1- Kenapa Topik Jodoh Itu Rumit?

1776 Words
Lelaki itu mengernyit, matanya terpejam dan bibirnya tertarik menjadi garis tipis. Ekspresi refleks kala lidahnya merasakan kopi yang begitu pahit. Dia lalu mengambil air mineral untuk menetralkan rasa pahit yang seolah betah di lidahnya. “Gila pahit banget!” ucapnya setelah rasa pahit itu hilang. “Pengunjung lain suka kopi yang seperti itu.” Noel seketika mengangkat wajah, menatap Bento barista di kafenya. Bento bukan tipe makanan kotak khas Jepang, bukan juga berarti bodoh. Namun Bento adalah singkatan dari Bena Tori. Lelaki bernama Bena itu tidak suka dengan namanya yang lebih memberi kesan feminin. Hingga akhirnya dia lebih senang dipanggil dengan Bento. Meski nama itu selalu mendapat ejekan dari setiap orang. “Gue emang dasarnya nggak suka kopi. Rasanya pahit bener. Sepahit kehidupan lo,” ucap Noel bercanda. Dua tahun bekerja dengan Noel, Bento sangat hafal dengan ciri khas bosnya. Bercanda. Meski begitu jangan membuat bercandaan di saat yang tidak rapat. Bisa-bisa gelas melayang, garpu melayang, pisau melayang dan nyawapun melayang. Saat marah Noel itu sangat menyeramkan. “Ini rasa yang kedua,” kata Bento menyodorkan gelas kecil yang telah dia tempeli tulisan angka dua. Noel mengidu aroma kopi yang menguar. Dari rasanya dia menebak rasa kopi itu lebih manis dari sebelumnya. Tanpa menunggu lebih lama Noel menegak minuman itu. Dia mengernyit sejenak lalu meminum air mineral. “Ini pahit. Tapi nggak separah ini,” ucapnya sambil menunjuk isi gelas yang tinggal setengah. Bento mengangguk. “Saya mengurangi takaran kopi dan tambah sedikit krim. Ini cocok untuk orang yang tidak suka kopi tapi ingin merasakan pahitnya kopi,” jelasnya membuat Noel manggut-manggut. “Biar gue tebak yang ini pasti manis,” kata Noel. Dia mengambil gelas ketiga dan menatapnya saksama. Warna kopi itu tidak terlalu pekat, terlihat warna putih yang dia tebak itu adalah creamer. Noel lalu mencicipi kopi itu. Bibirnya membentuk senyuman, ini kopi kesukaannya. Meski rasa pahit dari kopi hanya beberapa persen, tapi dia menyukainya. “Ini manis. Semanis hidup gue,” ujarnya dengan cengiran khasnya. Diam-diam Bento mendesah lega. Bosnya itu akan marah jika ada minuman yang kurang manis. Jadi melihat cengiran itu Bento merasa berhasil. “Jadi bagaimana? Besok kita mulai tester?” tanya Bento. Jari telunjuk Noel mengetuk dagu. Dia tidak ingin gegabah dan kehilangan pelanggan. “Lo yakin rasanya nggak bakal berubah?” Bento mengangguk mantap. Dia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku belakang celananya. “Semua takarannya sudah saya catat di sini.” Senyum Noel mengembang. Tidak rugi dia memperkerjakan Bento. Lelaki keturunan Jawa, NTB yang dia temui saat festifal makanan nusantara. Saat itu Noel melihat Bento melakukan atraksi. Iseng, Noel mendekati Bento dan mulai membahas soal kopi. Tidak disangka Bento pecinta kopi dan lihai mengelola biji hitam itu. “Kalau lo yakin, oke mulai besok,” jawab Noel. “Baik, Mas.” “Tapi inget. Rasaya jangan sampai berubah. Gue yakin meski ini cuma kopi, rasanya beda dari pasaran.” Bento manggut-manggut. Dia lalu memajukan wajah yang terlihat penuh tanya itu. “Lalu soal namanya?” Noel terdiam. Dia lalu tersenyum miring ke Bento. “Soal nama menu lo serahin ke ahlinya,” ucap Noel sambil menepuk dadanya, bangga. “Baik. Kalau gitu saya kembali ke dapur. Mau tester ke anak-anak.” Setelah mengucapkan itu Bento keluar sambil membawa tiga gelas kosong. Kini di ruangan atas meninggalkan Noel seorang diri. Lelaki itu menyandarkan punggunglalu kedua tangannya terlipat di depan d**a. Noel senang dengan kehidupan sekarang. Senin sampai Jum'at dia bekerja di kantoran, sebagai kepala keuangan. Lalu Sabtu dan Minggu dia menjadi bos pemilik kafe. Memang bukan Noel yang merintis bisnis ini, kedua orangtuanya yang merintis. Noel tinggal melanjutkan. Meski begitu lebih susah mempertahankan kan daripada memulai? Tantangan dalam mempertahankan memang berat. Namun Noel tidak pernah ambil pusing. Risiko berbisnis memang rugi, dan dia menyadari itu. Dia juga tidak selalu merasa lelah. Ini pekerjaan yang dia sukai. Mungkin sejak kecil dia selalu terbiasa dengan konsep “untung dan rugi”. Karenanya saat mendapat untung dia senang bukan main. Lebih senang daripada mendapatkan gebetan. Gebatan? Aduh, Noel tidak pernah memikirkan hal itu. Kalau Moren dan Dean yang tidak pernah jauh dengan kata itu. Noel dan Remy setipe, tipe-tipe setia. Sayangnya Noel cukup apes karena setiap dekat seorang gadis pasti dia dimanfaatkan. Cih! Memalukan memang. Namun, dari masalah itu Noel jadi tahu gadis itu benar-benar mencintainya atu tidak. Sekarang, dia tidak ingin terlibat urusan percintaan. Bikin pusing. Masih mending memikirkan bisnis, meski sering membuat pusing tapi kalau untung bikin senang bukan main. “El!” Seruan itu membuat Noel berjingkat. Dia menatap pintu dan melihat mamanya yang memakai celana selutut, kaos press body dan topi putih. Ya begitulah mama Noel, selalu gaya bak usia menyamai anak muda padahal sudah tua. “Mama dari mana?” tanya Noel setelah menatap penampilan mamanya. “Jogging lah. Nggak lihat apa Mama keringetan kayak gini?” Mama Noel lalu duduk di hadapan anaknya. Dia mulai mengambil tisu dan mengusapnya di wajah berminyaknya. Dia lalu menatap Noel dengan saksama. “Kok kamu di sini?” Alis Noel menukik ke atas. “Lah emang tempatku di sini, Ma. Kalau di hutan berarti aku tarsan.” “Nggak kencan?” Noel membuang napas panjang. Beginilah mamanya, selalu ingin tahu urusan anak muda. Bahkan sering kali mamanya itu memberi tahu cara mendekati seorang gadis. Hal yang membuat Noel malas bukan main. Sebagai seorang lelaki, kemampuan itu seolah datang sendiri. “Ma. Kencan mah malem. Bukan pagi.” Wanita dengan tahi lalat di hidung itu menggeleng tegas. “Emang kenapa kalau sekarang? Ada yang ngelarang?” “Ya enggak sih.” Hening, hanya suara AC yang terdengar. Noel memperhatikan Mamanya yang mengusap wajah dengan tisu basah. Jika seperti ini Noel akan menebak, masalah jerawat pasti akan dibahas. “Kemarin Mama udah bersihin sampai bersih. Kenapa muncul jerawat, ya?” “Grrrr!” Noel geleng-geleng. “Bukan jerawat, Ma. Tapi karena Mama terlalu lama kena matahari sampai bentol-bentol.” “Sok tahu!” Lagi-lagi Noel menggeleng. Dia lalu memilih diam daripada berdebat hanya masalah jerawat. Iya jerawat! Noel heran mengapa kaum wanita selalu mempersoalkan masalah jerawat. Padahal itu bersifat alamiah. Kalau tak pernah berjerawat tuh, baru boleh dipersoalkan. “El. Ternyata Dean itu dijodohin, ya.” Tubuh Noel menegang. Dia mencium aroma-aroma buruk. Lelaki itu berdiri, lebih baik menghindar daripada mengumpankan diri. “Noel ngawasin anak-anak dulu, ya.” “Duduk!” Mama Noel menunjuk anaknya lalu jari itu bergerak ke bawah, memberi isyarat agar anaknya itu duduk. Daripada durhaka dan terkena kutuk, Noel langsung duduk dengan wajah keberatan. “Mama rasa nggak ada salahnya nyoba perjodohan. Buktinya Dean bisa sampai nikah. Besok kamu mama jodohin, ya.” Noel mengusap wajah dengan tangan. Ucapan sang mama kenapa mudah sekali? Bak menjanjikan anak kecil makan ice cream. “Noel bisa cari sendiri, Ma,” jawabnya dengan suara lembut. “Ya mana? Kamu nggak pernah bawa cewek ke Mama.” Menyerah, Noel berdiri lalu menatap Mamanya dengan sulas senyum. “Nanti. Tunggu aja setahun, dua tahun, tiga tahun. Pokok tunggu aja nanti juga dapet, Ma.” Sebelum Mamanya murka, Noel buru-buru keluar dari ruangan. Dia mengacak rambutnya yang mulai memanjang. “Kenapa sih urusan jodoh kok ribet banget!”   ***   Noel kira setelah Bento menemukan resep baru, harinya akan senang. Resep baru, peminat baru dan tentu saja keuntungan baru. Namun sayang, hal itu diusik oleh mamanya. Iya, sang mama sampai memberi tahu karyawan jika punya kenalan gadis baik agar dikenalkan ke Noel. Di hadapan anak buahnya, Noel merasa menjadi bujang lapuk. Seolah-olah masalah jodoh adalah masalah utama dalam hidup. Padahal Noel masih berusia 26 tahun. Target menikah maksimal 35 tahun dan minimal 30 tahun. So buat apa buru-buru nyari pacar? Iya kalau pacarannya langgeng dan itu memang jodoh Noel. Kalau enggak? Dia menjadi penjaga jodoh orang lain. “Tapi ini kan tugasnya belum selesai!” “Pacar gue ngambek!” “Bisa lo urusin nanti!” Perdebatan itu membuat pikiran Noel buyar. Dia menoleh ke sumber suara dan melihat dua orang yang sedang berdebat. Lelaki berjaket abu-abu itu berdiri lalu pergi begitu saja. Si gadis berdiri sambil bertolak pinggang. “Awas ya lo!” Noel menebak dua orang itu adalah teman sekampus yang sedang mengerjakan tugas. Terbukti dengan laptop dan buku yang berserakan di meja. Lalu pacar si lelaki ngambek merusak acara kerja kelompok. Tuh kan, kadang pacaran itu bikin masalah baru. “Sebel!” Gadis berambut pendek dengan bagian depan semakin memajang dan sedikit curly itu masih meluapkan emosinya. Noel lalu turun dari kursi tinggi depan mesin kasir. Dia mendekat dan mencoba menenangkan gadis itu. Bagaimanapun perdebatan itu cukup menarik perhatian pengunjung kafe lainnya. “Permisi. Mau pesan sesuatu?” tanyanya dengan lembut. Gadis berpipi merah itu mengangkat wajah. Dia membuang napas panjang lalu berucap. “Gue belum pesen, ya?” Noel mengangkat kedua telapak tangan menghadap atas. Dia tidak tahu berapa lama gadis itu di kafe dan tidak tahu sudah pesan atau belum. “Air putih aja, deh. Cepet!” Mendengar perintah gadis itu Noel melongo. Dia tidak salah dengar? Air putih? Hanya putih? Noel geleng-geleng. Buat apa ke kafe kalau cuma minum air putih? Yah meski itu tak ada larangan khusus. “Cepetan, Mas. Gue udah haus!” ulang gadis itu. Dia memperhatikan lelaki dengan rambut lebat dan sedikit gondrong itu. “Baik.” Noel lalu berbalik dan berjalan menuju Bento. “Tuh cewek udah berapa lama di sini?” “Ada kali sejam.” Bola mata Noel membulat. “Sejam dan dia belum pesen?” Arah pandang Noel lalu tertuju ke gadis yang kembali sibuk dengan laptop di hadapan itu. “Ya udah lo bawain kopi menu baru. Kayaknya dia masih mahasiswa, butuh kopi buat begadang,” pinta Noel ke Bento. Tanpa menjawab Bento langsung melaksanakan tugasnya. Sedangkan Noel berdiri menatap gadis yang sibuk sendiri itu. Jika dilihat-lihat gadis itu manis. Wajahnya berbentuk bulat, cocok dengan potongan rambutnya. Tampak lebih fresh meski kantung mata itu terbentuk. Lalu makeup yang dipakai juga tidak tebal. Noel yakin gadis itu hanya memakai BB cream, lipstick dan eye shadow. Dia ingat dengan kakaknya yang menggunakan tiga jenis makeup itu saat kuliah. “Misi, Mas.” Suara Bento membuat Noel sadar dengan keterpanannya. Lelaki berkaus pendek itu menggeleng pelan, mengenyahkan penilaiannya. “Biar gue aja.” Noel mengambil alih nampan lalu menuju gadis tadi. Bento sama sekali tidak curiga dengan tindakan bosnya. Karena memang biasanya seperti itu. Si bos memang sama sekali tidak membatasi diri dengan karyawan. Dan yang jelas mau turun tangan. “Kita ada menu baru. Kopi dengan sedikit krim dijamin beda dengan kafe manapun,” kata Noel sambil meletakkan cangkir putih ke hadapan pelanggannya. Gadis itu mendongak. Dia mengernyit bingung. “Kan, tadi cuma pesen air putih.” “Gue rasa lo lebih butuh kopi buat ngerjain tugas.” Sok tahu, Noel bisa menebak kalau gadis itu membatin. Terlihat sekali dari ekspresi gadis itu yang mendengus dengan bibir mencebik. “Oh ya nama lo siapa? ini menu baru dan lo pengunjung pertama yang ngerasain kopi ini,” kata Noel sambil mengulurkan tangan. “Revila,” jawab gadis itu tanpa menoleh. Tanpa membalas genggaman tangan Noel, Revila justru merapikan buku yang berserakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Revila berdiri sambil mendekap laptop. Noel menatap gadis itu dengan tangan yang masih menggantung ke depan. Demi apa gadis itu tiba-tiba pergi? Noel lalu menatap tangannya dengan senyum miris. “Tangan gue buluk kali, ya? Atau wajah gue nggak ganteng lagi?” tanya Noel bingung. Penasaran, lelaki itu berlari ke pintu keluar. Dia melihat Revila berjalan sambil menegak minuman dalam botol. “Ternyata dia bawa minum! Jadi dia ke sini cuma numpang tempat?” geram Noel. Dia lalu mengusap wajah dengan tangan. “Untung lo cantik. Fil! Siapa tadi namanya? Minyak refil?” Ah, Noel lupa dengan nama gadis barusan. “Kalau mau ke sini sekalian bawa bekal. Nggak apa-apa. Terserah lo. Buat lo apapun boleh.” Noel menggerutu lantas berbalik. Baru dua langkah Noel menatap ke arah luar. Dia melihat gadis tadi menoleh ke arahnya. “Bye, Cantik!” Dia melambaikan tangan lalu memberi cium jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD