itu berjalan ke arah kaca, ia melihat pantulan dirinya dengan seragam itu. Bibir Rachel menyunggingkan senyum tipis, akhirnya ia menjadi anak SMA.   Bukan tanpa alasan Rachel bersikap seperti ini. Ini semua, karena ada kesalah antara penjahit dan sekolah Rachel. Dampaknya, selama hampir empat bulan bersekolah di SMA Bakti, para anak kelas sepuluh harus rela mengenakan seragam SMP. Padahal, seragam SMP Rachel sudah sangat kekecilan dan roknya pendek. Itu membuatnya terlihat seperti cabe-cabean karena mengenakan seragam ketat dan roknya yang pendek, tidak jarang Rachel ditegur guru karena hal ini.   Dering ponselnya, membuat Rachel terlonjak kaget. Gadis itu segera berjalan menuju nakas, tempar ponselnya ter-charger. Dahinya mengernyit kala melihat deretan angka nomor Darren tertera di sana, Rachel langsung menggeser icon hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.   "Di mana?" tanya Darren, membuat omongan Rachel terhenti.   "Di rumah," sahut Rachel, "kenapa?"   "Mau dijemput?"   "Em," Rachel menggigit bibir bawahnya, "nggak usah, deh. Nanti ngerepotin."   "Oke." Darren kemudian memutuskan sepihak teleponnya.   Rachel menghela nafasnya, lihat? Begitulah sifat Darren. Tidak suka berbasa-basi atau apapun. Bahkan, cowok itu tidak menawarinya dua kali. Padahal, kalau tadi Darren meyakinkannya sekali lagi, Rachel tidak akan menolak.   Siapa, sih, yang bisa menolak momen berangkat berdua dengan pacar ke sekolah?   Rachel baru saja melakukannya.   Tapi, itu bukan murni kesalahan Rachel, kan? Seharusnya, jika Darren memang berniat ingin menjemput Rachel, lelaki itu langsung datang saja, kan? Atau minimal, Darren menanyakan lagi dengan pasti, apakah Rachel benar-benar tidak ingin dijemput.    Karena pada dasarnya, wanita itu suka ditahan.   Rachel menghela napas, ia meraih tasnya yang terletak di atas meja belajar. Kemudian, Rachel melangkahkan kakinya keluar kamar. Rumahnya sangat sepi, itu karena Ayah dan Ibunya masih tidur. Tidak mungkin mereka bangun sepagi ini, Rachel melangkah menuju rak sepatu dan meraih sepasang sepatu hitamnya.   Setelah selesai memasang sepatu, Rachel melangkah ke luar. Gadis itu berjalan pelan, mengingat waktunya masih lumayan lama karena Rachel kali ini berangkat lebih pagi dari biasanya. Sengaja, karena ia ingin menghirup embun pagi yang masih sejuk dengan lama, ini karena pikiran Rachel benar-benar kacau sejak tadi malam.   "Sendirian aja, Mba?"   Rachel menoleh ke belakang, dan mendapati Aldi sahabatnya yang juga memakai seragam yang sama dengan Rachel tengah berjalan mengekor di belakangnya. Seulas senyum tipis tercetak di bibir Rachel.   "Motor lo kemana?" tanya Rachel yang baru sadar saat melihat Aldi tanpa motornya.   "Ada, di halaman," sahut Aldi sekenanya.   "Terus, lo ngapain jalan?" tanya Rachel, lagi.   "Ngikutin lo,” Aldi tersenyum, “nggak boleh?"   Rachel menghentikan langkahnya, gadis itu menghela napas seraya menatap Aldi heran. "Al, gue jalan karena nggak punya motor. Lah, lo punya, ngapain jalan?"   "Tunggu di sini," Aldi berbalik dan berlari kencang ke rumahnya yang berjarak sepuluh meter dari posisi Rachel saat ini.   Satu menit kemudian, Aldi kembali seraya menaiki motor besarnya. Kali ini, cowok itu mengenakan helm dan jaket. Aldi memarkirkan motornya tepat di samping Rachel, cowok itu turun dan melepas helmnya.   "Berangkat bareng, yuk?"   Rachel tersenyum tipis seraya menggeleng, "Nggak usah, Al."   "Nggak mau tau, pokoknya lo berangkat sama gue. Lebih aman, dan udah pasti nghemat uang. Kapan lagi diboncengin sama gue?"   "Nggak usah, Al. Duluan aja," tolak Rachel secara halus.   Bukannya apa. Statusnya saat ini, pacar Darren, membuatnya tidak bisa bebas. Bagaimanapun, Darren tidak suka jika Rachel dekat dengan lawan jenis. Aneh, ya? Padahal, cowok itu terlihat tidak peduli. Mungkin, hanya Rachel yang tahu bagaimana sifat Darren saat dalam mode possesif.   "Nggak terima penolakan," cetus Aldi. Cowok itu memasangkan sebuah helm berwarna pink kepada Rachel, entah sejak kapan Aldi membawanya.   "Aldi ... "    "Ayo, naik. Ntar kita telat," ucap Aldi yang tidak memperdulikan tatapan protes yang dilayangkan Rachel.   Pasrah, akhirnya Rachel naik ke atas motor besar Aldi.   Cekrek   [Send]       Darren’s-2     "Kamu bilang aku segalanya, namun dari sikapmu padaku menunjukan bahwa aku bukanlah apa-apa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD